Junior High School D×D 1 Life.1

cover

Life.1 Murid Pindahan yang Menggelora

Dunia berwarna crimson.

Kelopak bunga sakura sudah lama berguguran, daun-daunnya berubah menjadi merah menyala.

Meski bukan dari warna cerah seperti stroberi atau rasberi.

Namun, pemandangan pepohonan, yang berkilau tanpa gentar di tengah embusan angin musim gugur, menurutku sungguh luar biasa indahnya.

“Akhirnya sampai juga,” gumamku.

Timur Jauh, amat jauh dari kampung halamanku.

Sebuah gedung sekolah raksasa menjulang di depan mataku.

“Jadi ini—Akademi Kuoh!”

Fajar baru saja menyingsing, tetapi sinar mentari telah menyinari lambang sekolah yang terpahat di gerbang.

“Inilah tempat yang akan menjadi rumah baruku.”

Sekolah tersebut terletak di sebuah kota bernama Kuoh.

Gedung sekolah yang luas, lahan yang luas, dan fasilitas yang berlimpah merupakan hal baru untukku.

Ini adalah institusi terkenal dan bergengsi di wilayah ini, yang menyediakan pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas.

“Kalau cerita itu benar….”

Aku sudah mendengarnya dari grup Golongan Pahlawan, yang menemuiku bulan lalu.

“Sekolah ini adalah rumah bagi Malaikat Jatuh yang meneliti Sacred Gear.”

Jika memang ada teknologi untuk mencuri kekuatan, bukankah mungkin ada metode untuk menyegelnya?

Situasi dengan Tensei menemui jalan buntu, aku datang ke sini dengan susah payah, betapa pun lemahnya informasinya.

[Mungkin cerita itu benar.]

Sebuah suara keluar dari dadaku.

Pemiliknya sudah jelas tanpa menoleh.

“…Kenapa kau muncul?”

[Agak kasar memintaku untuk tetap diam di depan tempat yang tak menyenangkan seperti itu.]

Tensei terdengar sedikit tertekan.

[Sekolah ini dikelilingi oleh penghalang penyembunyi, tapi aura kuat tak bisa dihapus seluruhnya.]

“Meskipun penjelasan sebelumnya menyebutkan siswa dari berbagai ras….”

[Dan kau pernah dengar ada naga di antara mereka?]

Prosedur pindahannya cukup mendadak, jadi aku tidak mempelajari semua detailnya.

Namun, sekilas tak terlihat tanda-tanda sayap besar atau ekor panjang naga.

[Mungkin mirip denganku, tersegel di dalam Sacred Gear.]

Jadi biasanya berbentuk senjata, batinku.

[Aura yang sangat nostalgia. Tak disangka akan tiba saatnya aku bertemu Naga Langit sekali lagi.]

“Naga Langit… temanmu?”

[Sama sekali bukan, kami berasal dari mitologi dan cerita rakyat yang sangat berbeda.]

Meskipun keduanya memiliki kanji untuk “Surga/Langit  (天)” di nama mereka, mereka bukanlah kenalan.

[Kukira pedang lainnya sangat diperlukan untuk menantang Naga Langit.]

“Aku tidak datang ke sini untuk bertarung.”

[Mungkin, di sekolah ini, kita mungkin menemukan beberapa petunjuk mengenai keberadaan pedang kedua.]

“Dan sudah kubilang….”

[Omong-omong, Zekka, ayo ganti topik pembicaraan.]

“D-dengarkan aku sebentar!”

Dia pasti senang saat mengetahui bahwa ada banyak orang yang kuat.

“…Huh, jadi topik apa yang tidak berhubungan ini?”

Menyerah dengan enggan, aku menatap dadaku dengan mata setengah terbuka.

[Kalau begitu, izinkan aku bertanya padamu—ada apa dengan tampilan ini?]

Pertanyaan Tensei memang sama sekali tidak relevan dengan pembahasan kami sebelumnya.

“Apa maksudmu? Seragam Akademi Kuoh, jelas. Enggak cocok buatku?”

[Terlihat baik saja. Imut, menurutku. Tapi, yang kumaksud adalah apa yang ada di baliknya.]

“?”

[Kenapa kau memakai sarashi?]

P-pedang ini, kenapa sih dia…!

[Oppai hasil jerih payahmu bakal kelihatan lebih kecil, tahu.]

“I-itulah intinya.”

Kalau terlalu menonjol, semua orang bakal menatap….

Selain itu, kupikir membungkusnya dengan tebal akan mengurangi cahayanya kalau oppai-ku mulai bersinar.

[Aku tak bisa memahaminya. Kusarankan kau membukanya.]

“M-membukanya… ditolak! Mustahil aku bisa melakukan itu!”

[Kau takkan pernah mencapai puncak ilmu pedang payudara ganda seperti ini.]

“Dan aku bakalan mencapai status kriminal sebelum itu!”

Lagi pula, sejak kapan aku bercita-cita menjadi pendekar pedang mesum seperti itu?

Aku pindah ke sini untuk memenuhi impian masa kecilku.

“Kali ini aku pasti akan mendapatkan teman!”

Aku menyatakannya dengan lantang pada Tensei dan diriku sendiri, sambil mengepalkan tangan erat-erat.

Dan untuk itu, aku harus menemukan peneliti Sacred Gear yang dirumorkan dan melakukan sesuatu terhadap Tensei.

“Buat sekarang, aku harus menjadi murid biasa yang biasa-biasa saja.”

Aku melepaskan gagasan untuk menjadi pendekar pedang terkuat.

Semakin kuat dirimu, semakin banyak kau bertarung, semakin banyak kau menjadi sasaran.

…Dan aku bahkan tidak membicarakan soal oppai-ku yang semakin besar.

Itu sebabnya, aku tidak hanya akan menghindari menggunakan Tensei; aku akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menonjol.

“Lagi pula, kalau aku bersikap normal, berteman mungkin akan terjadi secara alami.”

Para siswa Akademi Kuoh masih belum mengenalku.

Menurut rencanaku, kalau aku bertingkah seperti gadis biasa, menjalin pertemanan tak akan memakan waktu lama.

“Jadi begitu ceritanya, dengar aku, Tensei? Kalau kau muncul di sekolah tanpa izin, kita selesai, paham?”

[Aku sadar. Tak usah menatapku dengan dingin.]

Dengan itu, sisanya tergantung padaku.

Sudah kuduga, tantangan pertama adalah bertemu teman-teman sekelasku.

“Pertama, aku harus berusaha agar hari pertama pindah sekolah ini berjalan sempurna. Masuk ke kelas tepat waktu dengan penuh elegan, tentu saja sambil tersenyum, lalu memperkenalkan diriku secara singkat—nama, asal kota, hobi, dan sebagainya—setelah itu—”

[…Kau yakin bisa?]

Ya, simulasi di kepalaku sudah sempurna, sekarang aku akan dengan tenang melihat semuanya dan….

“Hei, gadis itu.”

Aku menangkap percakapan dari belakangku.

Pandangan sekilas ke punggungku—dua siswi tengah memandangku.

Dilihat dari seragam bela diri dan tas pedang kendo mereka, mereka pasti dari Klub Kendo. Kemungkinan besar datang lebih awal untuk latihan pagi.

Meskipun aku ragu mereka mengacu padaku, yang dengan sempurna memainkan peran mafia—.

“Kenapa dia bicara pada dadanya sendiri?”

…………………………

“Dia tidak bergerak sedikit pun dari gerbang sekolah dan meneriakkan kriminal ini, kriminal itu.”

“Dia memang kelihatan aneh.”

“Tunggu, mungkinkah dia ada hubungannya dengan ketiga idiot itu—”

Ja-jangan-jangan, mereka mengira aku sebagai orang yang mencurigakan…?

“Yah, aku takkan berpikir sejauh itu. Meski begitu, kau tak boleh lengah!”

“Benar! Selama festival, mereka berhasil meloloskan diri, tapi kali ini mereka akan menghadapi keadilan!”

Selagi mengobrol seperti itu, mereka memasuki halaman sekolah, mengintip ke arahku dengan curiga.

Begitu, jadi akulah yang aneh, yang berbicara pada payudaranya dan berteriak….

[Sepertinya mereka pergi. Gadis-gadis itu mempunyai oppai yang bagus.]

“……”

[Zekka?]

“……”

[Jangan bilang ini mengejutkanmu sampai pingsan?]

Dadaku mulai berkedip samar seperti jam alarm.

“Ah.”

[Bangun? Kau pingsan barusan.]

“Oh, itu, aku tiba-tiba merasa mengantuk….”

[Kupikir kau sudah tidur delapan jam dengan cukup nyenyak.]

Itu bohong. Aku kehilangan kesadaran karena pikiranku tak sanggup menanggungnya.

“Y-yah, yang sebenarnya dimulai sekarang.”

[Semoga saja.]

“Aku hanya ceroboh kali ini. Semuanya akan baik-baik saja kalau kau tidak muncul.”

[Mau tak mau aku merasa khawatir….]

Dia mengkhawatirkanku, tapi perasaanku akan campur aduk kalau dia memperlakukanku seperti ini.

Apakah terpikir olehnya bahwa dia mungkin akan disegel di masa depan?

[Zekka.]

“A-ada apa lagi?”

[Aku sekutumu, bukan musuh. Jika perlu, panggil aku kapan saja.]

“Tensei….”

[Bergerak maju dan jangan melihat ke belakang. Hidup ada pasang surutnya[1].]

“Kau adalah yang terburuk….”

Dan di sinilah aku, sedikit emosional oleh kata-katanya, tapi di saat-saat terakhir, dia berhasil menyelipkan lelucon oppai.

Lembah apanya? Jangan bikin peribahasa baru.

Meskipun aku mengerti dia mencoba menghiburku dengan caranya sendiri.

“Kali ini aku tidak akan gagal.”

Aku menepuk kedua pipiku untuk menenangkan diri.

Nyalakan ambisi dalam dadamu, jangan lupakan dendammu terhadap oppai.

“Aku datang!”

Dan dengan itu, aku menginjakkan kaki di halaman Akademi Kuoh.

—JD×D—

“Tempat apa ini…?!”

Aku telah bersumpah untuk tidak membuat kesalahan sebelum masuk sekolah.

Namun, saat mencari gedung divisi SMP, entah kenapa aku mendapati diriku berkeliaran di tengah hutan.

“Ugh, aku benar-benar tersesat….”

Tak ada satu jiwa pun yang terlihat. Hanya banyak pepohonan yang mengelilingiku.

“Kudengar ini adalah akademi bergengsi… tapi luasnya sangatlah luar biasa…” gumamku sambil melirik dadaku, tapi tak ada respons dari Tensei.

Apakah dia benar-benar akan diam sampai aku meminta bantuan?

“Aku bermaksud datang lebih awal, tapi sekarang tidak banyak waktu tersisa….”

Ini mungkin terdengar aneh, tapi aku selalu terlambat karena tanpa sadar aku menarik beberapa jenis masalah.

Kata Nenek, hal itu sudah ada di dalam darah kami, tapi aku tidak mengerti mengapa keterlambatan bisa bersifat turun-temurun.

“…Apakah itu sebuah bangunan?”

Aku terus melintasi hutan, mengandalkan intuisiku, dan menemukan sebuah ruang terbuka.

Sebuah bangunan kayu sederhana berdiri di sana.

“Mungkinkah itu gedung sekolah tua?”

Aku tidak merasakan tanda-tanda kehidupan di dekatnya, tapi bangunan itu tampak terpelihara dengan baik, jendela-jendelanya masih utuh.

Itu memiliki daya tarik misterius, jadi aku secara refleks mendekatinya.

“Tapi, ada yang tidak beres…?”

Aku berhenti di tengah jalan. Rasa tidak nyaman menusuk kulitku.

Setelah diperiksa lebih dekat, garis merah samar terlihat di bawah kakiku.

Itu membentuk pola melingkar, mengelilingi bangunan seolah-olah itu adalah penghalang.

(Mengingat pengalaman masa laluku, itu tandanya aku bakal dapat masalah serius…!)

Dari dalam hatiku, atau lebih tepatnya oppai-ku, sebuah peringatan bergema, mendesakku untuk melarikan diri.

Aku segera berbalik dan berusaha pergi.

“Apakah kau punya urusan di gedung sekolah lama?”

Aku tidak cukup cepat. Seseorang memanggil dari belakang.

(Haruskah aku berbalik? Atau haruskah aku kabur? Apa pilihan yang tepat?)

Merenungkan apa yang akan dilakukan orang biasa… aku memutuskan untuk berbalik perlahan.

Di sana berdiri orang yang memanggilku—seorang siswi yang sendirian.

“Senang bertemu denganmu.”

Dia menyapaku dengan anggun sambil tersenyum anggun.

Namun, hal itu tak jadi masalah.

—Crimson. 

Rambut crimsonnya, berkibar tertiup angin, menarik perhatianku.

—Cantik sekali.

Kulitnya yang seputih salju membuat rambutnya tampak lebih bersinar.

Wajah yang luar biasa cantik, memancarkan aura bermartabat—kau pasti terpesona oleh kehadirannya, tak mampu bergerak.

Aku bertemu dengannya setelah tersesat di hutan.

—Seorang dewi sungguhan.

Aku penasaran bagaimana dia begitu cantik. Sangat memukau.

(Lagi pula, oppai-nya sangat besar… huh, oppai?)

Segera setelah aku mengingat kata “oppai”, aku kembali sadar.

“…!”

Naluri pendekar pedangku yang telah bangkit membuatku melompat mundur.

“Kau adalah[2], bukan manusia!”

Aku ceroboh. Meski hanya sesaat, aku sudah terpikat oleh pesonanya.

Kalau bukan karena oppai yang penuh kebencian itu, aku mungkin sudah kehilangan nyawaku saat itu juga.

“Oh, apakah aku mengejutkanmu dengan berbicara begitu mendadak?”

Dia tampak terkejut dan meminta maaf, memperhatikan bagaimana aku berusaha menjaga jarak.

“Sepertinya kau tidak mengenalku dengan baik.”

“…Aku pindah hari ini.”

“Oh, itu menjelaskannya.”

Aku mengamati reaksi lawanku terhadap usahaku yang lemah dalam bercakap-cakap. Aku tak boleh lengah.

“Ini pertemuan pertama kita, begitu. Jadi kenapa kau mengklaim aku bukan manusia?”

Aku tak merasakan adanya niat jahat. Alih-alih, pertanyaannya dipenuhi rasa ingin tahu yang tulus.

“Aku yakin aku menyembunyikan kekuatanku dengan cukup baik. Dan aku seharusnya tidak meninggalkan jejak teleportasi.”

“……”

“Bagaimana kau bisa mengetahui sifatku dengan begitu cepat? Bisakah kau mencerahkan aku untuk referensi masa depan?”

Intuisiku adalah satu-satunya dasar kecurigaanku.

Menjawabnya dengan jujur seharusnya tidak membuatku dirugikan.

“…Karena itu tidak terlihat alami.”

Jika aku berusaha mengarang kebohongan dengan buruk, hal itu dapat menyebabkan kerumitan lebih lanjut.

“Tidak terlihat alami?”

“Kupikir seseorang dengan kecantikan surgawi seperti itu tidak mungkin ada.”

Dan jika orang seperti itu memang ada, mereka pasti bukan manusia.

Saat aku akhirnya menjawab, gadis itu menatapku kosong.

“Itu satu-satunya alasan…?”

“Alasan lainnya adalah oppai-mu terlalu besar.”

Payudara besar menimbulkan ancaman. Mengutip kata-kata Tensei, itu menandakan bahwa kekuatan hidup gadis itu sangatlah kuat.

“Oppa…i-bagaimanapun juga, penampilan adalah satu-satunya dasar penilaianmu?”

“Benar. Aku secara naluriah merasa kau terlalu cantik untuk menjadi manusia.”

Aku sangat serius. Tapi mengenai respons sang dewi….

“Ha-ha-ha.”

Dia tertawa lembut.

“Maafkan aku. Sanjunganmu sangat lugas.”

“…Itu bukan sanjungan.”

Aku hanya mengutarakan pikiranku.

“…Aku memahami bahwa penampilan seseorang dan apa yang ada di dalam hati mereka adalah dua hal yang terpisah.”

Sifat aslinya bisa saja berhati dengki.

“Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa kecantikanmu menyaingi kecantikan seorang dewi.”

Aku menyatakan dengan tegas, masih mengawasinya dengan waspada.

Namun, aku langsung merasa malu, mengira aku telah berbicara terlalu banyak.

“Ah… ma-maaf kalau aku menyinggung perasaanmu….”

Wajahku merona karena panas. Berkata terlalu banyak begitu aku mulai berbicara, meskipun aku pemalu, adalah kebiasaan burukku.

Bagaimanapun, penampilan bisa menjadi topik sensitif bagi sebagian orang.

“Aku tidak bermaksud jahat… hanya mengutarakan pendapatku… jadi….”

“Kau tahu.”

Betapa pun cantiknya dia, kupikir dia akan marah dengan kata-kataku yang berlebihan.

“Kau agak imut.”

“Eh—imut?”

Namun, kata-katanya melebihi ekspektasiku.

“Tapi orang sering menganggapku mengintimidasi…?”

“Aku sedang berbicara tentang kepribadianmu, betapa jujur dan dungu dirimu.”

“…?”

“Kau sedikit mengingatkanku padanya.”

Ekspresinya menunjukkan bahwa dia sedang mengenang kekasihnya yang berharga.

Aku tak tahu siapa orang itu, tapi kuharap dia adalah seseorang yang membenci oppai dan mempunyai banyak teman.

“Jujur saja, aku tak menyangka kau akan mengetahui diriku dengan mudah.”

Seolah ingin memulai hal baru, dia sekali lagi menatapku.

“Kau benar dan salah tentang sifat asliku.”

Sihir yang dia sembunyikan muncul, memandikan dunia dengan warna-warna cerah.

“Aku bukan dewi.”

Dia membentangkan sayapnya—sayap gelap seperti sayap kelelawar.

“Namaku Rias Gremory, dan aku seorang Iblis.”

 

 

Sepertinya, aku akhirnya memahami apa yang dimaksud Tensei dengan “tempat yang tidak menyenangkan”.

Kukira ada orang-orang hebat seperti dia di seluruh sekolah.

Meninggalkan pedang, meninggalkan pertarungan, dan menghabiskan waktu dengan damai—hal-hal ini kini tampak seperti keinginan yang hampir mustahil.

“Siapa namamu?”

“…Miyamoto, Zekka.”

Sudah jelas dia kuat, jadi aku mempertajam kesadaranku, siap untuk kabur saat itu juga.

“Miyamoto?”

Namun, tak ada pertarungan yang segera terjadi—Rias Gremory meletakkan tangannya di dagunya, merenung.

“Jika aku tidak terlibat, mungkin itu Onii-sama… tidak, mungkinkah….”

Tidak adil betapa ekspresi kesusahannya pun tetap cantik.

