Date A Bullet Jilid 1 □□□□

○□□□□

Membuka mata, apa yang muncul di depan pandagan adalah ruang kelas sekolah. Namun, penampilannya berbeda dengan kelas yang dikunjungi kemarin. Gedung sekolahnya agak tua dan terasa lebih familier daripada ruang kelas dari kemarin. Namun, hanya ada satu masalah.

Ruang kelas ini setengah hancur. Semua meja rusak atau roboh dan tak ada kursi yang berfungsi sebagai kursi.

Menyedihkan, batin Empty——sambil ketakutan.

Tangan ini bukan tangannya sendiri. Daripada lengan baju putihnya menutupi tangannya, ada sesuatu yang menyerupai pelindung tangan. Bukan itu saja, tangan itu bergerak atas inisiatifnya sendiri.

Seperti dalam mimpinya, tangan itu bergerak tanpa izin.

Seseorang (aku) sedang bergerak.

Ada pintu terbuka ke ruang kelas. Walau itu bukan karena kehendaknya sendiri, tatapannya secara refleks bergeser ke sana.

Itu seperti tabrakan yang kuat terhadap tengkorak atau bilah tajam yang menyerang jantung.

Dengan itu, gelombang kejut yang menyakitkan melintasi tubuhnya.

Di depanku adalah seorang anak laki-laki mungkin seusia dirinya. Dengan rambut hitam kemerahan, tubuh ramping, dan tatapan yang sulit untuk menyembunyikan rasa takut yang meresap.

Sesuatu dalam diriku dilepaskan dengan sembarangan. Pintu dan kaca jendela belakang diterbangkan, karena wajah anak laki-laki itu berlumuran darah.

(Tidak!!)

Pekikan nyaring, perjuangan histeris, tak masalah apakah ini mimpi atau bukan.

Tapi, itu sia-sia saja. Apa yang terjadi sama sekali tak ada harapan baginya.

Untungnya, serangan sebelumnya baru saja melewati sisi tubuh anak itu. Itu hanya menyebabkan luka kecil di wajah. Meski begitu, rasanya sama menyakitkannya seperti jantungku diiris.

“——Berhenti.”

Dari mulut, kata-kata itu keluar. Tidak, bukan itu saja. Aku bukan diriku sendiri, melainkan meminjam tubuh orang lain——Empty yakin akan hal itu.

Adapun alasannya, itu karena suara ini benar-benar berbeda dariku.

Meskipun ukuran fisik dan dada tidak banyak berubah, suara dan jemarinya berbeda.

Pakaian juga berbeda. Terlebih lagi, ada perasaan tidak menjadi diriku sendiri.

……Anak itu tidak mencoba melarikan diri.

Mustahil untuk tidak takut. Jika dicermati, kedua kakinya gemetar. Pinggang juga agak gelisah. Kedua mata memiliki rona takuk. Dia bisa membunuhnya semudah mencabut bunga, anak itu mungkin juga memahami ini dengan baik.

Tetapi, dia tidak lari.

Tidak, itu bukan tatapan takut, melainkan ekspresi tekad. Ini bukan sesuatu seperti tekad seorang pria.

Untuk melindungi sesuatu yang bahkan lebih berharga daripada dirinya sendiri, dia takkan mundur di sini.

Pembicaraan tak berharga telah dimulai. Anak itu mengucapkan namanya. Anehnya, nama itu tak bisa didengar. Namun, dia pikir itu tak penting.

Sama pentingnya dengan dirinya, nama hanyalah aksesori.

Sebagai seorang gadis tanpa nama, Empty berpikir demikian karena suatu alasan.

“Aku……bicara denganmu……kemarilah.”

“Aku ingin bicara denganmu.”

“Aku——takkan menolakmu.”

Setiap kata meresap bagai hujan, menusuknya seperti peluru.

Apakah orangnya menangis atau tubuh ini? Bahkan itu tak bisa dibedakan.

Aku ingin bicara. Berpikir jauh di dalam hati, aku ingin berbicara dengan anak itu, sama seperti dia. Daripada ingin terbakar, hatiku terasa tersulut seperti api yang mengamuk. Namun, ini adalah nyala api yang takkan pernah hilang tanpa jejak.

Begitu dia menyadarinya, bukan lelucon untuk mengatakan bahwa dia merasa dirasuki oleh niat membunuh terhadapnya.

Kenapa bukan dirinya sendiri, kenapa gadis ini dipilih?

“————Tohka.”

Jadi, dia pun melampaui Empty.

Gadis itu, yang juga tanpa nama, diberi nama Tohka. Dia melekat pada nama baru ini.

Alasan yang sederhana. Kalau kamu lupa namamu sendiri, akan cukup sederhana untuk meminta orang lain memberimu nama baru.

Hanya saja, begitulah.

Dia menerima nama itu. Nama yang bagus, yang dia bicarakan dengan bangga.

Kabur. Buram.

Menjangkau, meskipun dia merentang dan merentang, itu takkan mencapai anak itu. Itu takkan pernah mencapai. Rasanya seperti itu.

Tidak, aku tak menginginkan ini. Itu masih belum cukup, aku ingin bicara, aku ingin melihat senyumnya lagi, bukan dia, aku——

Teriakan. Jeritan. Air mata terus mengalir. Mengenali. Bahkan tanpa ingatan, aku takkan pernah melupakannya, bagaimana aku bisa melupakannya.

Menyukai atau membakar api, seperti air yang terkontaminasi menyebar keluar, atau mungkin perasaan suram dari bayangan yang bersembunyi di lorong, Empty mengisi dirinya sendiri.

