A+
A-

Madan no Ou to Vanadis Jilid 1 Bab 1

 

Ujung pedang panjang yang diarahkan ke hadapannya.

Orang yang memegang pedang itu adalah seorang gadis cantik. Rambut peraknya yang mengesankan terurai mencapai pinggangnya; dia memandang dengan tenang anak laki-laki dari kudanya.

“Jatuhkan busurmu.”

Lelaki itu dengan patuh meletakkan busurnya di tanah.

Dia tak ada pikiran perlawanan. Dia sudah menghabiskan persediaan anak panahnya.

Mayat yang tak terhitung jumlahnya tergeletak di sekitarnya. Pedang dan tombak yang patah menancap, seolah-olah itu tiang kuburan. Bau darah tertiup angin kencang.

“Namaku Eleanora Viltaria. Siapa namamu?”

Suara menyegarkan gadis itu menghilangkan bau darah.

Matanya bermartabat, dengan iris merah misterius dan cerah.

Lelaki muda itu menjawab, terpesona.

“… Tigrevurmud Vorn.”

Setelah mendengar ini, dia menyarungkan pedangnya.

Dia tersenyum pada anak lelaki itu.

“Kau milikku sekarang.”

 

Bab 1 Perjumpaan dengan sang Vanadis

 

“Tigre-sama.”

Tubuhnya diguncang oleh seorang gadis dengan suara yang akrab.

Karena di luar jendela cerah, dia tahu pagi telah tiba.

Tetap saja, dia masih mengantuk.

"Sebentar lagi … sebentar lagi."

"Berapa lama lagi?"

“Aku tak punya rencana berburu untuk hari ini, jadi sampai siang ….”

"Tolong jangan malas dan bangun!"

Gadis itu memarahinya.

Setelah selimutnya ditarik, bahu Tigre dicengkeram dengan keras.

Saat membuka matanya, dia melihat seorang gadis yang wajahnya memerah karena marah. Dia berwajah kekanak-kanakan serta rambut coklat kastanye dengan gaya kucir dua yang hampir tidak mengancam, bahkan ketika marah.

“Ah …. Pagi, Titta.”

Dengan suara yang menunjukkan rasa kantuknya, Tigre memanggil nama maid muda itu. Titta melepaskannya setelah menyadari bahwa dia sudah bangun.

“Para prajurit sudah selesai bersiap, mereka menunggu Anda, Tigre-sama!”

Tigre dengan kosong mengulangi kata-katanya beberapa kali di kepalanya.

Wajahnya menjadi pucat seketika.

“… Sial!”

Dia tersandung dari tempat tidur saat Titta melipat pakaian malamnya. Dia meletakkan seember kecil air di dekat kakinya.

“Terima kasih sudah mempersiapkan semuanya seperti biasa.”

“Kupikir ini mungkin terjadi. Aku akan menyiapkan makanan Anda. Setelah Anda mencuci muka, silakan datang.”

Tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, Titta tersenyum cerah dan membungkuk sambil memegang roknya sebelum meninggalkan ruangan dengan langkah pendek.

Tigre merasa segar setelah mencuci wajahnya dan akhirnya benar-benar terjaga. Mengenakan pakaiannya dan berlari keluar ruangan, dia mengencangkan kancingnya sambil berlari menyusuri lorong.

“Aku tidak punya waktu …. Aku penasaran apa aku benar-benar bisa meninggalkannya.”

Tigre langsung menuju kamar di ujung koridor kecil.

Itu adalah ruangan kecil, hampir tak bisa menampung tiga orang dewasa. Di sana berdiri sebuah dekorasi yang indah di mana sebuah busur disangga.

Senarnya direndam dan ditarik selama musim panas, jadi busurnya tersedia untuk digunakan kapan saja jika dia mau. Satu-satunya fitur busur itu adalah warna hitamnya.

Pegangannya yang longgar dan melengkung, dan tali busurnya juga berwarna hitam.

Seolah-olah busur itu sendiri telah dipotong dari kegelapan.

Ketika aku melihat ini, aku mendapatkan perasaan aneh .

Busur misterius ini merupakan pusaka keluarga Tigre, dan konon leluhur keluarga Vorn pernah menggunakannya dalam berburu.

Ayah Tigre meninggalkan surat wasiat tentang busur tersebut.

Gunakan busur ini ketika kau benar-benar membutuhkannya. Jangan gunakan sebaliknya.”

Karena wasiat ayahnya, rasa jijik ringan yang dia rasakan terhadap busur, dan rasa hormatnya kepada leluhurnya, Tigre menghindari menyentuhnya sebanyak mungkin.

Memperbaiki postur dan pernapasannya, Tigre menggenggam tinjunya di depan dadanya dan berterima kasih kepada busur leluhurnya, diturunkan dari generasi ke generasi.

Ketika dia selesai, dia melangkah dengan cepat dan tenang ke lorong. Tigre buru-buru ke ruang makan.

 

Tigrevurmud Vorn, 16 tahun, lahir dalam keluarga Earl di Kerajaan Brune. Dia mengambil alih rumah ketika ayahnya jatuh sakit dan meninggal dua tahun lalu.

Gelarnya adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan, karena leluhurnyalah yang mencapai status Earl. Dia merasa dia hanyalah orang bernama Tigre.

Ketika Tigre memasuki ruang makan, aroma manis dan harum mencapai hidungnya.

Di meja pedesaan ada ham, roti gandum hitam, telur dadar, susu, dan sup jamur dari mana uap mengalir.

Titta menunggunya di meja.

“Aku baik-baik saja hanya dengan sup.”

“Itu enggak baik.”

Soal waktu makan, Titta selalu keras kepala.