“Kalau seperti itu, maka kau juga bukan orang biasa, 'kan?”

“…!”

“Jangan khawatir, Zekka-san. Aku tidak punya niat menimbulkan masalah.”

Berbicara dengan nada lembut, dia secara perlahan mendekatiku.

“Apa yang kau….”

“Tolong, jangan bergerak.”

“Kalau kau mendekat….”

“Jangan bergerak.”

Menurutku orang seperti dia dipanggil “Onee-sama”.

Untuk suatu alasan, aku menuruti orang ini—Iblis.

“Pitamu miring.”

Iblis, yang memperkenalkan dirinya sebagai Rias Gremory, menyesuaikan pitaku dengan anggun.

“Eh….”

“Diam. Kalau tidak, aku tak bisa memperbaikinya dengan benar.”

“I-iya.”

Rambut crimsonnya menyentuh hidungku—aromanya sangat manis dan lembut.

“Sekarang lebih baik. Kau harus menjaga penampilanmu.”

“Err, G-Gremo….”

“Kau bisa memanggilku Rias.”

“Te-terima kasih, Rias…senpai?”

Kalau dipikir-pikir lagi, seragamnya terlihat sedikit berbeda, dan aura yang dia pancarkan memberi tahuku bahwa dia pasti senpai-ku.

“Ini sudah menggangguku sejak awal.”

Dia mengulurkan tangannya ke dadaku.

“Ri-Ri-Ri-Rias-senpai?!”

“Aku merasakan kekuatan misterius. Itu mengingatkanku pada saat aku bertemu dengannya.”

Dia dengan lembut menarik tangannya dan menatapku, sedikit kesepian terlihat di matanya.

“Kau seperti bilah yang terhunus.”

Kalau dipikir-pikir, Tensei pernah mengatakan hal serupa.

Bahwa aku dingin, tajam, dan memotong setiap upaya untuk mendekatiku.

“Kau harus sedikit rileks. Sayang sekali kalau muka imutmu disia-siakan seperti ini.”

Aku penasaran alasannya, tapi sepertinya dia tidak berbohong.

“Aku—”

Mungkin, pada saat itu, aku seharusnya mengabaikan nasihatnya dan segera pergi.

Tapi, dia adalah orang pertama yang menanyakan namaku di akademi.

Jadi, aku mengungkapkan sedikit perasaanku yang sebenarnya.

“Aku, tidak tahu bagaimana cara bersantai.”

 

 

Karena aku canggung. Karena aku payah dengan kata-kata. Karena aku tak bisa lengah satu hari pun karena oppai.

“Ini satu-satunya cara, aku bisa menjalani hidupku.”

Meskipun aku disalahpahami, meskipun aku berputar-putar, aku hanya bisa terus maju.

Bahkan ketika diberi tahu hal ini sekarang, aku tak mungkin bisa berbuat apa-apa….

“Kalau begitu, kau harus mempelajarinya mulai sekarang.”

Dia dengan lembut tapi tegas menyemangatiku.

“Itulah alasanmu datang ke sini, bukan?”

“Itu….”

“Aku sangat sadar bahwa manusia tak bisa tumbuh sendiri.”

Nada suaranya kuat, menunjukkan bahwa dia pasti telah mengatasi banyak hal.

“Temui banyak orang. Lalu belajarlah dari banyak orang.”

Matanya menyampaikan—kalau kau melakukan itu, jalan akan terbentang di hadapanmu.

“Kau pasti bisa berubah. Segala impian bisa terwujud selama kau tidak menyerah.”

Rias-senpai mengangguk riang.

“Jangan cemas, aku sangat memperhatikan orang-orang.”

Sejujurnya, aku merasa akan diliputi rasa cemas ketika berdiri di depan gerbang.

Mungkin aku mencoba membodohi diriku sendiri dengan berbicara dengan Tensei dan berteriak.

Namun, setelah bertemu dengannya, rasanya ada sesuatu dalam diriku yang berubah, meski hanya sedikit.

“Dan yang terakhir, karena aku belum menanyakannya dengan benar, tolong beri tahu aku.”

Rias-senpai bertanya langsung padaku.

“Apa yang ingin kaucapai dengan datang ke sekolah ini, Zekka-san?”

Aku teringat hari-hari berat yang kulalui hingga saat ini.

“Aku—”

Namun, tujuanku selalu tidak berubah.

“Ingin, berteman.”

Sungguh kesepian hidup sendirian. Aku merindukan seseorang untuk menghabiskan hari-hari bersamaku sepanjang hidupku.

“Belajar bersama, bersenang-senang bersama, dan, meski membuatku takut, bertengkar. Lalu….”

Ada banyak hal yang ingin kulakukan, dan semuanya biasa saja hingga ekstrem.

Ini semua adalah hal yang mungkin membuat orang lain tertawa.

“Kau—”

Bagiku, meskipun aku tidak pandai bicara, dia hanya mengatakan satu hal.

“—ingin merasakan masa muda, bukankah begitu.”

Rias-senpai tersenyum.

Sudah kuduga, bagiku, dia terlihat seperti dewi sungguhan.

 

 

“Omong-omong, kenapa kau datang ke gedung sekolah lama?”

Setelah beberapa waktu, Rias-senpai bertanya, memiringkan kepalanya dengan bingung.

“Aku, tersesat….”

Kubilang padanya aku sedang mencari gedung divisi SMP.

“Begitu, tidak mungkin kau menemukannya di sini.”

“Kenapa?”

“Nah, ini adalah halaman dari divisi SMA.”

“Di-divisi SMA…?”

Tapi bukankah sekolah ini merupakan sekolah terpadu yang menyelenggarakan pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas….

“Divisi yang berbeda mempunyai halamannya masing-masing. Divisi SMP berjarak beberapa ratus meter dari sini. Itu tidak berbagi halaman yang sama dengan divisi SMA.”

“Tidak mungkin….”

Meskipun setelah dia menyebutkannya, desain seragam yang kulihat sedikit berbeda.

Seperti katanya, aku datang ke tempat yang salah sejak awal….

“Ha-ha, kau memang menarik.”

Senpai tak bisa menahan tawanya, tapi dari sudut pandangku, situasinya mengerikan.

“Kupikir sekitar sepuluh menit lagi sampai pembukaan.”

“S-sepuluh menit?!”

Aku tak boleh tinggal di sini dan tidak berbuat apa pun; Aku harus segera menanyakan arahnya.

“Kalau kau tidak bergegas, kau akan terlambat.”

Terlambat segera setelah pindah sekolah itu tak bisa dimaafkan.

Parasku memang sudah bermasalah, tapi kalau kelakuanku jadi bermasalah juga, apa yang bakal kulakukan?

“Diperlakukan sebagai berandal… diseret ke dalam perkelahian… dipanggil ke kantor bimbingan… dijauhi oleh semua orang….”

“Zekka-san?”

“Tak bisa berteman dan merasakan masa muda, menghabiskan hidup dalam kesendirian dan tersiksa oleh oppai…!”

Kehidupan yang jauh dari normal—skenario terburuk terjadi—.

“O-oo-opa, oppai…?!”

Saat aku sadar kembali, Rias-senpai memelukku.

Tindakan itu sendiri bukanlah sesuatu yang tidak senonoh. Namun, payudara seorang dewi menempel padaku—.

“Aku memutuskan untuk memelukmu karena kau tak mendengarkan sama sekali.”

“T-terima kasih sudah mengkhawatirkanku, tapi bisakah kau melepaskanku….”

“Kurasa pelukanku tidak sekuat itu. Apa mungkin kau kesakitan?”

“Hatiku sakit gara-gara o-oppai!”

Meski senpai memiringkan kepalanya sekali lagi, dia melepaskanku tanpa ada perbedaan pendapat.

“Terima kasih atas perhatianmu.”

“Tak usah cemas. Kau selalu diterima di gedung sekolah lama kalau kau punya masalah.”

Aku membungkuk dalam-dalam lalu berbalik.

Tentu saja, aku tak bisa belajar rileks secepat ini.

Jadi, aku memutuskan untuk setidaknya fokus pada apa yang bisa kulakukan sekarang dan mulai berlari.

“Zekka-san!”

Saat aku bergegas pergi, namaku disebut.

Saat aku berbalik, Rias-senpai berkata, seolah merayakan awal babak baru dalam hidupku.

“Selamat datang di Akademi Kuoh!”

Tirai kehidupan sekolahku terangkat dengan rambut crimson yang lebih cerah dari dedaunan musim gugur.

—JD×D—

Lari. Berlari cepat dengan segenap tenagamu. Capai tujuanmu lebih awal.

“…I-ini dia… Ini divisi SMP…!”

Seperti yang diinstruksikan Rias-senpai, setelah lari sejenak, gedung divisi SMP mulai terlihat.

Di balik gerbang, hanya ada satu garis lurus panjang; dengan kecepatan ini, seharusnya aku bisa tepat waktu….

“Aku bakal tellaaaaaaat!”

Namun, tiba-tiba seseorang muncul dari balik pepohonan pinggir jalan.

Rambut pink cerah, mudah disalahartikan sebagai mekarnya sakura di luar musim.

Orang ini muncul di depan mataku tanpa peringatan.

““Eh?!””

Teriakan kami bersahutan, kami berdua dikejutkan oleh tabrakan mendadak ini.

Setelah beberapa saat, bunyi gedebuk bergema di udara.

(Aku berhasil mendarat dengan selamat! Tidak membahayakan tubuhku! Meskipun—)

Kami saling bertabrakan dengan kekuatan yang besar, dan mengesampingkan diriku sendiri, aku tak bisa membayangkan orang lain tidak terluka.

Aku segera melompat berdiri dan buru-buru memastikan keadaan pihak lain.

Mungkin, harus kubilang “secara mengejutkan”, tapi gadis itu dengan sigap menyerap dampaknya.

Meskipun tubuhnya sangat kecil dan ramping, dia berhasil menetralkan sepenuhnya momentum tabrakan kami.

“…Apa kau baik-baik saja?”

Ketika aku dengan takut-takut mengulurkan tanganku padanya, dia dengan kuat menggenggamnya dan berdiri.

(Tangannya… itu tangan seorang pendekar pedang….)

Aku bisa membedakannya dari cengkeramannya. Dia sangat terampil.

“Terima kasih! Apa kau sendiri baik-baik saja?!”

“A-aku baik-baik saja….”

“Baguslah! Tapi, untuk bisa menahan kepalaku yang sekeras batu, kau pasti memiliki kekerasan setingkat berlian!”

Aku penasaran apakah itu pujian atau dia mengejek kekerasan kepalaku.

Meskipun dilihat dari senyuman yang menghiasi seluruh wajahnya dan acungan jempolnya, aku berasumsi pujian.

“Maaf. Nilaiku sedikit di atas standar, jadi aku sedikit cemas.”

“Seharusnya aku yang meminta maaf, aku tidak memperhatikan….”

Setelah kami dengan hormat menundukkan kepala sekeras batu dan berlian kami, gadis itu memperkenalkan dirinya dengan suara keras.

“Aku Avi! Kata favoritku adalah ‘keaktifan’, ‘kegigihan’, dan ‘antusiasme’! Senang bertemu denganmu!”

“A-aku Miyamoto Zekka.”

Saat pandanganku secara tak sengaja beralih ke dadanya, aku melihat pita merah.

(Oppai kecil, sungguh menenangkan… bukan itu!)

Yang perlu kufokuskan adalah warna pitanya. Meski agak terlambat, sekarang aku tahu dia seorang kakak kelas.

“Meskipun sepertinya aku tidak mengenalmu, mungkinkah kau baru mendaftar di akademi?”

Mungkin dia punya banyak teman, jadi dia mencium aroma orang luarku.

“Aku pindah, hari ini.”

“Murid pindahan?! Belum lagi, ini hari pertamamu?! Dan hampir terlambat—itu luar biasa!”

Avi-senpai memberiku senyum lebar. Aku tidak yakin bagaimana menanggapi ucapannya yang blak-blakan, tapi tak ada komentar jahat.

“Eh, Avi-senpai, kenapa kau melompat keluar dari—”

“Aku… tunggu, aaaaaaaaaa!”

Dia tiba-tiba berteriak seolah dia baru mengingat sesuatu. Setiap kata-katanya penuh dengan semangat.

“Sekarang bukan waktunya mengobrol!”

Dia mengambil tas kami, lalu memberi tahuku dengan ekspresi bingung.

“Kita bisa bicara nanti! Sekarang kita harus buru-buru!”

“Oh, benar, kita bakalan terlambat.”

“Itu salah satu alasannya, tapi orang-orang itu bakal menyusul kapan saja!”

“Orang-orang itu…?”

Sebelum dia bisa menjawab, maksud kata-katanya menjadi jelas.

“Itu dia, anak bermasalah!”

Dari balik pepohonan, seorang gadis baru melompat keluar sambil berteriak.

Perawakan pendek, ponytail berantakan, balutan pedang dengan lambang keluarga, dan sebuah ban lengan.

“Ack, sudah menyusul?! Kau cepat, Mina-chan!”

“Jangan panggil aku Mina-chan! Namaku Minamoto!”

Kemudian, murid lain mulai muncul dari balik pepohonan secara berurutan, semuanya mengenakan ban lengan yang sama.

Dengan gadis bernama Minamoto di garis depan, mereka berbaris seperti pasukan militer yang terlatih.

“Hari ini aku pasti akan melemparmu ke ruang bimbingan!”

Dia memelototi kami dengan mata tajam dan berapi-api.

“Eh, Avi-senpai, apa yang harus kita lakukan?”

“Bukankah sudah jelas.”

Setelah jeda singkat, Avi-senpai dan gadis bernama Minamoto berteriak secara bersamaan.

“Lari dengan segenap kekuatan kita!” “Tangkap mereka dengan segenap kekuatan kita!”

Menerima perintah, pasukan mengeluarkan seruan perang yang keras.

“““““Uoooooooooooooooo!”””””

Para siswa menyerbu ke arah kami seolah-olah ingin memenggal kepala jenderal musuh.

Tanpa pikir panjang, aku mendapati diriku berlari secepat yang kubisa bersama Avi-senpai.

“A-apakah ini zaman Sengoku atau apa?!”

“A-ha-ha! Ini adalah kehidupan sekolah yang sedikit eksentrik tapi biasa saja!”

“Tak ada yang biasa soal itu… apalagi orang-orang itu….”

“Itu OSIS! Mina-chan adalah satu-satunya anggota eksekutif, tapi kau tak boleh lengah! Kau akan dapat masalah besar kalau mereka menangkapmu!”

Jadi mereka adalah OSIS divisi SMP.

Namun, masalah besar itu… mereka takkan memenggal kita secara serius atau semacamnya, 'kan?!

“Tapi karena Mina (Wakil Ketua OSIS) ada di sini, kita benar-benar kurang beruntung!”

Avi-senpai mengepalkan tinjunya, kelihatan sangat frustrasi.

“Tidak disangka mereka akan melakukan penyergapan di gerbang belakang! Astaga, Mina-chan, dia cukup perencana!”

Sepertinya dia ditangkap oleh OSIS ketika berusaha masuk melalui gerbang belakang.

Lalu, dia melarikan diri ke tempat ini dengan pasukan di belakangnya.

(Tunggu, mungkinkah aku terseret ke dalam masalah sekali lagi…?)

Kenapa aku dikejar bersamanya? Apakah aku memang ditakdirkan buat selalu terlambat?

“Anak-anak bermasalah akan segera mendapat balasan yang setimpal!”

Teriakan wakil ketua OSIS menggema dari belakang. Tak lama kemudian, aku pun menjadi target.

“Itu salah… aku bukan anak bermasalah… aku murid pindahan biasa….”

“Zekka-chan, tiba-tiba matamu terlihat mati?! Kenapa?!”

Avi-senpai menepuk punggungku dengan kuat.

“Sekarang bukan waktunya untuk melarikan diri!”

Dia tiba-tiba menunjuk ke depan.

“Sepertinya kita berada dalam situasi yang sangat sulit…!”

Ketika aku melihat jauh ke kejauhan, ada para siswa yang berbaris di depan gedung sekolah.

“Jadi hari ini mereka juga membentengi lini depan…!”

“Itu juga dari OSIS….  Entah kenapa, ada banyak siswa berotot….”

“Itu karena OSIS kita adalah golongan yang sangat berorientasi pada pertempuran!”

Biarpun kau mengatakannya seperti biasa, jelas tak ada siswa SMP yang tercampur di antara mereka!

“Aku akan mengatasinya, tapi—”

Dia melirik ke arahku dan kemudian mengangguk seolah sudah memutuskan sesuatu.

“Kita akan menerobos! Aku akan mencoba membuat celah sehingga kau bisa melewatinya!”

“D-dan apa yang bakal kaulakukan, Avi-senpai?”

“Jangan cemaskan aku! Aku bakal mengatasinya dengan nyali!”

Rambut pinknya berayun kuat. Matanya menyuruhku untuk rileks dan mengikutinya.

“Ini tidak akan berjalan seperti biasanya, anak-anak bermasalah!”

Namun, segalanya tidak berjalan sesuai harapan. Teriakan marah Minamoto-fukukaichou sekali lagi bergema dari belakang.

“Hentikan mereka, Benkei!”

Untuk sesaat, ada sesuatu yang menghalangi sinar matahari.

“…! Avi-senpai!”

“Eep?!”

Aku meraih dan menarik seragamnya.

Sedetik kemudian, sesuatu mendarat tepat di depan Avi-senpai dengan kecepatan dahsyat.

“Ini… naginata?”

Sebuah lubang besar terbuka di tanah, dan naginata besar muncul dari sana.

“H-hampir saja! Terima kasih, kau menyelamatkanku!”

“Sepertinya itu pedang palsu, tapi kenapa ada di halaman sekolah….”

“Divisi SMP berorientasi pada olahraga, terutama klub seni bela diri, yang semuanya top-class secara nasional.”

“Meskipun itu tidak menjelaskan apa pun….”

“Terkadang ada senjata yang beterbangan, terkadang hal misterius terjadi—inilah Akademi Kuoh!”

Aku akan mendapat masalah meskipun kau mencoba mengabaikannya.

Meskipun siswa biasa lainnya tidak bersenjata dan masalah seperti ini sepertinya bukan hal yang lumrah.

(…Hanya OSIS yang diperbolehkan menggunakan senjata di depan umum? Mungkinkah itu adalah kumpulan individu dengan kekuatan supernatural?)

Berbagai pemikiran berkecamuk dalam benakku, tapi saat ini hal itu bukanlah masalah yang paling mendesak.

“Ini sejauh yang kaubisa.”

Pernyataan tidak berperasaan dari wakil ketua OSIS, yang mengejar kami saat kami berhenti.

Setelah dia melirik arlojinya, aku merasakan keinginan untuk melihat jam di gedung sekolah.

Waktu hingga kelas dimulai—sepuluh detik.

