Date A Bullet Jilid 1 Empty

○Empty

—Tidur serasa mati, atau mati serasa tidur.

Jatuh sangat cepat, serasa jatuh ke neraka dengan kekuatan yang tak tertahankan.

Tabrakan sangat lembut, serasa secara bertahap naik ke surga.

Ingatan hangat, impuls dingin, semuanya hilang. Hanya menyisakan kekosongan ini.

Berayun bolak-balik, layaknya perahu yang dilempar ke laut.

Tolong aku! Tolong aku!

Jeritan itu diteriaki keras-keras. Jeritan putus asa di depan lautan yang mengamuk——gelombang hitam, langit hitam, kematian kelam.

Sebuah lubang terbuka di bagian bawah perahu, menyeretnya ke laut.

Tak bisa bernapas. Tak ada yang bisa dilihat. Tak ada yang bisa didengar.

Guruguru, shi~yurururu——guru. Seberapa keras pun aku memukul lenganku, aku hanyalah percikan tekstur air saja.

 

“Kamu tak punya apa-apa. Karena kamu adalah cangkang kosong, tak berisi apa-apa.”

Bisikan dari lubuk hati gadis itu.

Dalam pikiran batinnya. Mungkin, karena aku tak bisa mengingat apa pun yang tengah sekarat seperti ini.

Sebuah tangan dingin menangkap kaki kanan gadis itu, menyeretnya kuat-kuat ke laut dalam.

Mati, mati, mati, mati, mati, mati, mati. Hidup, hidup, hidup, hidup, hidup, hidup, hidup.

Semuanya kosong.

Tak ada sama sekali.

Tenggelam, tenggelam, tenggelam. Gadis itu tenggelam ke ruang gelap tiada akhir. Menyakitkan, menyakitkan, kosong, menakutkan, menyakitkan … kesepian.

Tiba-tiba, gadis itu membuka matanya. Di dasar laut hitam yang dalam ini, ada cahaya redup.

Melupakan rasa takut akan tenggelam, melupakan rasa sakit akan tenggelam, gadis itu berenang menuju cahaya itu. Betapa banyak rasa sakit dan penderitaan yang bisa dilupakan dengan pergi ke sana, gadis itu sedikit terkejut pada dirinya sendiri.

“Cepat, cepat, cepat. Aku takkan pernah menyentuhnya kalau aku tak meraih pancaran ini.”

Beginilah, gadis itu menginspirasi dirinya sendiri.

Dia menggenggamnya dengan tangan gemetar. Itu lemah, tapi pasti masih bersinar.

Tentu, dia seharusnya tak diizinkan; pancaran yang bukan milik dirinya.

Jika tidur adalah untuk mati, maka bangun adalah untuk hidup. Hidup berarti berpikir.

Seorang gadis merenungkan masalah seperti itu.

“——————Ahh.”

Itulah koneksi ke dunia ini. Dia secara perlahan menopang tubuh bagian atasnya sambil banyak melakukan peregangan. Tapi kantuk gadis itu belum hilang, jadi dia perlahan-lahan berbaring lagi.

“Na——————”

Suara hanya diizinkan saat tertidur. Alih-alih lucu, itu jeritan yang sangat aneh.

Tetapi entah bagaimana, karena terdengar mirip dengan bunyi kucing, dia ingin membuat suara lain, tapi kemudian dia melihat sesuatu yang penting.

“… Di mana ini?”

Usai membuka matanya, mata gadis itu menjadi panik. Usai bangun, pikirannya menderita syok. Bukan, daripada syok, lebih baik mengatakan bahwa itu seperti cangkang kosong.

Kurang pengetahuan, sama sekali tak mengerti di mana dia sekarang.

“… Siapa aku?”

Toh, dia pun tak tahu siapa dirinya.

Sepatu bagus, pakaian bagus, kacamata tak dipakai.

Ada peti.

Hanya hal-hal ini yang diketahui.

Untuk saat ini, aku bisa mengerti bahwa aku seorang perempuan. Aku mengenakan pakaian putih dan hampir tak bisa memahami apa pun. Kalau tidak, tak ada yang diketahui, tak ada yang bisa diingat.

Bahkan ada aura ketidakpedulian terhadap masalah ini. Gadis yang tak disebutkan namanya, yang ingat apa yang baru saja dikatakannya, menertawakan gagasan konyol itu.

———Lalu.

“Aku hanya tertawa, dan tertawa, tapi ah, aku ingin tahu apa yang mesti kulakukan?”

Gadis yang tak disebutkan namanya memutar lehernya, memegangi kepala dengan tangannya sambil mencoba mengingat-ingat tentang dirinya sendiri.

… Sama seperti perasaan dikelilingi oleh kabut tebal. Atau bisa dikatakan, ingatan dan hal-hal penting lainnya tentang dirinya telah dirampas seutuhnya.

Gadis itu berbalik untuk melihat sekelilingnya.