“Apa yang akan Anda lakukan jika perut Anda berbunyi di depan semua orang. Itu akan memalukan.”

Dengan tangan di pinggangnya, tatapannya menatap tajam ke arah Tigre. Dia tampak lebih menakutkan daripada sebelumnya ketika dia bangun.

Tigre menyerah terhadap pertempuran yang tidak bisa dia menangkan dan mulai makan bersamanya.

Setelah makan roti dan minum susunya, dia dengan cepat memakan telur dadar dan supnya.

“Terima kasih untuk makanannya.”

Dia berdiri saat mengucapkan kata-kata itu. Titta, dengan serbet dan sikat di tangan, mendekatinya.

“Masih ada sisa makanan di mulut Anda. Tolong bersihkan dengan benar.”

Dia berbicara dengan nada sedikit marah, menyeka mulut Tigre dengan serbet.

“Rambut Anda juga berantakan.”

Setelah itu, Titta, tangannya yang memegang sikat direntangkan ke depan, dengan hati-hati menyisir rambut merahnya.

“Lihat, kerah Anda juga bengkok.”

Menempatkan sikat dan serbet di atas meja, tangannya terulur ke kerah Tigre. Meskipun dia telah selesai, Tigre tetap tinggal.

“—Tigre-sama.”

“Ya?”

Suara Titta tiba-tiba menjadi lemah. Tigre dengan lembut menjawabnya. Dia berbicara dengannya sebagai adik perempuan, karena Titte satu tahun lebih muda.

“Kenapa, kenapa Anda harus berperang, Tigre-sama?”

Tigre memiliki wajah bermasalah saat dia mengusap rambut merahnya. Jelas sekali apa yang dikatakan Titta.

“Ini atas perintah Baginda. Sebagai kepala rumah tangga, sebagai Earl Vorn, wajar jika aku melayani Kerajaan Brune.”

“T-tapi.”

Dia menatap Tigre dengan wajah menangis, terus berdebat.

“Anda hampir tidak bisa mengumpulkan seratus tentara ….”

Meskipun dia adalah seorang bangsawan, dia masih kecil.

Keluarga Vorn tidak miskin; sebaliknya, mereka sederhana. Menyebut mereka sederhana itu cocok.

Wilayah Alsace berada di pedesaan di antara pegunungan dan hutan, jauh dari pusat negara, dan pendapatannya sangat minim.

Dia jauh dari keagungan yang terkait dengan seorang bangsawan. Kehidupan Tigre jauh dari kemewahan.

Meskipun kediamannya tidak terlalu besar, yang menangani semua pekerjaan adalah Titta sendirian.

“Aku telah mendengar musuh berasal dari Kerajaan Zhcted. Dalam hal ini, Anda seharusnya berada di sini, Tigre-sama. Lagi pula, Alsace dan Zhcted hanya terpisah oleh sebuah gunung.”

“Itu mungkin benar, tapi ini pedesaan. Zhcted tidak punya alasan untuk menyerang tempat seperti itu.”

Tigre bersyukur bahwa tanahnya tidak akan menjadi medan perang.

“Itu … Jadi Anda akan pergi, walaupun mereka mengejek Anda karena busur Anda.”

“Itu karena mustahil untuk melakukan tindakan kepahlawanan.”

“Tidak masalah jika Anda melakukan hal seperti itu!” teriak Titta dan menempel padanya, wajahnya terbenam di dada Tigre.

“Hanya … jangan terlalu memaksakan diri, dan jangan sampai terluka. Tolong kembali dengan selamat.”

Tigre dengan lembut memeluk tubuh halus maid itu saat dia mengkhawatirkannya.

“Jangan khawatir. Aku kembali dengan selamat dari pertempuran pertamaku dua tahun lalu.”

“Saat itu, Urz-sama ….”

Titta menelan kata-katanya. Urz adalah ayah Tigre yang meninggal dua tahun lalu.

Tigre mengelus kepala Titta untuk meyakinkannya.

“Dalam pertempuran ini, pasukanku telah ditempatkan di belakang. Ini akan aman. Meskipun sesuatu terjadi, entah bagaimana aku akan mengaturnya.”

Saat dia menggunakan jarinya untuk menyeka air mata yang akan tumpah, Titta mengangguk.

“Apakah, apakah itu baik-baik saja, Tigre-sama? Anda selalu kesiangan. Pastikan untuk tidak melakukannya di medan perang.”

“Aku tidak suka bagaimana kau mengatakan aku selalu kesiangan.”

“Itu faktanya. Tigre-sama hanya bisa bangun dengan benar pada hari berburu.”

Bantahan Tigre dihentikan oleh keberatan yang kecewa.

Namun, dia mengerti bahwa Titta memberi harapan sebanyak yang dia bisa. Tigre memeluknya erat sekali lagi.

Titta mempercayakan tubuhnya kepada Tigre.

Kehangatan Titta bisa dirasakan melalui pakaian Tigre, aroma manis melayang samar dari rambut cokelatnya.

Lebih lama dari ini hanya akan lebih menyakitkan.

Tigre melepaskannya, enggan melepaskannya.

“Aku akan pergi, Titta.”

Menyeka air matanya dengan lengan bajunya, Titta tersenyum.

“Tolong serahkan rumah ini padaku. Hati-hati, Tigre-sama.”

 

Tigre membawa busur dan anak panah di atas bahunya dan meninggalkan rumah. Para prajurit sudah menunggu dalam formasi. Seorang pria tua kecil yang mengenakan armor kulit membungkuk pada Tigre.

“Tuan Muda, semua anggota sudah siap. Peralatan kami juga sudah siap.”