“Akui kekalahanmu dengan anggun dan menyerahlah. Untuk saat ini, aku akan melepaskanmu dengan permintaan maaf tertulis sebanyak 100 halaman.”

“Mustahil! Aku bakal menderita tenosinovitis kalau aku menulis 100 halaman! Dan itu akan menghambat pelajaranku!”

“Y-yah, aku bakal kerepotan kalau kau bilang begitu. Maka setidaknya 5 halaman… tunggu, jangan ubah topik!”

Mungkinkah wakil ketua itu ternyata baik hati?

“Avi-senpai….”

Secara logika, sudah mustahil bisa tiba di kelas tepat waktu.

Aku benar-benar tidak ingin terlambat dan dianggap sebagai siswa bermasalah, tapi toh namaku tetap masuk dalam daftar siswa bermasalah OSIS.

Dan jika terjadi pertarungan, Tensei mungkin akan bertindak.

Jika begitu, lebih baik aku harus menyerah dan meminta maaf, apa pun untuk menghindari situasi yang dapat mengungkap oppai—.

“Pergi!”

Namun, kata-katanya membuatku terkejut.

“Aku akan menghentikan Mina-chan.”

“Dengan menghentikan itu maksudmu….”

“Aku akan menyeret orang-orang di pintu depan ke sini juga. Manfaatkanlah hal itu, dan mungkin kau akan berhasil tepat waktu.”

Ini jelas merupakan tindakan yang ceroboh. Pertama-tama, meskipun aku berhasil lolos, waktu—.

“Kemungkinannya tak terbatas selama kau tak menyerah!”

Avi-senpai berteriak sekuat tenaga. Lalu dia melangkah maju seolah ingin melindungiku.

“Aku tidak akan membiarkanmu terlambat! Hari ini adalah hari pertamamu setelah pindahan! Itu sebabnya kau harus menjadikannya awal yang sempurna!”

“Tapi Senpai, nilaimu… lalu permintaan maaf tertulis….”

“Itu penting, tapi ada hal yang lebih berharga dari itu.”

Avi-senpai memberiku senyum lebar dan menepuk oppai-nya.

Tidak, mungkin yang dia tepuk adalah hatinya.

“Bagaimana aku bisa menyebut diriku senpai kalau aku meninggalkan kouhai dalam kesulitan!”

Avi-senpai mengambil sikap. Dia benar-benar bakal menghadapi gerombolan ini.

Semua demi seorang kouhai yang bahkan dia tidak kenal—untukku.

“Kenapa kau bertindak sejauh ini….”

“Kau tidak memerlukan alasan untuk membantu orang yang membutuhkan!”

Dia menertawakan kebingunganku seolah itu masalah sepele.

Dan di sini aku berharap menyelamatkan diri, setidaknya bersedia tetap merahasiakan oppai….

(Ini tepat setelah Rias-senpai mengatakan bahwa dia yakin aku bisa berubah.)

Bukankah aku sudah memutuskan untuk tidak gagal, untuk memastikan hari pindahannya?

“Zekka-chan! Tolong, nikmati kehidupan sekolah yang menyenangkan!”

Avi-senpai hendak melangkah ke medan tempur dengan sikap seorang prajurit yang sedang menuju kematian.

Untuk sesaat, aku merenung apakah aku akan membiarkan dia mati begitu saja.

(Aku seorang siswi SMP biasa… tetapi melarikan diri tanpa berbuat apa-apa….)

Aku tak bisa menggunakan Tensei. Aku tak punya niat bertarung. Tapi, apakah itu berarti aku tak bisa berbuat apa-apa?

“Tidak, ada jalan.”

Aku langsung menggenggam naginata yang tertancap di tanah.

“Tolong, pinjamkan aku kekuatanmu sebentar.”

Saat aku diam-diam memohon pada senjata itu, sepertinya aku mendengar suara yang keluar dari dalam pedangnya.

“Eh, k-kau bercanda?! Zekka-chan, kau bisa mengangkatnya?!”

Aku menarik senjata yang panjangnya lebih dari dua meter sekaligus dan membentuk kuda-kuda.

(Ini adalah cara bagi kami berdua untuk bertahan hidup—)

Menurut ceritanya, meskipun kau memegang senjata sebentar, itu seharusnya tak jadi masalah besar di akademi ini.

“Aura di sekelilingnya berubah…?”

Wakil ketua OSIS itu mengerutkan alisnya.

“Namun, tak ada kata ‘mundur’ di bushido-ku!”

Dia mengeluarkan perintah tanpa ragu-ragu, lalu pasukannya dengan berani maju ke depan. Baik dari depan maupun belakang.

“Avi-senpai, apa kau tahu di mana ruang kelas 2-B?”

“Kelas dua? Apa ini kelasmu, Zekka-chan? Kurasa itu ada di sekitar sana….”

Informasi ini cukup. Lalu aku menyalurkan kekuatan pada naginata yang bersandar di bahuku.

“Tolong, menunduklah setelah 1 detik.”

“A-apa yang kau—”

“Aku mulai.”

Avi-senpai menunduk kebingungan.

“Argh.”

Aku membuat tebasan sentrifugal besar, dengan diriku sebagai porosnya.

“Kekuatan yang dahsyat!”

Seperti yang diduga, wakil ketua OSIS berhasil menghindar; Namun, sisanya tersapu oleh tekanan angin dalam satu tebasan.

“…Wow.”

Avi-senpai bergumam dengan terpana, tetap mempertahankan postur tubuhnya yang berjongkok.

“…Keren sekali… persis seperti….”

Dia memujiku untuk sesuatu; Namun, ini adalah kekuatan kasar belaka tanpa teknik atau keterampilan.

“Jalannya sudah bersih, ayo pergi, Senpai.”

“Y-ya, apalagi ini?!”

“Kali ini, mohon bersiap untuk pendaratan keras.”

“…Hah?”

Seperti lemparan judo, kuraih dan kulemparkan dirinya ke udara dengan kekuatan penuh.

“T-tunggu—apa yang kau—?!”

Avi-senpai melayang menuju pintu masuk, membentuk parabola di udara.

Dia menjerit, tetapi saat dia terbang semakin tinggi, suaranya perlahan memudar di kejauhan.

“…Terima kasih.”

Karena berusaha menolong orang sepertiku. Kumohon, sampai tepat waktu.

“Apa gunanya menyelamatkan orang seperti dia?”

Yang tersisa hanya aku dan kontingen anggota OSIS, termasuk sang wakil ketua.

“Meskipun ada kouhai yang luar biasa nekat di sini. Kau sudah siap menghadapi konsekuensinya, kukira?”

Sang wakil ketua OSIS meraih bungkusan pedangnya.

“Duel dilarang di lingkungan akademi. Belum lagi siswa biasa yang tidak diizinkan membawa senjata.”

Melihat naginata di tanganku, dia tersenyum seolah berkata, “Kau bukan salah satunya, 'kan?”

“Aku akan membuat pengecualian hanya untukmu. Ini bukan duel, kita akan menjadikannya pertandingan latihan dan—”

Matanya menyiratkan, “Mari kita bertarung habis-habisan.”

“Aku sangat menyesal, tapi aku tidak berniat bertarung.”

“Hah?”

Sang wakil ketua OSIS tak tahu harus berkata apa, ekspresinya bingung, setelah jawabanku yang masa bodoh.

Sejak awal, hanya ada satu tujuan untukku.

“Itu agar hari pertama pindah sekolahku sukses!”

Aku memunggungi mereka dan berlari menuju gedung sekolah.

“Berani memunggungiku…. Hentikan dia! Pastikan kalian menangkapnya!”

Beberapa orang di depanku mencoba menghalangi jalanku.

“Niten Ichi-ryuu—”

Seni bela diri yang kuwarisi dari leluhurku ini tak terbatas pada serangan.

Berlari seperti angin, mengalir seperti air—hindari lawan hanya dengan gerakan tubuh.

Namun, sang wakil ketua OSIS adalah satu-satunya orang yang terus mengejarku—pembicaraannya tentang bushido bukan sekadar omong kosong.

Maka, ini mungkin tidak cocok untuknya.

“Aku permisi dulu hari ini—Mina-senpai.”

“M-Mina?! Na-namaku Minamoto!”

Dia mungkin tidak menyangka akan dipanggil dengan nama panggilannya pada pertemuan pertama kami.

Mukanya memerah, dan langkahnya sedikit goyah.

(Jarak, posisi, waktu—tak akan ada kesempatan lain!)

 

 

Setelah mempercepat hingga batas kemampuanku, aku menjatuhkan ujung naginata ke tanah dan mendorong diriku ke udara dengan sekuat tenaga.

“Dia melompat—?”

Konon katanya rekor dunia lompat galah adalah lebih dari enam meter.

Ruang kelas di lantai dua berjarak sekitar enam meter dari permukaan tanah.

Kalau begitu, maka aku seharusnya bisa mencapai kelas 2-B!

“Apa yang kau—”

Menandai itu sebagai kata-kata terakhir sang wakil ketua OSIS, aku menghilang melalui jendela.

Untungnya, jendela kelas terbuka.

Aku menembus bingkai dan berhasil mendarat.

Apalagi, begitu aku menyentuh tanah, bel berbunyi, menandakan dimulainya kelas.

“…Aku, berhasil.”

Seperti dugaanku, aku benar-benar kelelahan. Akibat kejadian tak terduga ini, baik badan maupun pikiranku terasa berat.

Aku segera mengangkat kepalaku. Jika aku datang tepat waktu, maka ini seharusnya waktu homeroom.

Dan seperti biasanya, ini seharusnya menjadi waktu untuk perkenalan diriku.

“Ini lantai dua….”

Seorang guru berdiri di podium, bergumam sendiri, ekspresinya kosong karena terkejut.

Aku tak bisa berpikir jernih dan memaksakan perkenalan yang sudah kupelajari keluar dari mulutku.

Meskipun aku tak bisa tinggal diam, setidaknya aku harus menyebutkan namaku—.

“K-kau siapa?”

“Miyamoto.”

Guru itu hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi kata-kata keluar dari mulutku seakan ingin memotong ucapannya.

Dan aku tak bisa berhenti. Aku memperkenalkan diriku begitu saja.

“Aku adalah, Miyamoto Zekka!”

Angin musim gugur bertiup kencang di belakangku.

Daun-daun merah berkibar, dan rambut hitamku berayun kencang.

“Aku menantikan untuk belajar bersama kalian mulai hari ini dan seterusnya.”

Angin semakin kencang, seolah mendorongku ke belakang.

Jendela berderit, pengumuman buletin terkelupas, dan teman-teman sekelasku hampir tak bisa membuka mata.

“…Ini adalah badai. Badai telah tiba.”

Salah satu siswa bergumam, melihatku didorong oleh angin merah.

Aku tak punya banyak ruang untuk perkenalan ini, tapi setidaknya aku akan menyelesaikannya dengan senyuman terbaikku.

“Senang berkenalan dengan kalian.”

 

 

Setelah hari itu.

Aku nyaris terlambat dan, meski hanya sebentar, berhasil membuat perkenalan yang tepat—atau begitulah menurutku.

Namun, setelah itu, satu rumor menyebar ke seluruh akademi dengan cepat.

Dan dikatakan—seorang murid pindahan yang keterlaluan muncul di divisi SMP.

Yang paling mengerikan, yang mengalahkan OSIS dan menguasai seluruh kelas hanya dalam hitungan detik pada hari pindahan.

Menurut ceritanya, walaupun kupikir sudah jelas pada saat ini, wajah siswi itu juga bermasalah.

Senyuman mengerikan, tatapan tajam, dan nada suara mengancam—begitulah tuduhannya.

Debut pindahan Miyamoto Zekka bukan hanya sebuah kegagalan; itu adalah bencana yang spektakuler.

—JD×D—

Akibatnya, perkenalanku kemarin membuat takut semua orang.

(Dan kupikir itu berjalan cukup baik….)

Di mana kesalahanku? Aku menderita karena kekuranganku sendiri.

(Tenangkan dirimu. Di saat seperti ini, kau harus menghitung oppai.)

Mengenang hal-hal yang menjijikkan dan terkutuk itu membantuku mengatasi kecemasan.

“Dua oppai, empat oppai, enam oppai….”

Aku mengucapkannya sambil duduk di mejaku seolah-olah sedang membaca mantra dengan sungguh-sungguh.

“Miyamoto-san menggumamkan sesuatu lagi.”

Bahkan dengan mata tertutup, aku bisa mendengar percakapan teman-teman sekelasku.

“Mungkinkah dia sedang memikirkan target selanjutnya?” “Jadi itu benar-benar OSIS?” “Itu terlalu ceroboh bahkan untuk seorang pemimpin rahasia berandalan.” “Kudengar ini pertama kalinya wakil ketua OSIS membuat pengecualian.” “Tapi dia memiliki aura sejuk di tubuhnya, terutama wajahnya!” “Seperti penjahat tampan, 'kan?” “Dia itu perempuan, apa kau sudah gila….”

Sementara itu, homeroom telah usai, dan tibalah waktunya untuk kegiatan sepulang sekolah.

Seperti biasa, sepertinya mustahil bagi seseorang untuk berbicara denganku, jadi aku hanya berdiri dan bersiap untuk pergi.

“““““D-dia berdiri!”””””

Semua teman sekelasku berseru sambil terengah-engah.

(Apa mereka mengira aku adalah binatang yang berjalan dengan empat kaki…?)

Mau bagaimana lagi, jadi aku menurunkan pandanganku dan berjalan cepat menuju pintu keluar.

“Ke mana pun aku pergi—selalu sendirian, huh.”

Aku bergumam sambil mengganti sepatuku.

Tensei menepati janjinya dan tetap diam.

Tapi situasi yang tidak berjalan ke arah yang benar berarti ini adalah hasil dari tindakan dan pemikiranku yang naif.

“Aku harus berusaha tidak terlalu mencolok.”

Meski divisi SMA tampak tenang, hanya dengan berpindah ke divisi lain, suasana akademi berubah drastis.

Betapa pun panasnya divisi SMP ini, apa yang terjadi pagi itu terlalu berlebihan.

“Normal… normal… aku normal….”

Aku mencoba menenangkan diriku sekali lagi. Aku harus bersembunyi sampai rumor itu mereda.

“Baiklah! Buat sekarang, aku akan diam saja—”

“Ketemu! Hei! Di sini, di sini! Aku datang padamu!”

Tiba-tiba, suara riuh terdengar. Yah, lagian itu tidak ada hubungannya denganku.

“Zekka-chan, Zekka-chan, Zekka-chaaaan!”

…Tunggu, sepertinya ada hubungan.

Saat aku keluar melalui gerbang, aku melihat seseorang berlari ke arahku dengan kecepatan penuh dari jauh.

“Avi-senpai…?”

“Uoooooooooooo.”

“Avi-senpai?”

“Uoooooooooooooooooooooooo.”

“Avi-senpai?!”

Tak ada tanda-tanda dia akan berhenti.

Dia melaju melewatiku, lalu bertabrakan dengan tembok di dekatnya.

“A-apa yang kaulakukan…?”

“Holong aqu—”

Aku tak bisa hanya berdiam diri dan menonton, jadi aku menarik Senpai keluar dari tembok tempat dia terjebak.

“Bwah, terima kasih, aku agak tidak kompeten dalam mengerem dengan kakiku.”

“Senpai, apa tubuhmu itu seperti mobil….”

“A-ha-ha! Kalau begitu, maka hatiku adalah bahan bakarku! Inilah kelahiran mesin gerak abadi, Avi!”

Percuma saja, mungkin ada yang tak beres dengan dirinya karena syok menabrak tembok.

“Jadi, apakah kau punya….”

Saat itu, dia meraih kedua bahuku seolah menunggu momen ini.

“Aku datang untuk mengundangmu!”

“Mengundang?”

“Zekka-chan, apakah kau sudah memutuskan klub mana yang mau kauikuti?”

“Belum….”

“Aku senang! Kalau begitu—”

Avi-senpai menyatakan dengan senyum lebar.

“Kalau begitu, bukankah kau ingin menjadi pendekar pedang terkuat bersamaku?!”

…Pendekar pedang, terkuat?

“Aku mencari sobat terkuat!”

…Sobat, terkuat?

Ini terlalu mendadak; aku tidak mengerti maksudnya. Dan meskipun itu tidak mendadak, aku tetap tidak mengerti apa yang hendak dia sampaikan.

“Aku merasakan percikan saat melihatmu waktu itu, Zekka-chan!”

Dia menjadi bersemangat dan mengguncang bahuku dengan kuat.

“Kekuatan yang cukup untuk menggunakan naginata, kesadaran hebat, dan yang terpenting—nyali!”

Karena suaranya yang terlalu keras, orang-orang berhenti dan menatap kami.

Namun, dia tidak peduli sedikit pun.

“Zekka-chan, ilmu pedangmu sangat diperlukan untukku!”

Kata-katanya membuat jantungku berdetak kencang sejenak.

Yang membuatku kecewa, hal itu sedikit menggoyahkan tekadku sebelumnya.

“Ah, sebagai permulaan, apakah kau punya pengalaman dengan pedang? Seperti berpartisipasi dalam Klub Kendo di sekolahmu sebelumnya?”

“Aku tidak, berlatih kendo apa pun.”

“Jadi tidak ada pengalaman! Meskipun aku dengan hangat menyambut pendekar pedang pemula sekalipun! Tak perlu khawatir meskipun kemampuanmu kurang!”

“Pendekar pedang, pemula… kurang kemampuan…?”

Ketika aku memikirkan apa yang kukatakan, aku menyadari bahwa aku hanya menirukan kata-katanya.

Aku tak tahu detailnya, tapi sepertinya dia sangat memikirkan potensiku.

“Mari kita melakukan tur sekarang!”

“Maksudku, aku bakal kerepotan kalau kau bertanya begitu mendadak.”

“Eh, mungkinkah kau punya rencana sepulang sekolah? Akan segera bertemu dengan teman-teman?”

“…Bukan itu masalahnya.”

“Kalau begitu, sudah beres!”

Avi-senpai dengan kuat menggenggam tanganku. Lalu dia berlari dengan kecepatan penuh.

“Eh, tidak, um, tung—!”

“Ayo segera pergi—ke klub kita!”

Dan begitulah cara aku diseret secara paksa.

Tentu saja, kami berdua tak bisa berhenti dan terjebak di tembok.

 

 

Berjarak sekitar 5 menit berjalan kaki dari gedung sekolah divisi SMP. Mungkin 1 menit jika berlari dengan panik.

Tempat aku dibawa sekali lagi adalah sebuah bangunan kecil di tengah hutan.

“Apa ini gimnasium kecil?”

“Ini adalah gedung seni bela diri lama.”

“…Seni bela diri?”

“Kudengar ini adalah tempat yang digunakan Klub Kendo kita sejak lama.”

Dilihat dari cara bicaranya, apakah dia bagian dari Klub Kendo?

Sepertinya memakai sepatu di sini dilarang, jadi setelah melepas sepatu, kami masuk ke dalam.