Itu menyerupai lorong belakang yang disesuaikan secara khusus dan halus. Cop, seharusnya ada noda dan kotoran di lorong biasa. Tempat ini bahkan tak ada setitik pun debu.

Dari pemandangan yang tak bisa dipahami ini, gadis ini tak bisa tenang. Dikelilingi oleh dinding-dinding putih murni ini, ke segala arah, membuatnya seperti menjadi seorang tahanan.

“Pokoknya, mari bertanya pada seseorang.”

Biarpun dia mencoba untuk terus berpikir, itu tak ada gunanya. Dia takkan bisa menyelesaikan masalah ini di sini. Dalam hal itu, tak ada pilihan selain bergerak maju.

Dia maju selangkah.

Meninggalkan lorong dan berjalan ke luar.

“————————————”

Dia terkejut sesaat. Apa boleh buat dengan pemandangan kota yang asing ini.

Namun, meski tak ada satu pun pejalan kaki hadir, itu bukanlah sesuatu yang dapat digambarkan dengan “tak ada”.

Jalan tak berpenghuni, dengan lampu jalan berkelip dan toko dibuka. Namun, elemen kunci yakni orang tak dapat dilihat. Bahkan, seekor kucing liar pun tak ada.

“Apa ada orang di sini?”

Gadis itu berdiri dan berteriak keras di tengah jalan. Namun tak ada jawaban.

“Halo! Halo! Halo!”[1]

Tak ada suara.

Tak ada bunyi.

Tak ada orang.

Apa waktu telah berhenti ataukah umat manusia telah dihancurkan?

Sementara derita kecemasan mulai menyebar, gadis yang tak disebutkan namanya terus berjalan. Ketika berjalan tak lagi cukup, dia mulai berlari.

“Seseorang——! Siapa pun——!”

Bahkan usai berlari sampai kehabisan napas, tak ada orang di sana. Satu-satunya yang hidup di jalan ini adalah dirinya sendiri——

Mantra yang memusingkan. Walaupun tak ada ingatan, akal sehatnya menjerit itu sesuatu itu “tak biasa”. Walau tak ada manusia di jalan ini.

Ini sangat aneh; ini seharusnya sangat aneh.

“Harus apa? Mimpi? Apa ini mimpi?”

Dia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Biarpun dia berbaring di tengah jalan, tak ada satu orang pun yang menemukan kesalahan dalam hal ini.

Gadis yang tak disebutkan namanya itu berjuang untuk menahan keinginan untuk tertawa. Begitu dia mulai tertawa, rasanya akan terus berlanjut sampai dia mati.

Gadis itu berdoa agar ini mimpi. Karena ini adalah mimpi, tak ada seorang pun di jalan ini. Karena ini adalah mimpi, sudah biasa untuk tak ada ingatan.

Setelah bangun, ketiadaan ini akan lenyap. Dia akan kembali ke kehidupan sehari-harinya——biarpun tak punya ingatan seperti apa kehidupan sehari-hari itu.

Gadis yang jatuh itu memandang ke arah langit——akhirnya muncul setelah melihat sebuah bangunan yang menjulang tinggi.

“… Kalau melihat ini dari atas ….”

Jika menatap dari gedung tertinggi, dia seharusnya bisa melihat pemandangan kota yang indah.

Gadis itu bergegas ke gedung tertinggi di sebelahnya, memanjat tangga dengan panik.

Tak apa-apa, itu hanya ilusi. Keadaan tak ada orang di sini hanya karena kebetulan.

Mungkin tak ada seorang pun di sini karena ada festival terdekat. Bangunan ini juga, kebetulan tak ada siapa-siapa.

Dari atap, semuanya akan segera dipahami. Lokasi orang yang hadir akan terlihat jelas.

Tersengal-sengal. Detak jantung yang cepat. Karena jatuh lebih awal, ada sedikit rasa sakit yang datang dari tulang keringnya.

Karena ada rasa sakit, ini jelas bukan mimpi.

Dia terengah-engah sambil berlari ke puncak gedung. Usai membuka pintu, sepertinya ada sesuatu yang menyerupai kedai kopi atau kafe luar ruangan, dengan kursi dan meja bergaya ditempatkan di teras terbuka.

… Tak ada satu orang pun.

“Tapi …!”

Meraih pagar, menatap pemandangan yang terbentang di depan matanya——dia jadi putus asa.

Tak ada seorang pun di sini. Sulit dipercaya, di kota yang luas ini, makhluk apa pun selain dirinya itu tak ada.

Hatinya berantakan. Dari kenyataan ini, mungkin mustahil untuk pergi selamanya …?

Katan, suara yang datang dari selain dirinya bergema.

——Berbalik untuk melihat ke belakang.

——Gadis itu mungkin menyebut ini nasib buruk.

Namun, pada saat ini, ada suatu keajaiban untuknya.

“……… Apa, seseorang, di sini?”