“Kau sudah bekerja keras, Bertrand.”

Pria tua itu adalah pelayan Tigre yang pengalaman perangnya jauh melebihi pengalamannya sendiri. Dia adalah satu-satunya selain Tigre yang diizinkan menunggang kuda.

Yang lainnya adalah prajurit yang dilengkapi dengan armor kulit dan tombak atau pedang.

“Kalian semua sudah berkumpul.”

Saat Tigre mengungkapkan rasa apresiasi, para prajurit veteran dengan riang membuat lelucon.

“Tuan, tidak perlu khawatir. Meskipun sudah tiga tahun sejak terakhir kali kami melihat pertempuran, kami telah melatih tubuh kami tanpa kesalahan setiap hari bekerja di lapangan.”

“Entah kita tidak mematuhi perintah sang Raja atau mengikuti mereka, kita akan memiliki banyak makanan, sepertinya.”

“Itu ucapan selamat datang. Omong-omong, apakah istrimu tidak datang? Musuhnya hanya memiliki satu atau dua ribu orang. Aku yakin dia bisa mengusir mereka dengan teriakannya.”

Tawa pecah di antara para prajurit.

“Kalian harus berhenti mengatakan itu di hadapan Tuan Muda. Istrinya cuek terhadap musuh dan sekutu.”

Melihat kembali pada Bertrand, Tigre mengakhiri percakapan dengan mengangkat bahu.

—Moral seharusnya tidak menjadi masalah.

Saat tawa mereda, para prajurit memberi hormat kepada Tigre. Bertrand menarik busurnya dengan tangan kanannya dan berteriak.

“Tujuan kita adalah Dataran Dinant. Kita akan bergabung dengan tentara Lord Mashas.”

Infanteri melihat bendera pertempuran mereka.

Ada dua jenis panji-panji. Panji-panji keluarga Vorn memegang bulan sabit putih dan bintang jatuh di atas kain biru. Yang lainnya adalah Bayard[1] – kuda sakral dengan tubuh berwarna merah dan surai hitam, yang merupakan simbol Kerajaan Brune.

“Kita berangkat!”  

 

Itu adalah pertama kalinya Kerajaan Brune dan Kerajaan Zhcted bersilangan pedang dalam dua puluh tahun.

Penyebab konfliknya adalah karena hujan deras yang menyebabkan sungai yang berbatasan dengan kedua kerajaan tersebut banjir.

Banyak warga terluka “Karena orang-orang itu tidak mengelola sungai dengan baik.” Itu menyebabkan perselisihan yang cukup besar.

Setiap negara menerima petisi dari negara lain untuk mengelola perairan dengan baik. Karena itu, kedua pasukan terpaksa berperang.

Tetap saja, itu tidak cukup untuk menarik Tigre berperang.

“Tampaknya musuh memiliki sekitar lima ribu pasukan untuk melawan dua puluh lima ribu pasukan kita. Pasukan tampak cukup bersemangat di sini.”

Dengan nada sarkastik, seorang kesatria tua bernama Mashas Rodant duduk di sebelah Tigre. Dia adalah teman ayah Tigre dan sering bertindak sebagai seorang dermawan.

“Apakah benar ini pertempuran pertama Paduka Pangeran?”

Sambil bergerak maju berdampingan dengan menunggang kuda, Tigre bertanya kepada Mashas.

“Aku cukup yakin. Sudah diketahui Baginda memanjakan putranya.”

Mashas, tubuhnya yang kekar terbungkus armor besi, membelai jenggot kelabunya dengan wajah galak.

“Banyak orangtua yang enggan mengizinkan anaknya keluar untuk perang nanti, dan tentu berbeda jika untuk urusan serius yang bisa mempertaruhkan nasib bangsa. Dalam hal itu, Raja mengirimkan Pangeran Regnas ke pertempuran pertamanya untuk sebuah penghias …. Kurasa itu akan menjadi pengalaman yang baik untuknya.”

Dia mungkin ingin putra kesayangannya didekorasi dalam pertempuran pertamanya.

Raja mengirim para kesatria di bawah kendali langsungnya serta pasukan milik bangsawan yang memerintah wilayah dekat Dataran Dinant untuk berperang.

Ini termasuk bangsawan kecil seperti Tigre dan Mashas.

Setelah semua tentara bergabung bersama, mereka berjumlah lebih dari dua puluh lima ribu.

Mashas memimpin hanya di bawah tiga ratus tentara. Di antara mereka, hanya lima puluh kavaleri.

Meskipun mungkin tidak pantas untuk dikatakan, jumlah itu akan sepenuhnya terkubur dalam dua puluh lima ribu. Apakah Tigre ditempatkan di belakang atau tidak, tidak ada yang berubah.

“Normal untuk mencoba dan mengalahkan jumlah musuh dalam perang. Pangeran Regnas suatu saat akan menjadi raja. Melakukan hal-hal dengan cara seperti itu tidak salah bagi Baginda.”

Ksatria tua itu menepuk bahu Tigre dalam penghiburan.

Meskipun itu mungkin bukan niatnya yang sebenarnya, dia mengatakan kata-kata itu untuk meyakinkan dirinya sendiri juga.

“Itu benar. Kita para bangsawan kecil harus tetap diam di belakang. Melangkah ke medan perang, mendapatkan dinas militer yang terhormat, ada banyak orang yang ingin maju …. Itu benar, Tigre, pernahkah kau mendengar tentang Vanadis?”

Ketika dia mendengar istilah itu, Tigre mengingat sebuah rumor dan memiringkan kepalanya.

“Tujuh Vanadis dari Zhcted?”