“Wah.”

Aku tanpa sengaja mengeluarkan suara napas lega.

Lantai kayu yang sudah usang, dinding bercat putih, udara dingin nan sejuk.

Kelihatannya sangat mirip dengan dojo di rumah. Entah kenapa, aku merasa sangat nostalgia.

“Ini mungkin tidak terlihat terbaik dari luar, tapi cukup indah di dalam!”

“Ya, yang jelas tempat ini terawat dengan baik.”

Menyentuh lantai, aku bisa merasakan penanganan pedang dan gerak kaki para pendahulu kami.

“Apa kau yang menjaganya, Avi-senpai?”

“Kadang Sensei juga membantu. Karena tak ada rapat hari ini, kupikir Sensei akan datang nanti.”

“Rapat… apa pembimbingnya orang yang sibuk…?”

“Seorang pustakawan di perpustakaan akademi. Meskipun ada juga beberapa penelitian Sacred Gear, dan itu tampaknya cukup merepotkan.”

Bentar. Barusan, dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan, bukan?

“Kalau begitu, haruskah aku memberimu kejutan, Zekka-chan.”

Aku sudah terkejut! Siapa sangka aku akan menemukan petunjuk secepat ini!

“Perhatikan baik-baik!”

Avi-senpai menjentikkan jarinya. Lalu semua dinding mulai berputar.

Mekanismenya mungkin sama dengan pintu putar. Hal-hal yang mungkin tersembunyi di ruangan berbeda muncul.

“Ini…!”

Dinding baru dihiasi dengan pedang yang tak terhitung banyaknya.

Terbungkus dalam kotak kaca tebal, jumlahnya lebih dari seratus.

“Apalagi, itu bukan senjata sehari-harimu.”

“Zekka-chan memang hebat! Kau memiliki mata yang tajam! Yay, kepala berlian terbaik di Jepang!”

“Tolong jangan mengatakannya seperti objek wisata….”

Dia memuji pandanganku yang tajam, tapi jelas ada beberapa yang tampak tidak menyenangkan di antara mereka.

“Pedang youkai, pedang iblis, Sacred Gear Buatan—semua jenis pedang dari berbagai tempat berkumpul di sini.”

Gudang bawah tanah juga memiliki beberapa buku tentang ilmu pedang, yang seharusnya menjadi milik pembimbing itu.

“Tempat ini, apa ini?”

Suasananya penuh nostalgia, tapi jelas itu bukan dojo biasa.

Sebelum aku menyadarinya, aku bertanya, diliputi rasa ingin tahu.

“Secara umum, ini adalah klub yang dikhususkan untuk meneliti berbagai pedang dengan sejarah menarik dari seluruh dunia.”

Lalu ada sisi tersembunyi. Setelah menahannya sejenak, Senpai menyatakan.

“Ini adalah tempat untuk mencari senjata terbaik, mengembangkan ilmu pedang terbaik, dan menjadi pendekar pedang terhebat.”

Avi-senpai membusungkan dadanya dan menjawab pertanyaanku.

“Klub Penelitian Pedang Ilmu Gaib, atau dikenal sebagai Pedang Ilmu Gaib!”

Aku menemukan petunjuk penting—seseorang yang meneliti Sacred Gear.

Meskipun sepertinya aku akhirnya berjalan tepat di tengah-tengah tempat yang tidak menyenangkan.

 

 

“Maaf, kami tidak punya teh.”

Dua zabuton diletakkan di tengah dojo.

Aku duduk dulu, lalu Avi-senpai kembali, menyerahkan minuman olahraga yang aneh.

“[Magical☆Sweat]…?”

Penamaannya juga aneh; tetapi, ada gadis penyihir misterius di bungkusan itu dan sebuah slogan yang belum pernah kudengar.

“Kalau kau meminum ini, kau juga akan menjadi sekelas Maou… menggunakan Levia-beaaaaam melawan monster keji…?”

“Senpai dari divisi SMA memberikannya kepadaku.”

“Aku yakin ini minuman yang pantas… omong-omong, apakah senpai itu punya dada yang besar?”

“Kenapa kau tiba-tiba membicarakan payudara? Pokoknya, sedikit lebih besar dari milikku, kurasa?”

“…Senpai tanpa payudara besar, tampaknya luar biasa. Lalu, aku akan menerimanya.”

“Kenapa kau tiba-tiba meneguknya?! Pernahkah aku mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan pikiranmu?!”

Saat kami berbicara, aku mengetahui bahwa keluarga senpai tersebut memiliki beberapa bisnis yang berkaitan dengan perawatan medis dan bisnis pertunjukan.

Tampaknya minuman misterius ini ada hubungannya dengan pekerjaan mereka. Ini cukup enak.

“Sekarang, izinkan aku memperkenalkan diriku sekali lagi.”

Dia menegakkan postur tubuhnya dan berkata dengan suara bersemangat.

“Aku siswi kelas tiga di divisi SMP, ketua Pedang Ilmu Gaib, Avi Amon!”

Aku melakukan hal yang sama, menundukkan kepalaku sedikit.

“Kelas dua divisi SMP, Miyamoto Zekka.”

Kata favoritku adalah “yang terkuat”, tetapi banyak hal telah berubah sejak saat itu.

“Omong-omong, bukankah Amon….”

“Kau pernah mendengarnya?”

“Menurutku itu adalah nama Iblis yang terkenal. Jadi kau juga salah satunya, Senpai?”

“Benar, eh—apakah kau pernah bertemu dengan Iblis?”

Sampai saat ini, aku telah melawan berbagai macam musuh, jadi aku tahu tentang keberadaan berbagai makhluk supernatural.

Dan berbicara tentang Iblis, aku bertemu Rias-senpai tepat setelah pindah sekolah.

“B-bukankah kau menunjukkan padaku youkai dan pedang iblis karena kau tahu aku mengetahui makhluk seperti itu?”

“Oh, itu cuma iseng saja. Kupikir tak apa-apa kalau itu Zekka-chan.”

“Iseng?!”

“Dan itu juga cara yang keren untuk memperkenalkan sebuah klub, bukan?”

Jangan tanya itu padaku, apa yang akan kaulakukan kalau aku adalah orang biasa….

“Di saat seperti ini, kau harus membuat mereka percaya dengan nyalimu!”

Itu adalah rasa percaya diri yang luar biasa! Bisakah kau mencapai sesuatu dengan nyali?!

“Yah, dalam kasus terburuk, aku harus menghapus ingatanmu.”

“Oh, jadi ada sihir praktis seperti itu.”

“Meski dalam kasus Iblis, itu bukanlah sihir tapi kekuatan iblis. Dan kalau aku melakukannya, itu akan bersifat fisik, kau tahu?”

…Gila, mungkinkah mereka menghapus ingatan dengan memukulmu?

“Aku benar-benar tidak kompeten sebagai Iblis dan tidak bisa menggunakan teknik terampil seperti itu.”

Dia berkata dengan nada ceria seolah itu bukan apa-apa.

“Benar-benar tidak kompeten? Tapi kudengar Amon adalah Iblis yang tangguh….”

“Memang benar Keluarga Amon berada di urutan ke-7 dari 72 Pilar. Itu masih memiliki banyak pengaruh di Dunia Bawah.”

Mengingat status keluarganya, Avi-senpai pastilah seorang bangsawan di dunia Iblis.

Lalu kenapa dia, dengan garis keturunannya…. Seolah-olah melihat keraguanku, dia menjelaskan.

“Pertama-tama, aku hampir tidak punya kekuatan iblis. Lagi pula, aku tidak kompeten memanipulasinya. Dan yang lebih parah lagi, aku tak bisa menggunakan ciri Amon—kekuatan iblis [Perisai], meski berasal dari keluarga utama.”

Dia juga menambahkan beberapa komentar sarkastik tentang tidak tertarik pada ciri khas tersebut.

“Tapi yang paling penting adalah—”

Avi-senpai dengan pelan melihat sekelilingnya.

“Aku bahkan tak punya satupun budak.”

Bahkan seorang amatir sepertiku pun tahu kalau bagi Iblis, budak adalah hal yang sangat penting.

“Iblis Kelas Tinggi yang terlemah dan terendah—itulah aku, Avi Amon.”

Setelah itu, Senpai berbagi sedikit tentang kehidupannya.

Tak ada bakat sebagai Iblis dan tak ada orang yang mau menjadi budaknya.

Tak ada seorang pun yang tertarik padanya, menjalani hidupnya sebagai orang buangan.

“Tapi, ibuku mengajariku tentang pedang.”

Avi-senpai tidak menunjukkan satu pun ekspresi kesedihan.

Dia segera berdiri dan menggunakan botol plastik kosong seolah itu adalah pedang.

“Selama aku punya pedang, aku bisa mengukir jalan menuju masa depan, meski aku tidak punya kekuatan iblis, meski aku tak bisa menggunakan ciri keluargaku.”

Dia bergerak seperti mengayunkan pedang.

Bertentangan dengan kata-kata dan tindakannya yang keras, pedang itu menunjukkan dedikasinya yang jujur terhadap hal-hal mendasar.

“Kau tahu, impianku adalah menunjukkan bagaimana yang inferior bisa menang atas yang superior di Rating Game.”

Rating Game seperti pertandingan pertarungan di dunia Iblis.

Senpai mengarahkan botol plastik itu ke langit-langit seperti ujung pedang.

“Aku ingin membuktikan bahwa orang seperti aku pun bisa melakukannya bila aku mencoba!”

Mata senpai berbinar saat dia berbicara.

Tidak, mungkin lebih baik mengatakan “terbakar dengan semangat”.

Dia tidak putus asa. Terus saja melangkah maju tanpa berpikir dua kali.

“Oh, maaf, karena hanya membicarakan diriku sendiri.”

Dia mungkin menjadi sadar diri, jadi Avi-senpai dengan malu-malu duduk.

“Senpai selalu—”

“Hm?”

“—berlatih sendirian di sini.”

Aku hanya melihat beberapa ayunannya, tapi aku sudah tahu ada inti dari ilmu pedangnya.

Dan yang terpenting, tangannya memancarkan usaha; kau tak bisa melakukannya tanpa latihan setiap hari.

Sejauh yang kudengar, dia menghabiskan hampir 3 tahun berlatih sendirian di dalam gedung seni bela diri lama ini.

“Aku tidak sendirian.”

Kupikir dia pasti mengalami kesulitan. Namun, Senpai menghilangkan pemikiran seperti itu.

“Ibuku mengajariku ilmu pedang di usia muda. Tapi, itu masih hidup dalam diriku.”

Apalagi, tambahnya.

“Dan Sensei membimbingku di akademi ini.”

Dia membicarakannya dengan riang, tapi aku yakin perasaan jujurnya berbeda.

Aku juga diajari ilmu pedang oleh nenekku.

Dan itulah mengapa aku tahu dari pengalamanku sendiri—guru dan teman tidaklah sama.

(Mungkin, dia sedikit mirip denganku.)

Aku mengerti itu lancang dariku.

Aku tak punya semangatnya, membara seperti matahari.

Namun meski begitu, aku bisa berempati dengan cara dia dibesarkan, dengan lingkungan tempat dia tinggal.

(Seorang teman—atau tidak sopan bagiku berpikir seperti ini?)

Aku tak berkata apa-apa. Namun, aku tidak menganggapnya sebagai orang asing.

“Zekka-chan, kenapa dari tadi kau terus-terusan tersenyum senyam-senyum?”

“Eh, enggak, aku tidak tersenyum.”

“Kau tersenyum! Ada apa, ada apa! Mungkinkah kau mempunyai pemikiran tidak senonoh?”

“T-tidak senonoh?! Aku benci oppai!”

“Tapi aku tak bilang apa-apa soal oppai….”

Setelah itu, kami berbincang tentang berbagai topik dengan Avi-senpai.

Meski aku bilang begitu, dialah yang paling banyak bicara.

Meski begitu, mungkin karena dia mirip denganku, hatiku terasa lebih hangat dari biasanya.

“Kau tadi menyebutkan kau sedang mencari partner.”

Saat matahari terbenam, aku membicarakan topik sebelumnya.

“Apa itu maksudnya mencari budak?”

“Hmm.”

Avi-senpai memiringkan kepalanya, tampak bermasalah.

“Aku percaya bahwa pendekar pedang membutuhkan seseorang untuk mengembangkan keterampilan mereka.”

Dia tersenyum masam, mengatakan itu sebenarnya yang dia dengar dari Sensei.

“Itulah kenapa aku mencari partner untuk menjadi lebih kuat bersama-sama, bagaimanapun juga aku lemah.”

Jadi, lebih baik memiliki seorang rival kalau ingin berkembang, yah, aku tidak punya orang seperti itu….

Sebagai Iblis, Senpai memandang mengumpulkan budak sebagai sesuatu yang dilakukan setelah dia sendiri cukup berkualitas.

“Selain itu, akhir-akhir ini, Rating Game sangat menggembirakan. Jadi pada waktunya, bukankah itu akan menjadi kompetisi di mana kau dapat berpartisipasi dengan sesama anggota, tanpa memandang status dan rasmu?”

“Jadi mereka sepopuler itu ya, maka tak apa-apa jika tidak terburu-buru mengumpulkan budak.”

“Meskipun aku tak bisa mengatakan dengan pasti bahwa ini akan berakhir seperti ini. Setidaknya, itulah yang dikatakan Sensei yang mabuk.”

“Lalu… apakah kau benar-benar memercayainya…?”

Aku tertarik dengan pembimbing ini, tapi karena Sensei itu masih belum datang, mau bagaimana lagi.

“Jadi, bagaimana, Zekka-chan? Maukah kau menguasai pedang bersamaku?”

Yang kuinginkan adalah teman yang setara, bukan majikan Iblis.

Dan juga, kalau sudah begini, tak ada alasan untuk bercita-cita menjadi pendekar pedang terkuat.

“Avi-senpai, aku—”

Aku benar-benar senang dia menganggapku sebagai partner.

Tapi itu masih membebani pikiranku.

Setelah merenung sebentar, aku memutuskan untuk menolaknya.

“Aku tidak akan mengizinkannya bergabung dengan klub ini.”

Namun, bukan aku yang menolaknya.

Pemilik suara itu sedang berdiri di pintu masuk.

Rambut perak bersinar di tengah terbenamnya matahari, penampilan rapi, riasan sempurna, dan seragam dikenakan dengan santai.

Dan cara dia dengan lesu menjilat permen pada sebatang tongkat, jika aku mendeskripsikannya dalam satu kata—itu adalah “gyaru”!

“Hei, semuanya. Urusan umum OSIS, Schwertleite.”

Dia memberikan perkenalan yang malas, menunjukkan tanda peace yang ceroboh.

OSIS lagi, meskipun dia tidak memakai ban lengan, aku mengerti dari warna pitanya—dia satu angkatan denganku.

“…Apakah orang berpenampilan gyaru ini adalah kenalanmu, Avi-senpai?”

“Bukan, ini pertama kalinya kami bertemu langsung.”

Avi-senpai berdiri dengan sigap.

“Kalau aku tidak salah, kau adalah murid pertukaran dari Norse, Walküre, 'kan?”

“Wa-Walkü…?”

Mereka seharusnya adalah makhluk dari legenda. Ada banyak sekali ras di akademi ini.

“Supaya kau tahu, ini berbeda dengan Valkyrie, yang merupakan nama yang diberikan hanya kepada orang-orang terpilih di antara jenis kami.”

Jadi itu seperti sebuah gelar yang hanya bisa disandang oleh para elite di antara mereka.

Bangsa Norse juga punya kerumitannya… tunggu, sekarang bukan waktunya untuk merenungkan hal-hal seperti itu dengan santai.

“Gyaru dan walküre—jadi kau adalah gyaruküre!”

Avi-senpai mengatakan itu dengan wajah berseri-seri. Siapa yang memintamu menciptakan istilah cerdas.

“Kedengarannya bagus, haruskah aku menyebut diriku gyaruküre mulai sekarang?”

Dan pihak lain sepertinya menyukainya… apakah ini yang diharapkan dari seorang gyaru….

“Nah, apa yang dilakukan anggota OSIS di sini?”

Avi-senpai bertanya, dengan ragu memiringkan kepalanya. Benar, itulah masalah utamanya.

“Kupikir OSIS dan klub punya kesepakatan.”

“Kali ini adalah kasus yang tak biasa, selain itu Pedang Ilmu Gaib bahkan bukan klub resmi.”

“Sekarang kau sudah mengatakannya. Apa maksudmu menyebut klub ini tidak resmi—”

“Tidak cukup banyak anggota klub, menempati ruang klub tanpa izin, banyak pelanggaran—ini adalah organisasi ilegal.”

Aku jadi tidak nyaman mendengar semua kata-kata yang mengganggu itu dan mengintip ke arah Avi-senpai.

“A-ha-ha!”

Dia tidak mengatakan apa pun yang masuk akal, hanya tertawa. Mengingat dia tidak berusaha membantah, tuduhan itu mungkin benar.

Kalau begitu, aku curiga Sensei yang Avi-senpai sebut sebagai pembimbing adalah karakter yang bermasalah juga.

“Jadi kau adalah Miyamoto Zekka-san.”

Gyaruküre-san menatapku dengan mata mengantuk.

“Hari ini, aku datang atas perintah Yagyuu-kaichou.”

“Geh, Kaichou?!”

Avi-senpai berteriak dengan ekspresi ngeri sebelum aku sempat melakukannya.

Pemimpin dari golongan bersenjata lengkap, OSIS, bukankah itu membuat orang ini menjadi orang yang cukup berbahaya?

“Aku punya dua tugas. Salah satunya adalah mengamati Miyamoto Zekka.”

Terlihat terganggu, dia terang-terangan membocorkan informasi itu seolah-olah itu bukan apa-apa.

“Dan satu lagi adalah—”

Di belakang punggung gadis berambut perak itu, sesuatu yang mirip dengan lingkaran sihir muncul.

“Untuk mencegah Miyamoto Zekka bergabung dengan Klub Penelitian Pedang Ilmu Gaib.”

Lingkaran sihir bersinar lebih terang dan aku merasakan kesemutan di kulitku.

“Dengan cara apa pun yang diperlukan.”

Dia menggigit permen yang baru dia jilat.

“Dengan santai, ceroboh, dan malas, aku akan menemanimu.”

—JD×D—

“Tunggu di sana!”

Avi-senpai berteriak.

Seperti yang diduga dari seorang siswi kelas tiga! Dia akan memberikan sebagian pendapatnya untuk melindungi kouhai-nya!

“Ini area tanpa sepatu!”

Bukan itu. Yah, memang benar, tapi bukan itu intinya.

“Oh, maaf.”

Pihak lawan dengan patuh melepas sepatunya dan melangkah masuk ke dojo.

(Setidaknya aku harus menghindari konfrontasi. Di sinilah aku turun tangan—)

Aku harus memberi tahunya bahwa kami tidak punya niat bertarung selain Avi-senpai!