Untuk dirinya sendiri yang seharusnya bukan apa-apa, satu titik panduan lahir.

Pada hari itu, dia jatuh cinta dengan anak ini————————sekali lagi.

Membuka matanya, itu seperti bangun dari mimpi. Pilar hitam sudah menghilang.

Rupanya, itu adalah objek sementara yang akan segera mundur setelah beberapa waktu berlalu. Empty tengah berbaring di lantai satu pusat perbelanjaan, dengan anggota tubuhnya terentang membentuk karakter 大.

Tak ada nyeri. Dia berdiri dengan menopang dirinya sendiri dengan tangan kirinya. Omong-omong, tangan kiri yang seharusnya sudah menghilang, sambil memikirkan hal seperti itu. Empty berulang kali menutup dan membuka telapak tangannya. Meskipun masih ada kegelisahan tentang masa depan, sudah ada aspirasi yang kuat membakar dadanya. Ada keyakinan kuat bahwa tangan kirinya takkan pernah hilang lagi.

Dia merasa dia mengerti alasan mengapa semua orang bermimpi. Itu adalah cinta dan bukan mimpi, tapi itu tak mengubah masalah yang dia harapkan untuk hidup untuk tujuan itu.

Dunia Tetangga sangat indah. Begitu indah, Quasi-Spirit dengan mimpi bisa menari di sini selamanya seolah-olah di surga.

Jika seorang gadis abadi dapat menyusun mimpi selamanya——betapa indahnya itu?

Sebaliknya, melihat dunia lain bagaimana perbandingannya? Tak ada yang namanya keabadian, hanya perjuangan buruk dunia manusia.

Sepertinya, dunia ini di sini jauh lebih baik. Agar lebih enak, metode untuk hidup tanpa pertarungan juga mesti ada.

Namun, tak ada orang seperti itu di sini. Karena dia bukan Quasi-Spirit di Dunia Tetangga; melainkan, dia adalah orang yang hidup sebagai manusia.

Empty jatuh cinta dengan seseorang dari dunia lain.

Aku ingin menemuinya; Aku ingin berbicara setelah pertemuan. Jika hanya dengan melihat, kata-kata itu takkan pernah diucapkan. Aku ingin memeluk; Aku ingin berada di sisinya. Aku ingin mencium, saling menatap mata. Aku ingin memegang tangan, mendengar suara.

“……Untuk mengambil sedikit rasa, itu akan mustahil.”

Perasaan itu tak tertahankan.

Lagi pula, apa yang harus dilakukan untuk menemuinya? Empty terus mempertimbangkan hal itu. Warna dunia terasa seperti menjadi lebih beraneka ragam. Meski tak tahu ke mana harus pergi, tujuan akhirnya sudah diputuskan.

Ini adalah mimpi Empty.

……Sekarang. Gadis ini, dengan mimpi cinta yang hampir beralih ke mode tidur, tiba-tiba tersentak kembali pada kenyataan.

“——Maaf. Bisakah kamu menjadi sandera sebentar?”

Aku benar-benar menjadi sandera. Ahaha.

Dua jam setelah pertempuran di pusat perbelanjaan, pesan Tokisaki Kurumi dikirim melalui boneka.

“Mengambil Empty sebagai sandera?”

“Tepat.”

“Yah, aku mengerti. Lokasinya adalah——oh, di mana? Oh, begitulah. Silakan bertindak atas namaku; Aku akan menuju ke sana pada jam 19:00 jika memungkinkan.”

“Bukankah sudah sepulang sekolah?”

“Untuk membiarkan pihak lain menyandera di sana, pengawas yang berguna yang sudah menutup mata terhadap hal-hal kecil seperti ini.”

“……Aku harap tak menambahkan terlalu banyak masalah.”

Sambil melihat boneka yang pergi, Tokisaki Kurumi tak bisa menahan tawa.

“Ada apa dengan membicarakannya sebagai sandera? Mereka benar-benar memikirkan sesuatu yang menarik.”

——Setelah tertawa sebentar, kebencian sedingin es menyelimuti hati Kurumi.

Sandera atau apa pun, itu benar-benar lucu. Apa dia begitu penting bagiku?

……Yang berarti, itu benar. Dia benar-benar keberadaan yang dihargai. Biarpun dia harus siap untuk meninggalkan kesadarannya pada saat terpenting……. Lalu, kapan saat kritis ini? Pada saat itu, tak mungkin alasan dia mengulurkan tangan adalah karena dia tak mau berpisah.

Pikirannya berjalan stagnan. Dia bersumpah untuk tak melihat ke belakang, tapi masa lalu yang berlebihan telah merayap keluar. Tidak, belum. Jangan biarkan hatinya mencair dan dihalangi oleh emosi yang tak berharga. Sampai tujuan itu tercapai, dia akan tetap kejam. Kesombongan yang angkuh, keberanian yang tak kenal takut, mencemooh segalanya dengan tawa itu adalah kehadiran yang pantas untuk senyum ini.

……Toh, dia sudah dijadikan strategi penyanderaan.

Merenungkannya, mengubah strategi di kepala, itu semua untuk akhirnya mencapai sisi wanita itu untuk mengalahkan musuh itu.

Apa berjuang di sini adalah sesuatu yang ditumpuk?

Ya, Tokisaki Kurumi sungguh-sungguh takkan pernah harus berjuang. Dengan kekuatan anggun ini, dia akan menyihir lawan-lawannya.

Tiga jam lagi.

Tokisaki Kurumi terus berpikiran seperti itu.

Post a Comment

0 Comments