“Itu benar. Komandan musuh itu tampaknya adalah salah satu Vanadis. Gadis itu masih muda, 16 tahun yang belum pernah dikalahkan. Dia dikenal karena ilmu pedangnya yang luar biasa dan juga disebut Silvfrau[2] dan Meltis[3] karena dia mempelopori pertempuran.”

Kerajaan Zhcted diperintah oleh seorang raja dan Tujuh Vanadis.

Seusia denganku, ya?

Tigre mempunyai perasaan yang tidak bisa dijelaskan mengenai jenderal musuh yang belum dia temui ini. Meskipun mereka seumuran, dan meskipun dia seorang perempuan, dia memiliki pengalaman bertempur yang jauh lebih banyak dan telah melakukan banyak tindakan heroik, dan memimpin lima ribu pasukan yang kuat.

Di Kerajaan Brune, wanita tidak diperbolehkan menjadi kesatria, kecuali mereka yang lahir dari kalangan bangsawan tinggi.

Bahkan dalam perang ini, Tigre belum pernah melihat satu pun kesatria wanita. Namun karena itu, dia merasa bersemangat.

“Siapa nama Vanadis ini?”

“Kalau aku ingat, itu adalah Eleanora Viltaria, dan aku mendengar dia sangat cantik, seperti permata yang tidak akan pernah pudar.”

“Apa dia benar-benar secantik itu?”

“Tidak apa-apa mengagumi kecantikan, tetapi tetap dalam jumlah sedang. Titta akan cemburu.”

Mashas tertawa, janggut kelabunya bergetar, saat Tigre menjadi marah.

“Kenapa kau membawa-bawa Titta? Dia seperti adik perempuan—”

“Sejak dia masih kecil, dia adalah adik perempuan yang andal merawat kakak laki-laki yang berantakan.”

Mendengar tidak ada jawaban, dia mengacak-acak rambut merah kusam Tigre dan kembali ke cerita yang ada.

“Jika Vanadis adalah pemimpin yang hebat seperti yang dikatakan rumor, pertempuran ini akan sulit.”

“Tetap saja, perbedaan jumlahnya cukup besar. Tidak peduli seberapa mahir dia, akan sulit baginya untuk menang.”

Tidak peduli keberanian atau kemampuan sang Vanadis, perbedaan pasukan lima kali lipat seharusnya mustahil dibalikkan. Meskipun Tigre ingin setuju, dia tidak bisa mengatakannya dengan mudah.

Ada apa, perasaan tidak menyenangkan ini? Dia memiliki sensasi terbakar di sekitar tengkuknya. 

Tigre telah diserang oleh perasaan ini sebelumnya.

Pada saat itu, di kedalaman hutan, ketika dia sedang berburu sekawanan serigala, dia bertemu dengan seekor Dragon di pegunungan.

Dia juga merasakannya di pagi hari ketika Titta datang membangunkannya seperti biasa.

Pokoknya, tak ada yang berjalan baik pada saat itu.

“Jangan terlihat murung.”

Tampaknya telah muncul di wajahnya. Mashas menatapnya dengan ragu.

“Apa kau memikirkan sesuatu? Kau terlihat agak linglung. “

“Linglung … ada cara lain untuk mengatakannya. Bisa dibilang aku tenang dan terkendali.”

Tigre merespons dengan tidak puas. Mashas menyipitkan matanya dan tertawa.

“Kau cukup sulit. Aku ingat dua tahun lalu ketika kau menggantikan posisi Urz.”

“Hm, apa aku mengatakan sesuatu?”

“Di hadapan perwakilan kota dan desa, ketika ditanya tentang masa depan Alsace, kau berkata, ‘Baiklah, aku akan mengaturnya.’ Itulah yang kumaksud dengan linglung.”

Tigre, tidak bisa menjawab, mengangkat bahu.

Mashas terus mengeluh.

“Saat Urz masih hidup, kau memiliki temperamen yang tenang dan lembut; kau optimis. Kau banyak tidur, jadi kukira aku harus memujimu karena begitu sehat. Sungguh, orangtuamu cukup lunak.”

“Tetap saja, bukankah mereka bangga padaku?”

Menunggu jeda dalam perkataan Mashas, Tigre pun membalas.

Sebenarnya, dia tidak memiliki masalah dengan Alsace secara keseluruhan.

Tabungannya secara bertahap meningkat. Bahkan jika dia agak linglung di sekitar perwakilan desa, dia telah melakukannya dengan cukup baik.

“Kecuali hari berburu, bisakah kau bangun sendiri? Artinya, tanpa bantuan Titta.”

“Tidak, itu ….”

“Dari apa yang Titta katakan padaku …. Terkadang kau kabur dengan busur dan anak panahmu dan menghabiskan dua, tiga hari untuk berburu di hutan dan pegunungan terdekat.”

Bahu Tigre menyusut dalam diam. Dia tidak bisa menyangkal yang satu itu.

“Memikirkan pria sepertimu adalah tuan tanahnya. Yah, kurasa aku bisa melihatnya di wajahmu.”

Melihat ke belakang dari balik bahunya, Mashas melihat sekelompok tentara.

Meskipun keinginan mereka untuk bertarung tidak kurang, mereka ditempatkan di belakang. Namun, tidak ada yang membuat keluhan.

“Tigre, sudah tugasmu untuk membawa tentaramu kembali hidup-hidup. Sudah tugasmu untuk memikirkan bagaimana mereka bertempur. Aku tidak yakin apa yang kaukhawatirkan, tapi pastikan kau melakukan tugasmu.”

“Terima kasih banyak.”

Melihat kekhawatiran Mashas, Tigre tersenyum dan berterima kasih padanya.