“Tolong, dengarkan aku, Schwertlebite-san.”

“Aku Schwertleite.”

Melompat dengan tidak sabar lalu berhenti—itulah aku.

“Kau tidak perlu bersedih hati.”

“Maaf… ini pertama kali kita bertemu, tapi aku salah menyebut namamu….”

“Meskipun itu bukanlah nama yang tidak umum dalam mitologi Norse. Baiklah, singkatnya kau bisa memanggilku Schwert.”

“Schwert, san….”

Seperti dalam kasus wakil ketua OSIS, orang-orang dari OSIS tampak mengintimidasi tapi sebenarnya sangat baik.

“…Aku punya satu pertanyaan. Kenapa Kaichou tertarik padaku?”

“Aku tak tahu seluruh detailnya. Apa kau sendiri tidak punya ide, Miyamoto-san?”

“Ide… omong-omong, nama Kaichou adalah….”

“Yagyuu Gichou Zaemon.”

Sama sekali tidak tahu. Aku tidak akan melupakan nama seperti itu.

“Tentu saja, kalau kau tidak ingin bergabung, tak perlu ada masalah yang tidak perlu.”

Schwert-san menghadapku, menjaga jarak.

“Sejauh yang kuketahui, bekerja itu terlalu melelahkan.”

Dia tidak punya keinginan bertarung. Dan sejak awal aku akan menolak undangan itu.

“Untuk memasuki Pedang Ilmu Gaib, aku—”

Aku merasa kasihan pada Avi-senpai, tetapi aku hanya punya satu pilihan.

“Maaf!”

Tiba-tiba, sebuah suara yang kuat bergema, menggangguku sekali lagi.

(…Apakah sudah menjadi kebiasaan di akademi ini untuk menyerbu masuk tanpa pemberitahuan?)

Aku mendesah melihat pola ini terjadi sekali lagi.

Lalu Avi-senpai, Schwert-san, dan aku, yang belakangan berbalik.

Orang yang berdiri di pintu masuk adalah seorang siswi yang mengenakan seragam yang sama dengan Rias-senpai.

“…Yagyuu-kaichou, aku belum mendengar tentang ini.”

Schwert-san berkata dengan getir. Mungkin mereka saling kenal?

“Xe-Xenovia! Kau terlalu gegabah!”

Di belakangnya muncul seorang gadis dengan rambut twintail, terengah-engah, dilihat dari bahunya yang naik-turun.

“K-kalian berdua, terlalu cepat.”

Dan kali ini adalah seorang gadis pirang yang tampak lembut.

Gedung seni bela diri lama yang beberapa waktu lalu terasa kosong tiba-tiba menjadi ramai.

“Kendalikan dirimu sedikit! Asia jadi pusing!”

“Maaf, Irina. Tapi, kita harus tiba di sini secepat mungkin.”

“Um… sebentar saja, istirahat….”

Gadis pirang itu terjatuh ke depan dengan bunyi gedebuk.

“Asia!” “Asia-san!”

Saat mereka berdua berteriak, yang bernama Xenovia menatap ke arah kami dengan tatapan tajam.

“Beraninya kalian…!”

“““Tapi kami tidak berbuat apa-apa?!”””

Pembicaraan tentang aku bergabung dengan klub atau tidak benar-benar terlupakan.

 

 

“Aku hidup kembali.”

Asia-senpai dengan rakus meneguk minuman olahraga yang sebelumnya.

Dia seperti binatang kecil dan memberikan kesan disayangi semua orang.

Sikapnya lembut dan, yang lebih penting, oppai-nya sederhana! Menakjubkan!

“Er, Senpai….”

Avi-senpai bertindak sebagai perwakilan.

Ketiganya, yang berbaris menghadap kami, merespons.

“Aku Xenovia, siswi kelas dua di divisi SMA!”

“Sama seperti dia, namaku Shidou Irina. Senang bertemu dengan kalian.”

“A-Asia Argento adalah namaku! Terima kasih untuk minumannya!”

Trio gadis cantik muncul, tapi mereka tampak aneh. Haruskah kubilang mereka cukup eksentrik?

“Jadi, para senpai dari Penelitian Ilmu Gaib, untuk apa kalian datang ke sini?”

Schwert-san langsung melanjutkan ke pengejaran. Sebelum kusadari, dia akhirnya berdiri tepat di sampingku dan Avi-senpai.

 “Ada rumor tertentu yang sampai ke telingaku.”

Xenovia-senpai mengembuskan napas secara berlebihan, lalu mulai berbicara dengan wajah serius.

“Tentang murid pindahan yang mirip dengan Asura yang muncul di divisi SMP.”

Avi-senpai dan Schwert-san dengan penuh semangat menoleh ke arahku.

Tolong berhenti. Jangan lihat aku. Aku adalah siswi SMP biasa yang bisa ditemukan di mana saja.

“Dan dalam sekejap dia menjerumuskan divisi SMP ke dalam jurang teror.”

Jangan lanjutkan lagi, ada kesalahpahaman besar soal rumor itu, atau lebih tepatnya, sebagian besar hanyalah rekayasa.

“Zekka-chan….”

“Miyamoto-san….”

Dan sudah kubilang, jangan lihat aku. Kalau kalian melakukan itu, sepertinya aku benar-benar siswa pindahan yang berbahaya—.

“Begitu, jadi kau adalah Miyamoto Zekka, ya.”

Uah, dia menatapku intens.

“Hei, Xenovia, apa yang kaulakukan, menatap tajam ke arah kouhai-mu?”

“Murid pindahan itu menatapku dulu, aku cuma menerima tantangannya tanpa gentar.”

Aku tidak menatap! Mataku memang kelihatan jahat!

“…X-Xenovia-san didekati oleh adik kelasnya untuk meminta nasihat.”

Asia-senpai, yang mempunyai senyum keibuan di wajahnya, melanjutkan. Dia menggemaskan.

“Tolong, lakukan sesuatu terhadap murid pindahan yang menakutkan itu—itulah kata-kata mereka.”

…Tapi isinya tidak lucu sama sekali. Apakah aku benar-benar dipandang sebagai seseorang yang berbahaya?

“Beberapa waktu lalu, aku mendengar rumor tentang klub mencurigakan dengan nama yang mirip dengan kami—Pedang Ilmu Gaib[3].”

Pandangan Xenovia-senpai bahkan mencapai klub.

Saat aku diam-diam melirik ke arah Avi-senpai, dia bersiul tak wajar.

“Meski aku tidak menyangka murid pindahan yang menakutkan itu akan menjadi anggota klub ini.”

Dia mengangguk seolah menghubungkan titik-titik itu—aku dan Pedang Ilmu Gaib, menakutkan dan mencurigakan.

(Anggota? Aku? Apakah aku diperlakukan sewenang-wenang sebagai anggota…?)

Bukankah itu kesalahpahaman terbesar saat ini?

“…Ha-ha, aku ikut berbela sungkawa.”

Schwert-san, yang berdiri di sampingku, berbisik di telingaku. Kenapa kau tampak sedikit senang?!

“Dan siapa sangka kalau kouhai Rossweisse juga salah satunya.”

“Eh?! Aku?! Ini benar-benar salah—”

“Alasan yang sia-sia!”

Schwert-san juga tercengang karena diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai anggota. Aku berbela sungkawa.

“Murid pindahan yang dirumorkan, klub yang dirumorkan—kami datang untuk memeriksa kalian!”

Toh, sepertinya dia adalah tipe yang terburu-buru, sepertinya dia tidak mau mendengarkan.

“Meski, pada akhirnya, itu hanya rumor yang setengah terverifikasi, tapi kalian akan memulai pertarungan tepat saat kami datang.”

Begitu ya, beberapa saat yang lalu memang ada suasana tegang antara kami dan Schwert-san.

“Mungkin kita harus melaporkannya pada Sona-kaichou untuk berjaga-jaga,” kata Shidou-senpai, membuat gerakan merenung.

Dan orang yang mengubah ekspresi mereka adalah duo di dekatku.

“(I-itu buruk! Kita sudah mempunyai hubungan terburuk dengan OSIS divisi SMA!)”

“(Aku juga akan dapat masalah kalau Sona-san marah padaku! Kelangsungan hidup klub ini bisa terancam!)”

“(E-er, aku ingin meluruskan kesalahpahaman tentangku dulu….)”

““(Itu ditunda dulu!)””

Apa cuma aku saja yang diperlakukan buruk?

Meskipun masing-masing trio memiliki pemikirannya masing-masing, semua orang yang hadir memahami bahwa situasinya menjadi kacau.

“Apa kalian punya penjelasan?”

Xenovia-senpai bertanya, seperti seorang bos yang berbicara kepada karyawannya.

“(Apa yang akan kita lakukan mengenai hal ini?)”

“(Bisakah kita menyelesaikannya dengan nyali?!)”

“(Tapi kalau kita menyelesaikan kesalahpahaman—)”

““(Diam sebentar!)””

Uuu, aku ingin menangis.

“K-kami punya.”

Kami tidak bisa berdiam diri selamanya.

Orang yang akhirnya membuka mulutnya adalah Avi-senpai. Kumohon, tolong, berhasil melaluinya.

“Kami sedang berlatih untuk Rating Game!”[4]

D-dia berbohong dengan sepenuh hati!

Wajahnya pucat, bahasanya terputus-putus—bagaimapaun juga, mereka akan mengetahui kebohongan seperti itu!

“Oh, Rating Game!”

Namun, Xenovia-senpai terlihat terkesan karena suatu alasan. Tidak mungkin dia benar-benar memercayai ini…?

“Kelihatannya kami sedang bertarung, tapi sebenarnya itu adalah latihan persiapan untuk game!”

Schwert-san ikut-ikutan dengan itu.

Saat aku terjepit di antara keduanya, mereka mendorong sisi tubuhku seolah menyuruhku untuk membantu mereka juga.

“Sebuah… latihan? Itu menurutku?”

Kataku sambil tersenyum kaku. Kemudian keduanya menyodokku lagi seolah-olah berkata “kerja bagus!”.

“Begitu, jadi rumornya hanya sebatas itu, dan kalian hanya melakukan aktivitas klub yang sehat.”

“““Ya!”””

Tentu! Berikut versi revisinya dengan kosa kata yang lebih beragam dan sastra dengan tetap memastikannya tetap sesuai:

Mungkinkah kita bisa bertahan?!

“Meski kata orang, tak ada asap jika tak ada api.”

Shidou-senpai melontarkan hal itu saat Xenovia-senpai mulai setuju.

Schwert-san mendecakkan lidahnya di sebelahku karena ucapan yang tidak diminta itu. Mereka bisa mendengarmu.

“Um, mengkritik mereka terlalu keras itu agak….”

Asia-senpai yang menyaksikan dengan penuh perhatian, berusaha menengahi. Baik sekali. Identitas aslinya pastilah seorang malaikat.

“…Kalau begitu, mari kita selesaikan dengan kontes.”

“““““Kontes?”””””

Setelah beberapa saat, Xenovia-senpai tiba-tiba mengusulkan.

“Kalian tidak perlu terlalu berhati-hati. Pada akhirnya, itu hanyalah pertukaran antara senpai dan kouhai. Sesuatu yang sudah kita kenal baik. …Aku tahu, bagaimana dengan Rating Game tiruan?”

Apakah perbedaan halus di antara mereka bukan membahayakan nyawa, tapi menggunakannya dengan cara rekreasi, ya.

“Ada kalanya perselisihan satu sama lain mengungkap lebih banyak daripada kata-kata.”

Sepertinya komentar itu berdasarkan pengalaman pribadi yang luas. Dua senpai lainnya mengangguk setuju.

“Dengan kata lain, tanya jawab yang membosankan berakhir di sini! Kami akan mengetahui kebenaran perkataan kalian melalui game!”

Tapi, apa sebenarnya yang harus kita lakukan dalam Rating Game tiruan ini.

Bagaimanapun, kami disebut Pedang Ilmu Gaib, jadi mungkin jika itu berhubungan dengan pedang…..

““Ayo lakukan!””

Namun, memanfaatkan kesempatan itu, Avi-senpai dan Schwert-san langsung menyetujuinya.

Sepertinya mereka benar-benar tidak ingin terlibat dengan “Sona-kaichou” ini.

“Heh, kalau begitu sudah beres. Mari kita lanjutkan dengan Rating Game tiruan.”

Xenovia-senpai menyatakan dengan puas.

“Itu mengingatkanku pada saat para senpai bertanding tenis.”

“Akademi Kuoh seharusnya seperti ini, ini yang cocok buat kita, bukan?!”

Kalau soal ini, Asia-senpai dan Shidou-senpai juga setuju tanpa ragu.

“Kalau begitu, mari kita lanjutkan kontes antara Klub Penelitian Ilmu Gaib dan Klub Penelitian Pedang Ilmu Gaib seperti biasa!”

 

 

Rating Game dapat mengambil berbagai bentuk dan acara.

Seperti yang telah kita diskusikan, acara yang dipilih untuk diadakan hari ini di gedung seni bela diri lama ini bertema “seni bela diri”.

(Ini seni bela diri yang mengerikan, mengerikan-mengerikan-mengerikan, dalam segala hal—!)

Kemungkinan terjadinya kontes ilmu pedang atau pertarungan tangan kosong cukup tinggi. Saat ini, itulah aktivitas yang paling ingin kuhindari.

“O-omong-omong, kita tidak punya wasit.”

Seperti mengingat sesuatu, Asia-senpai menunjukkannya.

“Benar, kita tidak bisa menentukan pemenang sendiri.”

Xenovia-senpai mengkhawatirkan keadilan.

 “Kalau begitu, kenapa kita tidak kembali ke Klub Penelitian Ilmu Gaib dan memilih seseorang da—”

“Shidou-paisen, tolong, diamlah sebentar.”

“Kenapa?! Dan apa maksud penyebutannya! Aku ini seniormu, tahu?!”

Shidou-senpai terkejut, tapi Schwert-san tetap santai dan tidak peduli.

Jika memungkinkan, aku lebih suka kebuntuan ini berlanjut…..

“Sepertinya kalian sedang merencanakan sesuatu yang menarik.”

…Ya, tentu saja, akan berakhir seperti ini. Suara asing lain terdengar dari pintu masuk.

“Ah, Sensei!”

“Ciao, sepertinya kau baik-baik saja, Avi.”

Avi-senpai diliputi kegembiraan dan melambaikan tangannya begitu bersemangat hingga sepertinya bisa terlepas.

(Sensei—begitu, jadi dialah yang meneliti Sacred Gear—)

Penasaran seperti apa orangnya, aku mengalihkan pandanganku ke arah suara itu, berpikir bahwa pada titik ini tak ada yang bisa mengejutkanku.

(Be, be-be, be-be-be, besar sekali…!)

Aku terperangah dengan oppai-nya.

“Mataku… bakal hancur… mereka menolak ini….”

Melon, semangka, enggak, kata-kata setengah hati seperti itu tidaklah cukup.

“Itu adalah bom untuk meluluhlantakan segalanya… kalau aku harus menamainya, itu akan menjadi ‘Senjata Penghancur OP I’….”

“Apa yang  sedang kauoceh sejak tadi, Miyamoto-san?”

Sensei menyibakkan rambut ungunya ke belakang dan berjalan ke arah kami.

“Oya, kau adalah….”

Benar-benar kecantikan yang keren, matanya yang penuh dengan kecerdasan menangkapku dari balik kacamata.

“Mi-Miyamoto Zekka, ada apa?”

“Wow. Salam yang mendadak, ya.”

Celah mata Sensei yang panjang sedikit mengendur.

“Aku adalah pembimbing tidak resmi dari Pedang Ilmu Gaib—Penemune.”

Lalu hal-hal seperti Pedang Ilmu Gaib adalah klub bermasalah, tidak memiliki pembimbing yang tepat—semua kekhawatiran itu sirna—karena aku terkejut mendengar namanya.

“Pene-mune (payudara)?!”

“Penemune.”

“Payudara… oppai… jadi Mune-sensei….”

“Ara-ra, dia tak bisa mendengar apa-apa, matanya tidak melihat apa pun selain oppai.”

Dia dengan ceria mengangkat bahu dan mengalihkan pandangannya ke arah para senpai.

“Senang bisa berkenalan dengan kalian, kurasa, trio Penelitian Ilmu Gaib.”

“Jadi kau adalah gurunya, Penemune, kami hanya mendengar namamu dari pembimbing kami.”

Setelah dia bertukar salam dengan Xenovia-senpai dan yang lainnya, Sensei memastikan situasi saat ini.

“Kalau begitu, aku akan jadi wasitnya.”

Mune-sensei… maksudku, Penemune-sensei menawarkan diri dengan nada santai.

Dia tampak sebagai individu yang tenang; Namun, pada kenyataannya, dia memancarkan kesan sebagai tipe kakak perempuan yang ramah.

“Tapi, meskipun temanya adalah ‘seni bela diri’, pertarungan pedang biasa tidak akan seru.”

““““““???????””””””

“Jika kalian bertekad untuk melakukannya, kalian harus membuatnya seru.”

Aku tak bisa memahami maksud di balik perkataan Penemune-sensei sampai pertandingan dimulai.

“Ronde pertama, tema pertandingan pembuka adalah ‘latihan pemanasan’.”

Pesertanya adalah Schwert-san dan Shidou-senpai.

Mereka bergulat di tengah dojo, meski tidak seperti seni bela diri.

“Itu saja?” “Guh, kenapa kau…!”

Kaki, tubuh, dan wajah mereka saling terkait—aku menyebutnya permainan kusut.

“Kenapa Twister…?”

Sensei menjelaskan kalau ini semacam permainan pesta.

Namun, dua gadis bergumul bersama—apa hubungannya dengan latihan pemanasan?

“Aku benar meninggalkan alat untuk Twister. Terakhir kali, Asia memainkannya dengan cosplay bertelinga kelinci….”

“Uuu, tolong, jangan bicarakan itu!”

Xenovia-senpai dan Asia-senpai mengobrol biasa. Sepertinya mereka bersenang-senang, mengenang sesuatu.

(Kenapa?! Bukankah aneh memainkan permainan yang disebut “Twister” di sekolah?!)

Aku merasa aneh dan tidak tahan bahwa tidak ada yang mengatakan apa-apa tentang ini.

Merasakan keraguanku, Sensei, yang berdiri di dekatku, menjelaskan.

“Persiapan sangat penting dalam seni bela diri. Sangat penting untuk mengendurkan tubuh demi langkah keamanan.”

Itu masuk akal. Aku tidak punya ruang untuk membantah.

“Lagi pula, yang terbaik adalah menikmati diri, itulah sebabnya aku memilih game ini.”

Jadi begitu. Aku terkesan dengan seberapa banyak dia memikirkan hal itu, meskipun sepertinya dia hanya bersenang-senang.

“Lagi pula… gadis-gadis muda yang saling terkait… he-he, bukankah ini yang terbaik….”

Untuk beberapa saat, Sensei tersenyum nakal. Dan hanya aku yang menyaksikannya.

(I-itu salah, dia memilih Twister karena minatnya sendiri?!)

Meski hanya sebentar, dia mengungkapkan sisi cabul yang mirip dengan Tensei.

Aku harus berhati-hati saat berada di dekatnya—intuisiku membunyikan peringatan.

“Ke,napa, lembut sekali[5]…!”

“Payudaramu juga lembut, Senpai, tahu?”

“A-aku sedang membicarakan tubuhmu… tunggu, di mana kau menyentuh…!”

“Oh, ini force majeure[6], gravitasi, atau semacamnya yang membuatku bergerak.”

Sambil mengatakan itu, Schwert-san bergerak dengan cara menghalangi jalan keluar Senpai.

Yang mengejutkanku adalah fleksibilitasnya yang luar biasa[7]; dia memanfaatkannya sampai batas potensi manusia.

(Menakjubkan, tapi… aku tak tahu harus melihat ke mana….)

Shidou-senpai sedang berdiri dalam pose jembatan. Bagaimana bisa jadi seperti ini?

(Tapi itu adalah oppai elastis… bahkan menghadap ke langit-langit, oppai itu tidak kehilangan bentuknya…!)

Dari kelihatannya, miliknya tidak sebesar milik Xenovia-senpai; Namun, ciri-ciri yang tidak terlihat oleh mata cukup kuat.

Schwertleite yang lembut dan Shidou Irina yang elastis—pertarungan yang hebat.

“Aku tidak akan kalah dari kouhai.”

“Terlalu naif.”

Shidou-senpai bergerak dengan tegas; tetapi, Schwert-san selangkah lebih maju.

“H-hei, jangan menyentuh—kya!”

Tangan Schwert-san menyerempet payudara Shidou-senpai di tengah jalan.

Tubuhnya menggigil, lalu dia kehilangan keseimbangan karena jeritan yang melengking.

“U, uu… aku tidak akan bisa menjadi pengantin lagi….”

Berbaring telentang, Senpai menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tapi, tak ada yang bisa membuatmu tak bisa menjadi pengantin.

“Maaf, sepertinya aku berbakat bahkan dalam hal seperti ini.”

“Apa kau bersikap rendah hati atau mengejekku, yang mana?!”

“Tentu saja, aku hanya menghormatimu, Senpai. Lagian, lawanku adalah Ace Surga.”

“Kau….”

“Meskipun di Twister kau bukan seorang Ace, paling-paling hanya seorang penghangat bangku cadangan.”

“Jadi, kau memang mengejekku!”

Mereka tampak sangat bahagia saat melakukan percakapan ini. Sejujurnya, aku agak iri.

“Pemenang, Schwertleite dari ‘Pedang Ilmu Gaib’!”

“Yah, itu sudah pasti.”

Setelah pengumuman keras Sensei, kami mengamankan satu kemenangan.

“Nah, tema ronde kedua adalah ‘etiket’!”

Tema yang aneh sekali lagi.

“Dalam seni bela diri, etiket sangat penting, yeah, sangatlah penting, tak salah lagi.”

Ucapannya berbau kebohongan, tapi aku bersyukur tak ada pertandingan pedang.

“Kalau begitu, aku akan….”

“Tunggu, Zekka-chan!”

Saat aku hendak melangkah maju, Avi-senpai menghentikanku.

“Aku yang akan maju!”

“T-tidak, sebaiknya aku… dan ronde selanjutnya harusnya antar-pemimpin….”

“Meski begitu, aku sudah menghabiskan hampir tiga tahun di dojo ini, tahu? Kemampuan etiketku adalah yang terbaik!”

Jadi, dia bilang siapa pun yang punya kemungkinan menang lebih tinggi harus maju. Aku juga dibesarkan di dojo, tapi tak bisa mengatakannya sekarang.

“Kau adalah seorang pemula dalam seni bela diri, Zekka-chan. Sebagai orang yang memiliki pengalaman bertahun-tahun, aku lebih cocok untuk etiket.”

“Yah, tak apa-apa membiarkan Buchou-san kita pergi?”

Dan seperti itu, ronde kedua dimulai.

Dari pihak kami—Avi-senpai, dan dari pihak lawan—Asia-senpai.

Dan ketika kami berbicara soal etika penting….

“Ini dia.”

Asia-senpai menyodorkan cangkir, duduk dalam pose seiza.

“…Kenapa upacara minum teh?”

Ini tidak ada hubungannya dengan seni bela diri! Kami menyimpang ke arah yang sama sekali berbeda.

Selain itu, mereka bahkan menyiapkan tikar tatami dan peralatan teh. Untuk saat ini, aku akan menerimanya dan meminumnya….

“Upacara minum teh adalah etiket tradisional Jepang yang kental.”

Sensei tengah menyeruput teh. Tentu saja, ini adalah aktivitas budaya yang dianggap sebagai puncak etika.

“…Dan dilayani teh oleh seorang gadis pirang cantik… he-he-he….”

Apa dia baru saja mengatakan itu dengan lantang?

(Orang ini! Sudah kuduga, dia hanya bertindak karena keserakahannya sendiri! Yang ada hanyalah pikiran tidak senonoh di benaknya!)

Keraguan berubah menjadi keyakinan. Haruskah aku memperingatkannya sekali untuk masa depan, ya.

“Um, apa rasanya tidak sesuai dengan seleramu…?”

Kemungkinan karena aku sedang melamun, Asia-senpai menatapku dengan cemas.

“Kau membuat wajah yang menakutkan.”

“Errr, wajahku memang terlihat jahat secara alami, tapi tehnya… sangat enak.”

Aku tidak pernah lebih bahagia dengan penampilanku daripada sekarang. Aku menunduk untuk menghormati keterampilan upacara minum tehnya yang luar biasa.

“Aku sangat senang. Lega rasanya karena cocok dengan seleramu.”

Asia-senpai tersenyum manis. Entah kenapa, aku merasa malu dan tidak bisa menatap matanya.

“…Hah, aku senang Akeno-san mengajariku.”

Dia terlihat sangat manis bahkan saat menghela napas lega.

Kalau bisa, aku ingin berharap oppai-nya tidak tumbuh besar lagi.

Setelah Asia-senpai selesai, waktunya peserta berikutnya. Setelah peralatan diganti, giliran Avi-senpai yang paling ditunggu-tunggu, tapi—.

“Wah, wah-wah, wah!”

Dia menjadi sibuk sejak awal. Bagaimanapun, cara dia menggerakkan tangannya terlihat berbahaya.

Apalagi, beberapa detik dari awal, dia menumpahkan air bahkan sebelum mulai merebusnya.

“Kyaa?!”

…Dan menuangkannya ke seluruh tubuh Asia-senpai.

“Aku basah kuyup…!”

“Itulah Avi-ku! Inilah tepatnya mengapa kau adalah muridku!”

Bukannya marah, Sensei memujinya dengan penuh kekaguman. Dan dia memotret tanpa diminta.

(…Apa sebenarnya yang kusaksikan?)

Mau tak mau aku diliputi kebingungan melihat kekacauan yang tak ada habisnya ini.

“Pemenang, Asia Argento dari ‘Penelitian Ilmu Gaib’!”

“A-aku berhasil!”

Akhirnya, Sensei memberikan keputusannya. Yah, aku tak bisa mengeluh tentang hasil ini.

“Gah! Maafkan aku, semuanya!”

Avi-senpai meninju lantai. Bahkan orang ini sebenarnya tidak main-main.

(…Meski aku bersyukur atas apa yang telah terjadi.)

Tim kami seri, tapi isi pertandingannya hanya aktivitas hobi.

Hingga saat ini, terdapat Twister dan upacara minum teh—kegiatan yang patut dipertanyakan dan sepertinya hanya ada hubungannya dengan seni bela diri.

Mungkin agak memalukan, tapi masih jauh lebih baik daripada bertarung dengan pedang.

“Sekarang, untuk ronde terakhir temanya adalah ‘anggar’.”

…Anggar? Hah? Apa aku salah dengar?

“Tak ada aturan sulit kali ini. Orang yang berhasil mendaratkan serangan lebih dulu akan menjadi pemenangnya.”

Namun, Sensei mengumumkan itu dengan ekspresi gembira di wajahnya, mengkhianati ekspektasiku.

“Seperti yang diduga, ronde terakhir harus diputuskan dengan cara tradisional—dengan pedang, bukan?”

—JD×D—

Kami bertiga berkumpul di dekat tembok.

Musuh kami, Xenovia-senpai dan rekan-rekannya, juga sibuk dalam rapat strategi di sisi berlawanan, sambil mengenakan perlengkapan pelindung.

“Pertandingan… pedang… tebasan… normal… oppai….

“S-Schwe-chan! Lihat, kesadaran Zekka-chan melayang lagi?!”

“Bahkan menggunakan sihir di kepalanya tidak akan membantu. Heeei, Miyamoto-san.”

Suara mereka sepertinya datang dari suatu tempat yang jauh. Aku merasa tegang, tetapi sensasi kehampaan jauh lebih kuat.

“Pertandingan akan segera dimulai. Bakal jadi kacau kalau kau bahkan tidak mengenakan alat pelindungmu.”

“Apakah tak ada semacam saklar untuk mengubah semangatnya menjadi maksimal?!”

“Dia bukan mesin. Manusia tidak punya saklar—oh.”

Sebuah bola lampu muncul di atas kepala si gyaru.

“Kalau dipikir-pikir, ada satu di pertunjukan Oppai Dragon.”

“Rasanya canggung kalau tiba-tiba menyentuhnya, jadi mari kita usap dulu sebagai permulaan.”

Mengatakan itu, Schwert-san mulai menggerakkan jarinya dengan cekatan.

Lalu, jemarinya dengan berani mengusap payudaraku melalui seragam—.

“O….”

““Dia terbangun?!””

“Opp, pa-pa-pa, opa-pa-pa-pa-pa-pa-pa-pa-pa-pa.”

““Terba… ngun?”””

Kemalangan tak pernah datang sendiri. Aku merasakan garam dioleskan ke luka.

Aku menggigil, merinding menjalar ke sekujur tubuhku.

“Uuu, apa yang aku….”

“Dia terbangun! Hei! Jadi ada saklar untuk antusiasme maksimal?!”

“Tubuh manusia sungguh menakjubkan.”

Saklar? Maksimal? Aku amat sangat cemas, tahu?

“Zekka-chan, pertandingannya bakalan dimulai!”

“Ah, ya, aku mengerti, apa iya?”

“Jadi dia masih setengah sadar. Hei, semangat. Aku akan memakaikan alat pelindung untukmu.”

Schwert-san hanya melepas blazerku, lalu dengan ahli memasangkan alat pelindung itu padaku. Avi-senpai kemudian mendekat sambil membawa setumpuk pedang bambu di tangannya.

“Mereka hanya akan menggunakan satu, tahu?”

“Naif sekali, Schwe-chan! Di saat seperti ini, semakin banyak semakin baik!”

Aku akan mendapat masalah kalau kau berbicara tentang pedang seolah-olah itu adalah mata uang.

“Tidak apa-apa, Miyamoto-san? Meski dimaksudkan sebagai kontes, ini tetaplah pertarungan.”

Setelah aku dilengkapi dengan alat pelindung dan satu pedang, kami mendiskusikan strateginya, kepala kami hampir bersentuhan.

Meski mengatakannya seperti itu, yang kebanyakan berbicara adalah dua orang lainnya.

“Belum lagi, kekuatan Xenovia-senpai sangat hebat. Secara realistis, kekalahan kita tak terhindarkan.”

Nasihat yang tiba-tiba dan keras.

“Aku mendengar dari Buchou-san bahwa Miyamoto-san adalah seorang pemula.”

Dari situ mereka menyimpulkan hanya ada satu jalan menuju kemenangan.

“Itu berarti mengabdikan diri pada penghindaran dan pertahanan. Bertekunlah dengan sekuat tenaga dan menunggu memanfaatkan celah.”

“Tapi kekuatan Zekka-chan juga luar biasa, tahu? Ketika keadaan mendesak, dia bisa menunjukkan kekuatan seperti dalam pertarungan itu!”

“Aku tidak tahu tentang kekuatan fisik Miyamoto-san, tapi ilmu pedangnya mengandalkan kekuatan murni. Senpai mungkin akan memberi kita kelonggaran, tapi kita benar-benar tidak punya harapan menang dengan pendekatan langsung.”

Meski berbicara dengan malas, penjelasan Schwert-san sangat logis.

Tak lama kemudian, Sensei memanggil kami untuk pertandingan, dan dua lainnya dengan antusias mendorongku ke depan.

“Bagaimanapun, lakukan dengan nyali! Tapi jangan terlalu memaksakan diri!”

“Kalau lukanya tidak mematikan, kita bisa mengobatinya nanti.”

Jadi memang akan berujung pada pertarungan? Aku melangkah ke tengah dojo dengan suasana hati yang paling buruk.

“Dua pedang…?”

Xenovia-senpai sudah menunggu, mengambil sikap yang mengesankan.

Namun, yang menarik perhatianku adalah dua pedang yang dia pegang.

Kenapa, bagaimana—tanpa sepengetahuanku, Sensei mengumumkan.

“Tidak ada batasan waktu untuk pertandingan ini. Yang pertama mendaratkan pukulan akan menang.”

Aturan orisinal untuk berjuang sampai akhir tanpa jeda.

“Menantikan pertandingan kita. Mari kita bertarung dengan baik.”

“Ah, aku juga, menantikannya….”

Aku berjabat tangan dengan Senpai yang sopan itu. Cengkeramannya sangat kuat.

“Kalau begitu, kalian berdua, bersiaplah.”

Tenang. Meski sudah sampai pada pertarungan, itu tetap saja sebuah pertandingan. Kami tidak bertarung sampai mati.

Tidak perlu berusaha sekuat tenaga. Dan seperti yang dikatakan Schwert-san, lawanku mungkin akan menahan diri.

“Mulailah pertandingan!”

Akhirnya, sinyal dimulainya pertandingan kami. Aku mengambil posisi dan bersiap untuk mengamati pergerakan lawanku untuk saat ini.

“…Dia menghilang?”

Namun, seiring dengan sinyal awal, Xenovia-senpai menghilang dari pandanganku.

“Zekka-chan! Di bawah!”

Avi-senpai berteriak dari belakang.

Menurunkan pandanganku, aku menemukan Xenovia-senpai berjongkok dalam-dalam, siap menghunus pedangnya.

(S-serangan frontal tiba-tiba?!)

Pedang itu mengiris udara tipis, tapi suara tebasan yang kuat bergema di dekat telingaku.

“Penghindaran yang bagus! Tapi—!”

Xenovia-senpai mengayunkan pedangnya yang lain.

“?!”

Itu ditujukan langsung ke wajahku. Aku mencegat serangan itu secara langsung dengan pedang bambuku.

Meskipun aku terlempar ke belakang, tidak mampu sepenuhnya menyerap dampaknya.

(Kecepatan apa ini, kekuatan apa ini…! Dia menahan diri…?!)

Berguling beberapa kali di lantai, aku mengerti apa arti sebenarnya dari “ilmu pedang yang mengandalkan kekuatan”.

“Kau memiliki mata yang tajam. Tak kusangka kau bisa menanggapi langkah pembukaanku.”

Pendekar pedang yang menjulang tinggi di atasku tampaknya benar-benar terkesan.

“Benar-benar… terkesan…?”

Api menyala di sudut hatiku. Kepahitan dalam diriku, dari semua orang, karena khawatir oleh pendekar pedang bersenjata ganda lainnya, memicu tekadku.

(Tidak bagus. Aku harus tenang. Hitung, dua oppai, empat oppai….)

Ingat tujuanmu. Kendalikan dirimu, apa yang akan kaucapai dengan bersemangat di sini?

“Sekarang.”

Setelah aku berdiri, Senpai mengambil posisi yang penuh dengan semangat juang.

“Berapa lama kau bisa mengikutiku?”

Sosok Xenovia-senpai menghilang sekali lagi.

Tidak, bukan berarti dia benar-benar menghilang, hanya saja dia bergerak dengan kecepatan luar biasa.

“Dari kanan…?!”

Perlahan-lahan mengasah kesadaranku, aku merasakan kilatan biru di sudut pandanganku.

“Jadi, kau bahkan bisa melihat melalui ini!”

Aku entah bagaimana berhasil menangkis dan menghindari rentetan serangan sengit dari dua pedang.

“Kau seperti angin!”

Tapi, karena tak bisa menghindar sepenuhnya, luka ringan mulai menumpuk. Meskipun aku tidak menerima satu pun serangan langsung, aku benar-benar bertahan.

“Zekka-chan, maju!”

“Jangan konyol, dia melakukannya dengan baik untuk seorang amatir.”

Mereka berdua menyemangatiku, tapi yang lebih penting, kekuatan yang terpancar dari ilmu pedang lawanku terlalu kuat.

“I-Irina-san. Bukankah dia bertindak kelewatan?”

“Xenovia itu, dia jadi bersemangat.”

Setelah akhirnya mampu membuat sedikit celah, keenggananku untuk bertarung bertindak sebagai rem, menumpulkan pedangku.

“…Apakah barusan kau membiarkannya begitu saja…?!”

Tentu saja, Xenovia-senpai akan merasa tidak nyaman jika hal ini terus berulang.

Bingung dengan kurangnya perlawanan dariku, dia melanjutkan tanpa ragu.

“Kau mempunyai banyak peluang untuk menyerang! Kenapa kau tidak melawan?!”

“….”

“Selama ini kau hanya bertahan! Kalau kau terus seperti ini, kau tidak akan bisa mencapai aku!”

Aura kuat berkumpul di sekitar tangan kanannya.

“Kalau kau seorang pendekar pedang, cobalah melawan!”

Serangan terkuat dan tercepatnya.

Tidak dapat mengelak tepat waktu, aku pun menghentikannya dengan pedangku secara langsung.

“—?!”

Hasil yang sama seperti di awal. Aku terlempar mundur dengan kekuatan yang luar biasa.

“…Ha… ha… ha….”

Melirik tanganku, aku melihat pedang bambu itu pecah.

Mungkin karena aku berulang kali berguling-guling di lantai, sebagian helm yang menutupi kepalaku juga telah robek.

“Zekka-chan!”

Avi-senpai, yang sedang menonton dari dekat, bergegas menghampiriku.

“Kenapa kau begitu keras kepala untuk tidak menyerang? Kau melihat celahnya, 'kan?”

Pendekar pedang di depanku melontarkan komentar tajam selagi aku berlutut dan menurunkan pandanganku.

“Xenovia-senpai, Zekka-chan….”

“Maaf, tapi aku harus berbicara dengannya.”

Senpai sedikit meninggikan suaranya.

“Benar, ini bukanlah pertandingan kematian. Tapi, tak ada gunanya kalau dia tidak memiliki keinginan untuk bertarung.”

Kurang kemampuan atau menahan diri—kami tidak membicarakan hal semacam itu.