Seperti katanya, tak ada gunanya memikirkan hal-hal asing.

Meskipun mereka hanya ada di sana untuk membuat sang Pangeran terlihat lebih baik, mereka masih berkumpul.

Tak ada yang diharapkan dari Tigre atau Mashas sebagai potensi perang. Meski begitu, dia mengambil nasihat itu dalam hati.

Beberapa hari kemudian, Tigre tiba di Dataran Dinant.

Dua puluh ribu tentara berdiri di kaki sebuah bukit; lima ribu sisanya berdiri di belakang, di atas bukit, mengelilingi Pangeran Regnas. Baik Tigre dan Mashas berada di sana.

Sepertinya pertempuran akan berakhir sebelum mereka bertempur.

 

 

Sebelum fajar, seribu kavaleri berbaris dengan tenang.

Pedang dan tombak mereka tertutup lumpur untuk menghilangkan kilaunya; kuda-kuda ditutupi pelat untuk menyembunyikannya; sepatu kuda mereka dibungkus dengan hati-hati dengan kain katun.

Mereka mencapai sebuah bukit kecil di dekat musuh tanpa diketahui.

Itu hanya lereng yang landai sebelum mereka mencapai tempat barisan belakang Brune berkemah untuk malam itu. Api unggun bisa terlihat menari di malam hari.

“—Istirahat dan buat persiapan.”

Gadis dengan rambut putih keperakan berdiri di depan kavaleri dan tertawa ringan. Setelah kata-katanya, para tentara melepaskan pelat dari kuda dan kain dari tapal kuda.

Akhirnya, pengintai, yang maju sendirian, kembali.

Musuh telah tertidur tanpa menyadarinya. Gadis itu melihat kembali ke anak buahnya dan menghunus pedang panjangnya. Angin samar bertiup di sepanjang bilahnya.

“Musuh lima ribu kuat dan melebihi jumlah kita lima banding satu. Meskipun barisan belakang, di sinilah markas komandan mereka berada. Dia kemungkinan adalah elite yang tangguh dalam pertempuran.”

Tetap saja, mata merah gadis itu dipenuhi dengan semangat juang.

“Aku akan pergi. Aku akan menang. Maukah kalian mengikutiku?”

Dalam keheningan, para prajurit menusukkan pedang dan tombak mereka ke langit.

Gadis itu berbalik ke arah perkemahan musuh dan mengayunkan pedangnya ke depan.

“Serang!”

Panji-panji itu berkibar tertiup angin. Zirnitra[4], merupakan simbol Kerajaan Zhcted bergambar naga hitam yang menyemburkan api hitam. 

Angin bergerak. Kavaleri menyiapkan pedang dan tombak mereka. Para pemanah menarik busur mereka. Mereka semua mengikuti gadis itu ke atas bukit.

Para penjaga akhirnya menyadari gemuruh tanah saat kuda-kuda menyerbu basis.

Namun, sudah terlambat.

“Musuh—”

Gadis itu, dalam satu serangan, menyayat leher prajurit itu, tidak membiarkannya berteriak.

Terhadap langit yang berangsur-angsur menjadi terang, seribu pasukan kavaleri yang dipimpin oleh gadis itu menyerbu kamp musuh. Pasukan Brune jatuh ke dalam kekacauan, membuang senjata mereka dan melarikan diri dalam hiruk-pikuk.

Meskipun beberapa prajurit melawan dengan gagah berani, perbedaan antara kekuatan mereka terlalu besar.

Kekuatan gadis yang memegang pedang dan memimpin Pasukan Zhcted itu luar biasa.

Dia menebas mereka yang meninggalkan pertempuran dalam satu serangan atau menendang mereka tanpa ampun dengan kudanya. Tak ada setetes darah pun yang menyentuhnya.

Setiap kali pedang panjang itu terbungkus angin, sesosok mayat jatuh ke tanah; jumlah tubuh meningkat. Gadis dengan rambut putih keperakan berkibar membelah musuh saat dia maju ke kamp musuh, kavaleri mengikuti dari belakang.

Dengan begini, kemenangan dan kekalahan hampir diputuskan.

 

 

Telinganya berdenging.

Ada banyak teriakan; itu adalah hari penghakiman. Suara pedang dan deru sepatu kuda bergema di telinganya.

“… Uwa.”

Dia terbangun.

Dia menghirup langit biru fajar yang terbentang di hadapannya.

Mendorong dan memindahkan beban ke tubuhnya, Tigre bangun.

Dering di telinganya menghilang hanya untuk digantikan dengan erangan yang ditenggelamkan oleh suara angin. Panji-panji yang robek sedikit berkibar; suara rumput yang diinjak bisa terdengar.

Saat debu mengendap, aroma darah merayap ke hidungnya.

“Aku pasti tidak sadar ….”

Dia meregangkan lehernya di atas tumpukan mayat dan melihat sekeliling.

Rerumputan diwarnai dengan darah, beberapa ribu mayat tergeletak di tanah.

Menutupi mulutnya dengan tangannya untuk meredakan mual, dia melihat tangannya basah dan diwarnai merah.

—Darah …?

Menepuk wajahnya, dia tidak melihat tanda-tanda cedera.

“Darah orang lain.”

Tigre rupanya hidup karena dia terkubur di bawah mayat. Kemungkinan tidak ada musuh yang melihatnya.

“Bertrand! Lord Mashas!”

Dia memanggil nama bawahannya yang setia dan tetua yang dia percayai, tetapi tidak mendapat jawaban.

Dia mencoba memanggil para prajurit di bawah komandonya dan tetap tidak mendapat reaksi.

“Sebaiknya mereka melarikan diri.”