Orang yang menghadapku telah mengetahui diriku—aku tidak mempunyai niat yang tulus untuk bertarung.

“Apakah kau benar-benar akan mundur seperti ini?”

Tidak diragukan lagi, dia adalah orang yang jujur, menjadi marah demi diriku sendiri.

(Tapi mau bagaimana lagi, 'kan? Lagi pula, aku ingin sekali menjadi normal.)

Dan aku tidak punya rencana untuk memasuki Pedang Ilmu Gaib, lagian.

(Aku hanya melakukannya karena aku dipaksa oleh orang lain dan tidak punya pilihan lain.)

Biarpun aku menjadi serius dan menang, apa gunanya—.

“Dahulu kala, aku adalah seorang pendekar pedang yang suka menyendiri.”

Lalu, seakan membaca pikiranku, Xenovia-senpai mengucapkan kata-kata itu, ekspresi sedih di wajahnya.

“Aku adalah orang yang satu-satunya kelebihan adalah kemampuan pedangnya. Sebagai seorang prajurit Gereja, aku bertarung persis seperti yang diperintahkan atasanku.”

Dia tiba-tiba menatap Shidou-senpai dan Asia-senpai.

“Tapi kemudian aku berhasil menjalin persahabatan yang berharga. Aku ingin melindungi mereka dan memenuhi harapan mereka.”

Aku merasa itu pasti alasannya bertarung.

“…Jadi Xenovia-senpai mempunyai orang-orang penting baginya, ya.”

Aku sangat iri, namun, aku tidak punya—.

“Kau juga memilikinya, bukan?”

Senpai melihat ke arah gadis yang berusaha menopangku.

“Avi Amon sangat peduli padamu.”

“Peduli, padaku…?”

“Jika tidak, apakah dia akan berdiri di hadapanku dengan gemetar?”

Lalu, untuk pertama kalinya, aku melihat ke arah Avi-senpai. Dia berdiri di hadapan Xenovia-senpai seolah ingin melindungiku.

“Avi, senpai….”

Ini bukan pertama kalinya aku menyaksikan hal seperti ini.

—Kau tidak memerlukan alasan untuk membantu orang yang membutuhkan!

Ketika kami bertemu, dia mencoba menghadapi OSIS untukku, orang asing.

—Zekka-chan, ilmu pedangmu sangat diperlukan untukku!

Terlebih lagi, dia ingin kami menjadi teman, meskipun aku sangat pengecut.

“Kau harus berdiri, kau harus membalas perasaannya.”

Suara Xenovia-senpai dipenuhi dengan emosi.

“Aku tidak memahami hal-hal rumit, dan sejujurnya, aku tidak berencana melakukannya.”

Lalu dia tepat sasaran.

“Kau mempunyai seseorang yang berharga bagimu dan musuh di depan matamu—ini adalah alasan yang cukup bagi pendekar pedang bertarung!”

Kata-kata tanpa tipu daya, sekadar kejujuran. Itu sebabnya menusuk hatiku.

Dan dari kedalaman lubang yang terbuka, sesuatu yang panas meluap, mengisiku.

“Ze-Zekka-chan? Jangan memaksakan diri….”

“Maaf, Avi-senpai. Pada akhirnya, aku masih harus berjuang.”

Rantai dalam diriku mulai terlepas.

Sebelum pertandingan dimulai, Avi-senpai membawa setumpuk pedang bambu.

Aku mengambil dua dari sana, lalu perlahan-lahan mendekati medan pertarungan tempat dia menunggu.

“Mi-Miyamoto-san! Jangan lupa memasang pelindung di kepalamu!”

“Tidak perlu.”

Tidak perlu lari lagi. Kalaupun perlu, itu tidak akan membawa hasil.

“Avi-senpai, aku tidak memahami apa pun.”

“Zekka-chan….”

“Mungkin sudah terlambat. Meski begitu, aku akan senang kalau kau menjagaku.”

Mengatakan hal itu, dan dengan pedang di masing-masing tangan, aku menghadapi pendekar pedang di depanku.

“Xenovia-senpai, terima kasih.”

“Aku hanya mengungkapkan perasaanku, tak usah berterima kasih padaku.”

Dia mengangkat bahu, berkata tak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Mulai sekarang, aku akan serius.”

“Ya! Datanglah dengan segenap kekuatanmu! Dan aku akan menghentikanmu dengan sekuat tenaga!”

Tatapan kami akhirnya berbenturan.

 

 

Perasaan yang kusimpan dalam diriku meledak seketika.

Saat aura menjalar ke seluruh tubuhku, alat pelindung, yang tidak mampu menahan tekanan seperti itu, terlempar.

““Touki?!””

Shidou-senpai dan Asia-senpai berseru kaget.

“Xe-Xenovia-san!”

“Kekuatan yang sama yang digunakan Sairaorg Bael-san! Dia bukan pendekar pedang biasa!”

Tentu saja, mana mungkin orang yang menghadapinya tidak mengerti.

“Kalian tidak perlu memberi tahuku, aku sudah tahu sejak awal!”

Xenovia-senpai menyiapkan kedua pedangnya sekali lagi.

“Sebuah penghalang sudah dipasang. Ayo lanjutkan pertandingannya!”

Sensei, yang diam sampai saat ini, memberikan isyarat, seolah-olah dia telah menunggu dengan tepat saat ini.

Di saat yang sama, Xenovia-senpai berlari lurus ke depan.

“Zekka-chan! Menghindar!”

Avi-senpai berteriak padaku, yang tidak menunjukkan tanda-tanda mencoba menghindari serangan itu.

Namun, yang terdengar setelahnya bukanlah jeritan atau rintihan kesedihan.

“Kau memblokir pedangku secara langsung…!”

Mata Xenovia-senpai terbuka lebar karena terkejut.

Pedang bambunya diblokir sempurna dengan kedua pedangku.

(Avi-senpai membantuku, melindungiku, setidaknya pertandingan ini—!)

Sekarang aku tidak akan mengabaikan celah! Aku segera melancarkan serangan balik yang kuat.

“Aku akan menang!”

Pedang bambu yang diperkuat dan seluruh anggota tubuhku dengan mudah membuat Senpai terlempar beberapa meter ke belakang.

Dengan suara keras, dia hampir terbentur dinding, tetapi, Senpai langsung berdiri.

“…Jadi kau membalas budi, ya? Bakal berbahaya kalau aku tidak berhasil memblokirnya tepat waktu.”

Xenovia-senpai melepas pelindungnya tanpa peduli.

“Sekarang kita berada di posisi yang sama.”

Itu berubah menjadi pertandingan di mana kami berdua bertarung tanpa pelindung, hanya mengenakan seragam kami.

“Tapi kukira kau adalah pendekar pedang bersenjata ganda seperti aku.”

“Aku tidak, sama.”

“Apa?”

“Penggunaan gandaku, adalah yang terkuat yang pernah ada.”

Mendengar itu, Xenovia-senpai tampak bahagia dari lubuk hatinya.

“Kalau begitu, mari kita putuskan siapakah yang memegang senjata ganda yang sebenarnya di sini!”

Pedang kami berbenturan sekali lagi. Namun, tidak seperti beberapa saat yang lalu, kami berimbang.

Untuk memecahkan kebuntuan ini, aku mengincar titik buta, tapi Senpai meresponsnya dengan sempurna dan menjatuhkan pedangnya.

“Niten Ichi-ryuu, Liriope!”

Hanya bayanganku yang terpotong. Ini menghilang seperti kabut musim panas.

“Sebuah bayangan?!”

Aku yang asli ada di belakangnya; sekarang serangan ini tidak dapat dihindari.

Meski begitu, pedangku menembus udara tipis, seakan menebas ilusi.

(Dia menghilang?! Membuat dirinya transparan? Teleportasi? Tidak, bukan seperti itu…!)

Penjelasannya jauh lebih sederhana—dia bergerak dengan kecepatan ekstrem, bahkan lebih cepat dari sebelumnya.

“Tidak kusangka kau akan memaksaku menggunakan [Evil Piece], ciri seorang [Knight].”

Tubuhnya dibalut kekuatan iblis.

Kupikir kemampuan dasarnya kelihatannya terlalu tinggi, dan rupanya dia aslinya adalah Iblis.

Tapi, itu bukan kecepatan yang tak bisa diimbangi oleh mata dan kakiku.

“Ini mulai menarik!” “Ini adalah pertandingan yang tidak boleh aku biarkan begitu saja!”

Setelah itu, kami bersilangan pedang berkali-kali, luka-luka kecil muncul di kedua tubuh kami.

Akhir pun sudah dekat; Namun, yang menyerah lebih dulu bukanlah tubuh kami.

““—?!””

Saat kami mengunci pedang bambu kami, pedang itu hancur.

Touki dan kekuatan iblis—senjata kami tidak mampu menahan beban seperti itu.

(Akankah hasilnya seri?! Aku tidak akan mengizinkannya!)

Aku akan menang. Tapi Xenovia-senpai merasakan hal yang sama.

Kami tak bisa dihentikan lagi; kami berdua akan terus berjuang sampai akhir yang pahit.

(Mendapatkan pedang bambu baru—aku tidak punya waktu untuk ini—aku harus segera mengambil senjata!)

Di sudut pandanganku ada banyak pedang yang tertancap di dinding.

Entah itu pedang iblis atau pedang youkai—tidak masalah, aku harus mengambil sesuatu untuk bertarung.

“Datanglah! Ex-Durandal!”

Namun, Senpai tidak bersusah payah melihat ke dinding.

Setelah melantunkan mantra singkat, banyak rantai muncul seolah memotong ruang.

(Dia memainkan gerakan pertama dan memanggil senjata dari ruang lain, tapi itu—!)

Pedang yang ada di tangan Xenovia-senpai bisa disebut kelas legendaris.

Apalagi dia sudah mendekatiku.

Sekarang, ini bukan soal tidak punya waktu untuk mengambil senjata baru; pedang biasa tidak akan mempunyai peluang sejak awal.

Lalu, untuk menang melawannya—.

“Datanglah padaku!”

Menghilangkan batasan yang kuberikan pada diriku sendiri, aku berteriak tanpa sedikit pun keraguan.

“Tensei—!”

Kilauan, kekuatan, oppai—hal-hal yang disegel dilepaskan sekaligus.

“Payudaranya bersinar…?!”

Xenovia-senpai berhenti. Kilauan bukanlah satu-satunya alasan.

“G-getaran, apa ini gempa bumi?!”

“Bukan itu! Ini!”

Hanya menggerakkan matanya, Xenovia-senpai mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan mengerti.

“Pedangnya ketakutan—?”

Yang mengguncang ruangan itu adalah bilah-bilah pedang yang tak terhitung jumlahnya terpasang di dinding.

Nenek telah mengajariku bahwa setiap senjata memiliki kehendaknya sendiri.

Dan mereka mengenaliku, sang pendekar pedang, dan pedangku, ‘Tensei’.

[Aku sudah menunggu momen ini.]

Suara agung bergema.

Kemeja dan sarashi-ku robek, dan selempang putihku berkibar tertiup angin.

Dengan partikel emas menerangi dunia, dia, yang telah disegel, muncul dari dadaku.

“““““Pedangnya muncul dari oppai?!”””””

Wajar jika semua orang tercengang, tapi tanpa memedulikannya, aku menariknya dari belahan dadaku.

“Tensei! Aku—”

[Tak usah menjelaskan. Kau hanya ingin menang, 'kan?]

“Ya, aku harus menang melawannya!”

[Pedang Suci Legendaris dan pendekar pedang dengan payudara sempurna—aku tak keberatan dengan lawan kita.]

Dengan pedangku mengarah ke arah Xenovia-senpai, aku menyerbu ke arahnya.

“Haa!”

Percikan terbang dengan hebat dari serangan dan pertahanan kami yang sangat cepat.

“Sacred Gear tipe pedang, bukankah dia memiliki pedang kedua…!”

“Dan kau, Senpai, apakah baik-baik saja tidak membelah senjatamu!”

“Bagaimana kau….”

“Saat mengamatinya, saat beradu dengannya, aura pedangnya bisa dirasakan!”

Senjatanya kemungkinan merupakan perpaduan lebih dari dua pedang.

Karena itu, masuk akal untuk menyimpulkan bahwa itu juga memiliki banyak kemampuan.

(Lebih lanjut, aku butuh lebih banyak kekuatan!)

Pedang yang diberi nama Ex-Durandal ini mampu menyaingi Tensei.

Ada kemungkinan aku bisa mendaratkan setidaknya satu pukulan, tapi tak ada jaminan semuanya akan berjalan semulus itu.

Tanpa sadar mengatupkan gigiku, rasa darah menyebar di mulutku.

“Darah—crimson—ini—!”

Lalu aku menyadari bahwa ada kekuatan tertentu dalam diriku.

Berkilat di depan mataku adalah saat aku bertemu dengan dewi berambut crimson.

Pagi itu dia memelukku, lalu payudaranya menyentuh payudaraku—.

“Tensei!”

[Evolution!!]

Tidak punya waktu ragu-ragu, aku memerintahkan, dan dia segera mengindahkan panggilanku.

Kemampuan Tensei adalah [Perampasan].

Pertama, ia bisa mencuri kekuatan hidup musuh dengan [Dual], lalu menyimpannya di dalam dirinya sendiri.

Kedua, ia dapat mengubah akumulasi kekuatan hidup menjadi regenerasi berkecepatan tinggi atau touki dengan [Evolution].

Namun, aspek yang paling luar biasa adalah mampu memanfaatkan kemampuan musuh hanya sekali setelah mencuri kekuatan hidup mereka.

Aku mewujudkan kemampuannya yang tersimpan di dalam oppai -ku.

“I-ini milik Rias-oneesama….”

Ekspresi Asia-senpai menunjukkan bahwa dia hampir tidak bisa memercayai matanya.

Saat aku bertemu sang dewi, payudara kami bersentuhan, itu sebabnya aku bisa menggunakan kekuatan ini.

Namun, meski tanpa disadari, aku tersiksa oleh rasa bersalah karena mencurinya.

[Tidak, kau belum mencuri apa pun. Jauh dari itu, kau tidak bisa berharap untuk mengambil satu pun pecahannya.]

Tensei berbicara 0,1 detik sebelum kekuatan terwujud.

[Kedengarannya menakjubkan, gadis berambut crimson itu memiliki energi nyuu yang spesial.]

[Seseorang menyebabkan oppai-nya berevolusi secara ekstrem.]

[Apa yang tersimpan dalam diriku sekarang tidak lebih dari sisa yang lahir dari proses evolusi itu.]

Energi nyuu yang spesial, berkembang hingga ekstrem dengan bantuan seseorang—aku tak bisa memahami apa yang sedang dia lakukan.

(Tetapi jika oppai Rias-senpai tidak menyusut sama sekali—)

Lalu aku lega, aku bisa menggunakan kekuatan ini tanpa hambatan.

[Penyebaran Sacred Gear!]

[Genesis Sword <Crimson>!!]

Kekuatan iblis berwarna crimson melonjak dari pedangnya.

Karena tidak mampu menahan dampak besarnya, kotak kaca di dinding tempat pedang-pedang disimpan mulai pecah.

“—Ini adalah kekuatan yang kuterima dari Rias-senpai.”

Sedikit lambaian pedang membuat serpihan kaca menghilang.

Jejak crimson tidak meninggalkan apa pun setelahnya. Serpihan itu tidak menghujani siapa pun.

“…Kekuatan pemusnah iblis, tidak, haruskah aku menyebutnya pedang pemusnah iblis.”

Xenovia-senpai diam-diam menganalisis tontonan yang sedang berlangsung.

“Kemampuan Sacred Gear yang tidak standar. Namun, pasti ada harga untuk menggunakannya.”

Dia mengamatiku dengan saksama.

“Izinkan aku bertanya sekali lagi. Kenapa kau rela melakukan apa saja demi Avi Amon?”

Sebagai seorang pendekar pedang, Xenovia-senpai berusaha memahami pendekar pedang macam apa aku itu.

“…Dia adalah orang pertama yang memujiku.”

Kupikir pedang tidak lagi diperlukan, tapi dia dengan tulus menerimanya.

“…Dia adalah orang pertama yang menyebutku sangat diperlukan.”

Aku penasaran apakah aku pernah merasakan sambutan hangat seperti itu sepanjang hidupku.

Aku baru bertemu dengan Avi-senpai, kami hampir tidak saling mengenal.

(Mungkin, aku salah paham tentang dipuji atau sangat diperlukan. Mungkin, itu tidak cukup menjadi alasan untuk bertarung seperti ini—)

Tapi, dia sama denganku.

Seseorang yang, meski sendirian, terus menempuh jalan yang diyakininya.

“Untuk pertama kalinya, aku menganggap seseorang sebagai teman.”

Asal usul, didikan, dan karakternya sama sekali berbeda denganku.

“Itulah sebabnya aku bertarung.”

Meski begitu, aku menganggapnya sebagai teman.

“Jika itu demi dia, maka aku harus bertarung—!”

Seolah menanggapi emosiku yang meluap-luap, energi nyuu yang kuterima dari Rias-senpai menerangi dunia.

Saat ruangan, yang diwarnai crimson, diselimuti keheningan, satu kalimat dari Shidou-senpai mencapai telingaku.

“…Sama seperti Xenovia saat itu.”

Dari cara dia berbicara, tidak diragukan lagi itu adalah kenangan yang berharga.

Orang yang dimaksud mengendurkan bahunya dan, mengucapkan “Astaga,” tersenyum lembut.

“Itu mengingatkanku, aku masih belum mendengar namamu.”

“Tapi kau tahu itu.”

“Aku ingin mendengarnya darimu.”

Nada suaranya sangat lembut.

Tapi jika dia memintaku, aku akan membalasnya. Sambil menarik napas dalam-dalam, aku berbicara dengan keras.

“Miyamoto Zekka dari Niten Ichi-ryuu!”

Aku mengarahkan pedangku lurus ke depan. Dan lawanku merespons dengan cara yang sama.

“[Knight] Rias Gremory, Xenovia!”

Aku melihat [Evil Piece] bersinar di dadanya.

“Persiapkan dirimu, Xenovia-senpai!”

“Aku datang! Zekka!”

Suara kami bersatu. Gerakan kami bersatu. Pikiran kami bersatu.

““Ini pertarungan!””

Saling mendekat, kami berkomunikasi dengan mata kami: “Kita akan mengakhirinya dengan satu serangan ini”.

Klub Penelitian Pedang Ilmu Gaib dan Klub Penelitian Ilmu Gaib akan mengakhiri permainan ini!

“Ini dia.”

Dalam sekejap, cahaya raksasa menyelimuti kami berdua.

Penglihatanku menjadi putih, dan di ambang kehilangan kesadaran, aku melihat Sensei dengan sayap hitamnya berkibar.

“Kalian tentu saja berlebihan. Tapi ini adalah pertandingan yang menarik.”