Yang bisa dia lihat hanyalah mayat dan pedang serta tombak yang patah; panji-panji itu robek dan dibuang.

Meskipun dia tidak yakin, diselimuti kabut pagi, tidak ada tanda-tanda gerakan dari teman atau musuh.

Dia tidak merasa marah terhadap musuh. Kelelahan membebani tubuhnya, dan desahan keluar dari mulutnya.

“Pertempuran yang mengerikan ….”

Hampir bersamaan dengan fajar menyingsing, pasukan Brune melakukan serangan mendadak. Bingung dengan serangan belakang, dua puluh lima ribu tentara kuat yang besar yang mengantisipasi serangan frontal tumbang.

—Kemarin, sebelum tengah malam, pasukan kami memastikan musuh ada di depan kami. Dengan kata lain, pasukan Zhcted membagi pasukannya menjadi dua dan menyerang barisan belakang dulu. Tetap saja, kami telah diserang dari depan juga.

Tigre merasakan bagian belakang lehernya menjadi dingin.

Itu adalah rencana yang sederhana, bahkan seorang anak kecil pun bisa memikirkannya.

—Betapa menakutkan, semangat untuk dengan tenang menjalankan rencana seperti itu melawan musuh dengan kekuatan lima kali lipat.

Meskipun memiliki lebih sedikit tentara, mereka membagi pasukan mereka lebih jauh. Jika pasukan mereka tidak bergerak dengan sangat baik, mereka pasti akan menghadapi kekalahan yang tidak memuaskan.

—Tapi, itu berhasil dengan baik.

Pasukan Brune tumbang sepenuhnya.

Tersapu oleh gelombang sekutu yang melarikan diri, Tigre tidak mungkin mengambil alih dan jatuh dari kudanya, juga pingsan.

Unit Tigre kewalahan oleh sekutunya.

“Meski begitu ….”

Tigre ingat. Meski hanya sesaat, dia melihat gadis berambut putih-perak itu memegang pedang panjang saat dia memimpin musuh dan membunuh satu demi satu prajurit Brune.

“Jadi itu Vanadis ….”

Vanadis selalu memimpin pasukan. Dia mengingat perkataan Mashas.

Tidak pantas untuk hanya memanggilnya cantik. Tigre merasakan rambut merahnya bergerak saat dia tenggelam dalam pikirannya.


Untungnya, busurnya jatuh di dekatnya.

Mengambilnya, dia memeriksa ketegangan pada tali busur saat dia diserang oleh kecemasan.

“… Seharusnya tidak menjadi masalah.”

Dia mengelus dadanya dengan lega, melihat tali busurnya masih kencang.

Dia masih belum siap.

Beberapa anak panah di tempat panahnya juga masih ada.

Menatap ke langit, Tigre memastikan posisi matahari.

“Barat di sebelah sana.”

Pasukan Zhcted tiba di medan perang dari timur. Brune berada di barat.

Menahan rasa sakit yang mengalir di sekujur tubuhnya, secara perlahan Tigre berjalan ke barat. Kakinya berhenti saat dia mengenali sesuatu di penglihatan tepinya.

Seorang kesatria berlari ke arahnya, mengacungkan pedang.

Tigre mengeluarkan panah dan menarik busurnya.

Kuda itu menginjak-injak dan menendang mayat ke samping saat kesatria itu menerobos menuju Tigre. Ketika jaraknya menyusut menjadi tiga puluh alsin (sekitar tiga puluh meter), kesatria itu berteriak.

“Penyintah dari Brune, aku akan memotong lehermu!”

Tigre diam-diam menarik panahnya dan melihat saat dia dengan santai menembak.

Udara menjadi kabur.

Dia mendengar suara panah yang tumpul tepat menembus tenggorokan pria itu.

Dia sangat cepat dan tenang.

Tubuh kesatria itu tidak bisa bereaksi dan membungkuk, jatuh ke tanah.

Kuda itu, sekarang tanpa tunggangan, mengeluarkan suara melengking, berhenti, berbalik, dan lari.

“Aku menyerah … kurasa segalanya tidak berjalan sesuai keinginanku.”

Dia menghela napas. Bertanya-tanya apakah ada kuda yang bisa dia taklukkan dengan mudah dari medan perang, Tigre melanjutkan jalannya dan berhenti setelah kurang dari sepuluh langkah.

“Seorang musuh?”

Tiga ratus alsin (kurang lebih tiga ratus meter), dia melihat sekelompok tentara. Jika dia ditemukan, mereka pasti akan menangkapnya.

“… Tujuh orang.”

Tigre dilahirkan dengan mata yang bagus, terlebih ditempa dengan berburu. Jarak tiga ratus alsin sudah cukup baginya untuk membedakan wajah seseorang.

Dia memeriksa isi tempat panahnya. Ada empat anak panah yang tersisa.

Meskipun dia percaya diri dalam memanahnya, dia tidak bisa keluar dengan kemenangan taktis jika itu adalah dua lawan satu. Jika itu tidak berbeda dari pria sebelumnya, dia hanya bisa tanpa ampun.

—Ada kemungkinan mereka adalah sekutu.

Sambil berharap mungkin begitu, Tigre mengamati para keesatria. Dia tidak percaya dengan wajah yang dilihatnya.

“Vanadis ….”

Dalam serangan mendadak malam sebelumnya, dia adalah gadis yang berdiri di depan tentara.

Tigre lupa bernapas sambil mengaguminya.

Dia adalah seorang gadis muda seusianya, rambutnya yang putih keperakan, yang mencapai pinggangnya, berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Iris merah cerahnya terbakar dengan bermartabat.

Lengan halus yang cocok dengan usianya memanjang dari tubuhnya. Di tangannya, dia mencengkeram pedang panjang yang anehnya cocok untuknya.

—Lord Mashas bilang dia memiliki kecantikan yang unik.

Apa perlu untuk mengatakan bahwa dia benar? Itu pasti unik, atau mungkin langka. Semakin dia melihat, semakin dia setuju.

Tigre sadar kembali dengan menggelengkan kepalanya, menyingkirkan semua pikiran kosong. Dia menatap Vanadis itu dengan tatapan tenang.

Kesatria lain pasti penjaganya. Kuda mereka maju seakan melindunginya.

—Kalau aku menghabisi Vanadis itu ….

Tentara telah menderita kekalahan yang menghancurkan. Tentunya ada pengejaran besar-besaran, karena banyak prajurit Brune yang melarikan diri.

“… Kalau dia tumbang, mustahil bagi musuh untuk melanjutkan pengejaran mereka.”

Para prajurit yang mengikuti Mashas dan Bertrand dan mereka yang berasal dari Alsace akan lebih mungkin untuk bertahan hidup.

Dorongan untuk bertarung menggenang di dalam dirinya. Kekuatan memasuki tangan yang menggenggam busurnya.

“Aku akan mencobanya.”

Tigre mengeluarkan panah dan mencabutnya.

Tali busur tertekuk. Dia tanpa sadar meneriakkan nama Dewa.

“Oh Eris, Dewi Angin dan Badai ….”

Derit tali busur menggelitik gendang telinganya.

 

Saat ini, di benua itu, jangkauan maksimum busur adalah sekitar dua ratus lima puluh alsin (sekitar dua ratus lima puluh meter).

Ini hanyalah ukuran jarak, bukan di mana ia bisa terbang.

Membidik pada jarak itu akan mengurangi kerusakan yang ditimbulkan musuh, jadi perlu untuk memperkirakan jarak yang lebih rendah.

Sang Vanadis masih tiga ratus alsin (sekitar tiga ratus meter) jauhnya.

Tetap saja, Tigre menembakkan panah.

Anak panah itu menembus angin dan menusuk dalam-dalam ke kepala kuda kesatria di dekatnya.

Kesatria itu terlempar ke tanah saat kuda itu terguling. Tigre menembakkan panah keduanya, menembus bagian tengah dahi kuda lain.

“Bagus.”

Jalan itu sekarang jelas dengan dua penjaga yang ditanah.

Sekarang ada celah di mana panahnya bisa mencapai Vanadis dengan rambut keperakan dan iris merah.

“Sekarang untuk yang sebenarnya.”

Tigre meraih anak panahnya, napasnya panas dan berat.

Di ceruk gunung di mana matahari tidak bersinar, dia menghadapi Suro[5] dengan ketinggian tidak lebih dari empat puluh chet (kurang lebih empat meter). Bahkan saat itu, dia tidak begitu tegang.

—Walaupun kesatria lain mencoba melindunginya, dengan kuda mati dan prajurit yang jatuh menghalangi gerakan mereka, itu akan memakan waktu.

Padahal itu waktu yang sangat singkat.

Namun, itu sudah cukup untuk Tigre.

—Dia akan mengambil tindakan dalam situasi seperti ini. Akankah dia menunduk, atau kah dia langsung melompat dari kudanya?

Mustahil untuk bergerak ke kiri atau ke kanan, dan mundur beberapa langkah hampir tidak menjadi mundur. Prajurit dan kuda yang jatuh ada di hadapannya, jadi akan sulit untuk melompati mereka tanpa lari yang lebih besar.

Meskipun itu mungkin, dia tidak akan punya waktu untuk bersembunyi dari panah setelah mendarat.

Tigre menatap Vanadis itu sekali lagi dan diserang oleh hawa dingin yang ganas.

Vanadis itu tersenyum.

Dia jelas senang.

“Ku!”

Tigre mengatupkan giginya. Dia hampir ditelan olehnya. Dia melepaskan dua anak panah yang tersisa, menempatkan satu di mulutnya, dan mencabut yang lain.

Namun, Tigre melihat pemandangan yang sulit dipercaya

Kuda yang ditunggangi Vanadis itu dengan lembut terbang di udara.

Kuda itu melompati bawahannya yang jatuh.

Kuda itu mencapai ketinggian hampir dua puluh chet (sekitar dua meter).

Rasanya seperti sayap tumbuh dari punggungnya ke arah Tigre. Ia tidak melompat, kuda itu terbang.

“Apa sekarang …?”

Seluruh tubuh Tigre gemetar ketakutan. Dia bertanya-tanya apakah matanya telah menipu dia.

Seekor kuda tidak mungkin melompat setinggi dua puluh chet tanpa persiapan saat ditunggangi.

Namun, Vanadis itu mendarat seolah-olah tidak ada yang terjadi. Kuda itu mulai berlari lurus ke arahnya. Dia tidak punya waktu untuk takut.

Dia memarahi dirinya sendiri. Itu pasti semacam ilusi.

Tigre memelototinya dan menembakkan panah ketiganya.

Anak panah itu melaju mengikuti angin, membelah langit menuju dahinya – panah itu dihantam oleh kilatan perak.

“… Serius?”

Tigre nyaris tak bisa mempercayai matanya. Mulutnya terbuka dan sesak.

Panah itu terbang dengan kecepatan tinggi dari ratusan alsin, dan dia memukulnya dengan pedang.

Dia pikir hanya pahlawan dari legenda yang bisa melakukan hal seperti itu. Ini bukan sesuatu yang rata-rata orang bisa lakukan.

Dia mencabut panah terakhirnya.