Yang menilai pertarungan ini bukanlah Tuhan.

“Atas nama Malaikat Jatuh Penemune, sekretaris jenderal [Grigori]—pertandingan ini telah selesai.”

Aku menemukan yang kucari, dan kebetulan juga ditemukan.

—JD×D—

“““Kalian datang ke sini hanya untuk bermain?!”””

Suara kami bersatu secara serempak.

“Kami dengar ada beberapa kouhai yang menarik, jadi itu menggelitik rasa penasaran kami.”

“Tapi bagaimana dengan memeriksa Pedang Ilmu Gaib atau menyebut Zekka-chan sebagai Asura….”

“Kalau kalian benar-benar sekelompok orang yang merepotkan, OSIS divisi SMA yang akan campur tangan, bukan kami.”

Xenovia-senpai menanggapi dengan ekspresi bermartabat, meski Shidou-senpai menegurnya.

“Jangan bicara kelewat sombong. Kau bertindak kelewatan, apakah kau merenungkannya, Xenovia?”

“Salahku karena begitu antusias. Aku benar-benar menyesal.”

Setelah itu, Asia-senpai mendekati Avi-senpai dan menambahkan.

“Sejujurnya, Sona-kaichou juga meminta kami untuk memeriksa Avi-san.”

“Sona-san?!”

“Dia cukup khawatir, tahu?”

“…Aku mengerti….”

Avi-senpai terlihat agak senang.

Tampaknya dia mempunyai hubungan dekat dengan ketua OSIS dari divisi SMA.

“Omong-omong, Rias-buchou kami juga meminta kami untuk melihat bagaimana keadaan Zekka-chan.”

“Eh, aku?!”

“Dia khawatir apakah kau menemui masalah atau kesalahpahaman di divisi SMP.”

“Dia benar-benar seorang dewi…!”

“Rias-buchou adalah Iblis, tahu?”

Kau tidak perlu menyebutkan detail sepele seperti itu, Xenovia-senpai.

“Mi-Miyamoto-san, kau kenal dengan Rias Gremory-san?”

Schwert-san juga tercengang saat nama Rias-senpai disebutkan.

“Uh-oh, Kaichou kita tentu saja tidak mengantisipasi hal ini….”

Schwert-san menyesali bahwa segala sesuatunya akan menjadi masalah sekali lagi.

“Hei-hei! Berapa lama kalian akan basa-basi? Kalian tidak akan pulang sampai kalian membereskan kekacauan ini!”

Pada saat itu, si pembimbing… Penemune-sensei, Malaikat Jatuh, buru-buru membawa kami.

Kebetulan laga terakhirnya berakhir seri. Itu terhenti karena kami bisa menghancurkan bukan hanya ruangan ini tapi juga akademi itu sendiri.

Dengan demikian, pertukaran antara Pedang Ilmu Gaib dan Penelitian Ilmu Gaib diakhiri dengan merapikan gedung seni bela diri lama.

“Kenapa aku juga harus terlibat dalam membersihkan… pakaianku bakal jadi kotor….”

“Kita membuat kekacauan ini bersama-sama, jadi wajar jika kita membereskannya bersama-sama juga.”

Schwert-san terlihat lesu tapi dimarahi oleh Shidou-senpai karena menganggapnya serius.

“Huh, aku iri betapa pekerjaan kotor cocok untukmu, Shidou-paisen.”

“Apa maksudmu dengan itu?! Kau cuma kurang ajar terhadapku, bukan?!”

“Enggak-enggak, aku cuma punya rasa hormat. Hanya saja aku tak bisa mengucapkannya dengan benar ketika berbicara dengan Ace Surga.”

“Eh? Jadi kau hanya gugup karena aku luar biasa? Kalau begitu, mau bagaimana lagi.”

“…Sangat berpikiran sederhana.”

Aku iri melihat bagaimana mereka tampak akrab. Sudah kuduga, Schwert-san memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik.

“B-berat….”

“Aku akan membantu, Asia-senpai!”

“Avi-san… terima kasih….”

“E-he-he.”

Avi-senpai dan Asia-senpai juga sedang membersihkan. Suasana di sana tampak sangat menyenangkan.

Sungguh luar biasa, bisa akrab dengan Asia-senpai… seseorang sepertiku….

“Zekka! Tanganmu tidak bergerak!”

“Y-ya.”

“Kau sekarang adalah kouhai pribadiku. Aku bakal kerepotan kalau kau tidak menganggap ini serius.”

“Meskipun kau mengatakannya seolah-olah aku adalah murid pribadimu….”

Bersama Xenovia-senpai, aku mengambil pedang yang berserakan di lantai.

“Ayo berlatih bersama lain kali. Aku bisa belajar banyak dari permainan anggar dan taktikmu.”

“B-begitukah?”

“Sepertinya aku kurang berhati-hati.”

“Aku merasa kau akan jadi orang yang lebih bodoh kalau kau berlatih lebih jauh….”

“Apa kau mengatakan sesuatu?”

Enggak. Aku cuma rajin melakukan tugasku.

“Kalau bisa, aku ingin memahami perasaan pedang sama seperti kau, Zekka.”

Xenovia-senpai menatap senjata yang dia ambil.

“Aku juga bisa merasakannya sampai batas tertentu, tapi tidak setepat kau.”

“Walaupun kau sangat memujiku….”

“Jangan rendah hati. Kau melihat Ex-Durandal hanya dengan sekali pandang.”

“Itu mudah dimengerti karena sangat kuat. Sebaliknya, menurutku kaulah yang luar biasa karena berhasil menanganinya….”

Setelah bertanya, aku mengetahui kalau pedang sucinya adalah kombinasi Excalibur dan Durandal.

Keduanya adalah Pedang Suci Legendaris, tapi aku tak pernah menyangka keduanya benar-benar ada, dan lagi, aku bisa menyaksikannya di akademi.

“Durandal itu liar tapi sangat jujur.”

“Begitu, lalu bagaimana dengan Excalibur?”

“Ada banyak suara yang keluar darinya, jadi agak sulit untuk dijelaskan dengan satu karakteristik saja.”

“Kau paham banyak tentang Excalibur hanya dari beberapa pertukaran…?”

Aku merasa bingung, mengira aku telah mengatakan sesuatu yang aneh, tapi Senpai melihat ke kejauhan dan bergumam,

“Seseorang yang dicintai pedang, ya.”

Lalu dia menatapku dan menunjukkan senyuman penuh semangat.

“Sepertinya aku punya kouhai yang sangat menarik.”

 

 

Setelah itu, dengan bantuan Sensei, kami berhasil mengembalikan ruang klub ke keadaan semula dalam waktu sekitar satu jam.

“Zekka-chan.”

Dengan kejadian yang akhirnya berakhir, aku menarik napas, lalu Avi-senpai berdiri di sampingku.

“Maaf, ini akhirnya menjadi kekacauan besar.”

“…Sama sekali tidak.”

“Kau luar biasa. Rupanya kau sekuat itu.”

 “…Maafkan aku karena diam mengenai itu.”

“Jangan cemas, kau tak perlu meminta maaf; malahan—”

Avi-senpai tiba-tiba menundukkan kepalanya.

“Terima kasih, sungguh! Karena bertarung demi Pedang Ilmu Gaib!”

Ucapan terima kasih yang sangat sopan, tidak pantas untuk seorang senior.

“A-Avi-senpai?! Kau tidak perlu terlalu formal!”

Aku jadi putus asa setelah diberi tahu oleh Xenovia-senpai dan memutuskan kalau aku harus bertarung.

Dan sebelum aku menyadarinya, aku akhirnya menggunakan bukan hanya touki tetapi juga Sacred Gear.

Namun, kupikir jika demi orang ini, aku harus menggunakan pedangku.

Mulai sekarang, aku harus memulai hal baru. Ada banyak hal yang harus kukerjakan untuk mendapatkan teman.

(Temui banyak orang dan pelajari banyak hal… ya.)

Mungkin, jika itu ada di sini—.

“Tolong, angkat kepalamu.”

“Tapi….”

“Bukankah akan terlihat buruk kalau ketua klub bersikap seperti ini terhadap anggota klub.”

“Dengar… eh, tunggu, maksudmu.”

“A-aku akan memberi tahumu dulu, tapi aku tidak akan menjadi pendekar pedang terkuat atau apa pun! Aku melakukan ini hanya karena kau tidak punya cukup anggota! Kalau itu hanya sekadar menjadi anggota klub… ku-kurasa itu tidak masalah untukku.” “Zekka-chan….”

“T-tolong perlakukan aku dengan baik, Avi-buchou.”

Setelah mendengar kata-kataku, Senpai—tidak, ketua klub menerkamku.

“Zekka-chaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!”

“Tolong, jangan sentuh o-oppai-ku! Ini pelecehan seksual, tahu?! Aku akan keluar dari klub, kau dengar aku?!”

Apa dia mengira aku adalah seseorang yang senang oppai-nya dibelai?!

“Kita punya anggota baru, bagus sekali, Avi?”

Sensei, yang mengamati, mendekati kami dan dengan lembut mengelus kepala Ketua.

“Meskipun aku punya firasat setelah mendengar namamu, sampai-sampai kau adalah seorang praktisi Niten Ichi-ryuu yang asli.”

“Aku merasa bersalah karena tidak memberitahukan hal itu….”

“Tidak perlu. Dan kupikir yang itu sudah hilang, tapi ternyata ada di sini, kali ini bersama keturunan Miyamoto, ya….”

“?”

“Tidak, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Avi dan aku menyambutmu. Bagi pengguna Sacred Gear sepertimu, hari-harimu di sini seharusnya terbukti sangat berharga karena kau sepertinya belum bisa mengendalikannya dengan sempurna.”

Sensei menyiratkan bahwa aku harus menguasai penggunaan Sacred Gear di sini.

“Siapa yang mengira akan tiba saatnya aku menyaksikannya sekali lagi.”

Benar sekali, di tengah kekacauan ini, aku benar-benar lupa kalau aku datang ke sini mencari Malaikat Jatuh yang dirumorkan.

“Jadi kau adalah peneliti Sacred Gear terkenal, Sensei, kalau begitu—”

“Oh, yang kaumaksud pasti Azazel, bukan aku.”

“Aza, zel?”

“Dia seorang pembimbing di divisi SMA. Meskipun keadaan saat ini cukup sibuk, jadi ini bukan waktu terbaik untuk melakukan penelitian.”

Jadi, apakah itu berarti saat ini aku tak bisa berkonsultasi dengannya….

Saat aku menjadi depresi, berpikir takkan ada kemajuan, Penemune-sensei dengan nada sugestif melengkungkan sudut bibirnya.

“Aku juga seorang Malaikat Jatuh yang telah hidup lama sekali. Dan khususnya mengenai Sacred Gear tipe pedang, aku mungkin lebih berpengetahuan ketimbang Azazel.”

“K-kalau begitu, kau juga tahu tentang Tensei?!”

“Tidak.”

H-hah? Dengan perkembangan yang terjadi, bukankah dia akan memberikan kebijaksanaan?

“Tepatnya, aku tidak punya pengetahuan tentang Sacred Gear bernama [Tensei].”

“Apa maksudmu?”

“Di antara Sacred Gear yang didokumentasikan sampai hari ini, tidak ada satu pun yang memiliki nama itu.”

Tapi Tensei tidak dapat disangkal ada di sini, apa maksudnya dengan “tidak ada”?

“Kau benar-benar tak tahu apa-apa, ya…. Hei, bagaimana kalau mengatakan sesuatu?”

Pertanyaan Penemune-sensei ditujukan pada payudaraku. Lalu, diiringi kilauan, suara Tensei bergema.

[Itu betul. Nama asliku bukan Tensei. Itu hanyalah nama panggilan yang diberikan Musashi secara aneh kepadaku.]

I-itu pertama kalinya aku mendengar ini… Tensei hanyalah sebuah nama panggilan

“Aneh atau tidak, menggunakan [Ten][8] untuk namamu cukup ironis bagi ahli pendekar pedang.”

[Namaku sendiri tersegel bersama jiwaku, jadi ini masalah sepele.]

“Begitu, ya? Bagaimana Musashi menamainya?”

[Shuusei.]

“Tensei (Orang Kudus Awal Zaman) dan Shuusei (Orang Kudus Akhir Zaman)… ya. Jadi mari gunakan nama-nama itu, kukira. Bagian pentingnya datang berikutnya. Kau tidak akan keberatan kalau aku membocorkannya sedikit, Tensei?”

Dengan dia memberikan izin, Penemune-sensei mengambil inisiatif dan melanjutkannya.

“Apa yang akan kusampaikan padamu sangatlah rahasia. Kau tak boleh mengungkapkan apa yang akan kaudengar, mengerti?”

Dengan sikapnya yang formal, semua orang, bukan hanya aku, mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Sacred Gear Zekka terpilih sebagai Longinus… hampir.”

““““““Hampir?””””””

“Kedua pedang itu merupakan satu Sacred Gear. Dengan kata lain, dengan kedua pedang, bahkan membunuh dewa pun bisa dilakukan.”

Kemampuan untuk membunuh dewa—bukankah itu detail yang penting!

Tapi sebaliknya, apakah itu berarti hanya dengan satu pedang, Sacred Gear-nya lemah?

“Bahkan dengan satu pedang, itu tidak lemah. Alih-alih, ia sangat kuat. Tapi, tak ada artinya jika dibandingkan dengan kekuatannya dengan kedua bilah bersatu. Beberapa abad yang lalu, pedang itu hampir diakui sebagai Longinus, tapi pada saat itu, pedang kedua yang penting itu hilang.”

Jadi karena itulah, tanpa menjadi Longinus ini, pada akhirnya akan terlupakan.

“Meskipun jika aku mengkategorikannya dengan caraku sendiri, itu adalah [Extra Longinus].”

Tak ada yang tahu di mana pedang yang hilang, Shuusei, berada.

“Namun, kekuatannya tidak mengejutkan. Toh, merekalah yang paling disayangi Tuhan.”

Bahkan dengan satu pedang, kemampuan dasarnya menonjol. Itulah rahasia yang Sensei ungkapkan.

“Meskipun mereka disegel dalam Sacred Gear setelah melanggar tabu. Namun, dibandingkan dengan [Dragon Eater], yang disegel di lapisan terbawah Cocytus, perbedaan perlakuannya cukup jelas.”

Apa tabu itu, ya. Dosa macam apa yang Tensei perbuat?

Sudah kuduga, apakah dia bertindak terlalu ceroboh karena oppai? Misteri demi misteri.

“Sekarang aku akan memberi tahu kalian nama sebenarnya dari Sacred Gear yang dimiliki Zekka.”

Namun setelah kegelapan yang berkepanjangan muncullah seberkas cahaya.

“Saat kedua bilah ini, Tensei dan Shuusei, digabungkan, orang-orang akan takut pada senjata ini.”

Aku akhirnya menemukan sifat sebenarnya dari kekuatanku sendiri.

“Sacred Gear tipe pedang terkuat, [Edens Dual]!”

—JD×D—

Pada hari aku bergabung dengan Pedang Ilmu Gaib, Avi-buchou dan aku pulang bersama.

“Eh, Zekka-chan, kau tinggal sendirian?! Apakah kau tidak merasa rindu rumah?!”

“Tidak apa-apa. Aku bertukar surat dengan Obaa-chan.”

“Kuno sekali! Sangat menarik! Mungkin aku juga harus berkomunikasi dengan orang lain melalui surat yang ditempelkan pada panah atau semacamnya!”

“Sebaiknya jangan… kau bakal ditangkap….”

Kami mengobrol tentang berbagai topik dengan Avi-buchou sambil berjalan pulang.

“Warna, biru?”

Kami melewati seorang gadis.

Pita biru menawan yang mengikat rambut emasnya yang berkilau memikat perhatianku.

“Orang itu….”

“Seorang kenalan?”

“Bukan….”

“Dia sangat tinggi. Apa dia orang asing? Rambut pirangnya jarang ada.”

Meskipun aku sangat ragu mendengarnya dari seseorang dengan rambut pink….

“Penampilannya dari belakang… dan biru itu… biru….”

Aku merasa seolah-olah aku pernah melihatnya, tapi aku tak bisa memastikannya.

“Zekka-chan!”

Avi-buchou berbicara dengan tidak sabar. Mungkinkah dia mengenal orang ini?

“Ini, kroket!”

“…Kenapa kroket?”

Dia memegang dua kroket panas mengepul di tangannya.

“Aku membelinya di toko daging di sana! Baru dibuat!”

“Kapan kau… atau lebih tepatnya, aku enggak bawa uang….”

“Jangan memusingkan detail kecil! Ini! Jangan malu-malu dan makanlah sebelum jadi dingin!”

Bingung, aku menerima kroket yang dia berikan ke arahku.

(Ini pertama kalinya aku menerima sesuatu dari orang lain dengan cara seperti ini….)

Sambil menahan senyuman, aku tiba-tiba teringat gadis tadi.

“Dia tidak di sini—?”

Saat aku berbalik, tak ada siapa-siapa.

Hanya angin sepoi-sepoi yang dingin dan dunia tenggelam dalam keheningan—.

“Ehnak! Ehnak sekahli!”

…Namun, diam saja itu berlebihan.

Bagaimanapun, aku merasakan perasaan tidak nyaman yang samar-samar atau lebih tepatnya, firasat buruk.

“Yah, pada akhirnya aku akan mengingatnya.”

Mengesampingkan masalah ini, aku mengikuti Senpai dan memakan kroketnya.

Namun, aku seharusnya lebih waspada terhadap gadis berambut pirang itu.

Seharusnya aku merenungkan lebih dalam kenapa dia memicu instingku.

Jika aku melakukannya, mungkin aku tidak akan terlibat dalam insiden yang lebih menyusahkan—.

 

[1] Permainan kata-kata payudara. Tensei mengatakan 人生山あり谷間ありだ yang merupakan sebuah pengalaman pahit dari 人生山あり谷ありだ (idiom asli untuk pasang surut) dan secara harfiah diterjemahkan menjadi "hidup adalah tentang gunung (payudara) dan lembah (belahan dada)".

[2] Zekka cenderung menghentikan kalimatnya saat dia berbicara.

[3] Oka-Ken, kependekan dari Okaruto Kenkyū-bu (オカルト研究部 atau オカルト剣究部) hanya bedanya dari Ken-nya, 研 (ken) untuk penelitian secara keseluruhan, 剣 (ken) untuk penelitian pedang.

[4] Avi gugup sehingga tidak bisa berbicara dengan normal.

[5] Sebuah permainan kata-kata, bisa berarti lembut dan fleksibel (menyiratkan bahwa Schwert benar-benar fleksibel, oleh karena itu dia membalasnya).

[6] Keadaan kahar adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

[7] Kata lain, Zekka bisa merujuk pada Schwert yang fleksibel dan payudaranya yang lembut.

[8] Kanji untuk [Ten] adalah [天] yang berarti “surga” atau “langit”.

Post a Comment

0 Comments