Hanya pada busurnya dia memiliki keyakinan mutlak. Lawannya berlari ke arahnya sendirian, dia sudah kurang dari tiga ratus alsin jauhnya.

—Aku tidak boleh meleset.

Dia mengarahkan dan menembakkan panah terakhirnya namun dibelokkan dengan cara yang persis sama seperti sebelumnya.

Sementara itu, sang Vanadis bergegas maju di atas kudanya tanpa melepaskannya bahkan untuk sesaat. Dia berlari kencang dan akan tiba dalam sepuluh detik.

“Jadi, ini dia.”

Anak panahnya habis. Dia tidak punya senjata lain. Mustahil lari dari kuda dengan kedua kaki.

Mencengkeram busurnya, Tigre berdiri tegak dengan kedua kakinya dengan kekuatan besar. Tindakannya sama sekali tidak sedap dipandang.

Sang Vanadis menghentikan kudanya di hadapan Tigre.

Semprotan darah dan debu beterbangan tidak menyentuh rambut putih keperakannya.

Kulit putihnya mengingatkannya pada salju yang tak henti-hentinya terhampar di pegunungan kampung halamannya.

Dia menunjukkan garis tubuh yang mulus, hidung yang berbentuk bagus, dan bibir lembab yang menawan mengingatkan pada patung terbaik. Iris merah cerahnya dipenuhi dengan energi; dia memberi kesan tidak terbuat dari daging dan darah.

Dia mengarahkan ujung pedang panjangnya ke arah Tigre.

“Lepaskan busurmu.”

Setelah dia dengan enggan menurut, Vanadis itu mengangguk puas dan berbicara sambil tersenyum.

“Kau terampil.”

Tigre tidak segera mengerti kata-kata yang ditujukan padanya.

—Dia memujiku …? Pria yang membidiknya?

Kebingungannya melampaui kegembiraannya.

“Namaku Eleanora Viltaria. Siapa namamu?”

“… Tigrevurmud Vorn.”

“Seorang aristokrat? Gelarmu?”

Di Brune dan Zhcted, hanya bangsawan yang memiliki nama keluarga. Orang-orang dengan nama keluarga yang bukan milik aristokrasi adalah pengecualian kecil.

Ketika dia memberitahu Vanadis itu bahwa dia adalah seorang Earl, senyumnya menjadi semakin menyenangkan.

“Baiklah, Earl Vorn.”

Pedang panjang itu terbungkus di pinggangnya. Eleanora berbicara dengan cerah.

“Kau milikku sekarang.”

Dia mengucapkan kata-kata yang sepertinya tidak banyak berpikir. Akhirnya, pengawalnya pun menyusul.

Meskipun mereka mengepung Tigre dan mengarahkan pedang dan tombak mereka ke arahnya, ketika Eleanora melambaikan tangannya, mereka menunjukkan keterkejutan mereka.

“Lim, bawa pria ini bersamamu. Dia tawananku. Jangan perlakukan dia terlalu kasar.”

Kesatria bernama Lim, yang baru saja menyusul, mengangguk dalam diam. Karena helmnya menutupi wajahnya, Tigre tidak bisa membaca ekspresinya.

“Naik, cepat.”

Lim menatap Tigre dan berbicara dengan suara rendah dari dalam helm. Tigre bisa merasakan kemarahan dalam suara itu dan segera menyadari alasannya.

Beberapa saat yang lalu, dia adalah salah satu kesatria yang jatuh dari kudanya.

—Apa dia meminjam kuda dari kesatria lain? Apa dia di atas penjaga lainnya?

“Bolehkah aku mengambil busurku?”

Tigre menunjuk ke busur di tanah.

“Ini penting untukku.”

Dia menunjukkan kurangnya permusuhan dengan menunjukkan padanya tempat panah kosongnya. Lim mengulurkan tangannya padanya dari atas kuda.

“Baik. Tapi, aku akan menyimpannya.”

Ketika Tigre menyerahkan Lim busurnya dan menaiki kudanya, tangannya bergerak ke pinggangnya.

Lim tiba-tiba menggerakkan lehernya, bagian belakang helmnya mengenai wajah Tigre dengan kuat.

“Apa yang kaulakukan?”

Tigre menekan protesnya dengan menekan hidungnya yang bengkak. Eleanora tertawa dengan bahu gemetar.

“Lim, dia tawananku. Bersikaplah lembut.”

“… Baiklah.”

Lim mengikuti perintah, meskipun ketidakpuasan jelas mengalir dari suaranya.

“Kalau kau melakukan sesuatu yang aneh, aku akan segera melepaskanmu dan membuat kuda itu menginjakmu.”

Tigre mendesah. Dia sedikit takut dengan agresi dalam suara Lim dan merasa tidak nyaman atas masa depannya.

Menengok ke para kesatria, Eleanora berbicara penuh kemenangan.

“Meskipun itu adalah pertempuran yang membosankan, aku cukup menikmati hal-hal sambil kita mundur.”

 

Pertempuran Dinant berakhir sebagai kemenangan sepihak bagi Kerajaan Zhcted.

Korban dari Pasukan Zhcted berjumlah kurang dari seratus sementara lebih dari lima ribu dari Brune telah tewas. Yang terluka lebih dari dua kali lipat.

Sudah jelas, kerugian yang diderita Brune akan sulit untuk diisi. Terlebih lagi karena sang pewaris takhta, Pangeran Regnas, tewas dalam pertempuran.

 

[1] Panji-Panji/Bendera Kuda Merah

[2] Putri Angin Kilat Perak

[3] Penari Pedang

[4] Panji-Panji/Bendera Naga Hitam

[5] Naga Tanah

Post a Comment

0 Comments