Astral Dress hitam dan merah yang memberi kesan kecantikan dingin yang sedingin es.

Rambut hitam cemerlang, kulit putih porselen berkilauan mirip bisque doll, dan sosok ramping.

Gadis yang kagum akan hal ini tidak menyadari kelainan ini. Biasanya, orang yang berdiri dengan anggun di atas cerobong asap itu seharusnya tak ada. Kecantikannya tak diragukan lagi memungkinkan orang untuk secara otomatis mengabaikan keganjilannya.

Ah, betapa menyedihkan latar belakang langit biru ini dibandingkan dengannya.

Gadis itu pasti berpikir begitu. Yang paling cocok dengan seleranya adalah malam yang gelap dengan cahaya bulan yang samar.

“… Halo.”

“… Halo!!”

Tak lama sehabis salam itu, suara ledakan terdengar. Tekanan angin yang kuat menghantam telinganya.

“?”

Saat gadis itu menatap kosong dan memiringkan kepalanya——garis pandang mereka berpotongan.

Matanya berkedip.

“Maafkan aku.”

Suara bagai bel perak. Usai membuka matanya, dia melihat bahwa gadis dengan pakaian gelap turun dari cerobong dan mendarat ke tanah di depan matanya. Segera setelah itu, gadis itu menyadari betapa cantiknya dia.

——Pupil mata itu.

Sebuah jam terukir di mata kiri gadis dengan pakaian hitam itu. Jarum kedua mengeluarkan bunyi detak saat membuat rotasi penuh. Lalu, seolah-olah menggemakan ritme itu, jarum menit menekan maju satu langkah dan juga setelah setiap putaran. Jarum jam berputar dengan kecepatan rendah yang sulit dilihat dengan mata telanjang.

Keindahan objek yang bekerja pada akurasi yang tepat, mencapai tingkat yang lebih cemerlang dengan pancaran cahaya.

Gadis bergaun hitam itu berbicara dengan senyum tipis.

“Secara tak sengaja, aku melepaskan tembakan.”

Melepaskan tembakan? Gadis itu memiringkan kepalanya dengan bingung.

“Menjual? Memukul? Tembakan?”[2]

Barusan itu tembakan.

Melihat hati-hati, gadis itu memegang pistol pendek bergaya kuno di tangannya. Melihat ke belakang, meja kopi telah hancur.

“Kamu menembakku!?”

“Tembakan saja.”

Punggung gadis itu lemas. Lalu, gadis bergaun hitam berbicara dengan senyum lebar.

“… Iya, kamu masih hidup. Ya, 'kan,” tanya gadis itu dengan wajah tertegun.

“… Kamu seorang malaikat? Atau iblis?”

“Ketika dikatakan seperti itu, bukankah itu iblis? Kamu harus menafsirkannya seperti itu.”

Iblis itu mendengus dan tersenyum. Tentu, senyum itu tidak memancarkan kehangatan.

“Tidak, menurutku itu adalah malaikat.”

Dihadapkan pada perkataan gadis itu, iblis itu menyipitkan matanya.

Gadis itu melanjutkan.

“… Aku tidak punya nama. Aku hanya Empty. Siapa namamu?”

“… Namaku Kurumi.”

Gadis berbaju hitam, seakan memberikan permohonan, mengucapkan nama itu.

“… Namaku Tokisaki Kurumi.”

“Jadi, Empty jatuh di sisi gang.”

Mata merah scarlet Kurumi, seakan menembus sasaran, menatap gadis yang tak dikenal itu.

“Iya! Jadi, di mana tempat ini, siapa aku, dan kenapa tak ada orang di sini!”

Dihadapkan oleh ekspresi wajah Kurumi yang tak peduli, Empty (biar mudah, itu nama yang lebih sesuai ketimbang nama yang tak bisa dipahami) terus berbicara terus-menerus.

“Bisakah kamu mengajukan pertanyaan satu per satu?”

“Ah——, uh——. Jadi, siapa aku?”

Bahkan ketika dihadapkan dengan tawa cekikikan Kurumi, Empty menolak untuk menyerah.

“Aku sama sekali tak mengenali namamu.”

“Itulah yang kupikirkan!”

“Tapi, aku tahu siapa dirimu.”

“Kamu tak kenal siapa aku, tapi tahu apa aku?”

Empty memiringkan kepalanya dengan tatapan bingung.

Kurumi segera memberi tahunya.

“Aku, juga dirimu. Kita bukan manusia, melainkan eksistensi yang dikenal sebagai Spirit.”

“… Spirit ….”

Spirit, kata yang diucapkan Kurumi.

Biarpun alasannya tak jelas, Empty bisa mengerti kata itu tanpa mengetahui alasannya.

“Kamu, di antara mereka, adalah tipe yang disebut Quasi-Spirit.”

“… Quasi-Spirit?”

“Tak ada kekuatan hebat dari Spirit, tapi tentu saja lebih dari manusia fana, sebuah eksistensi bagai fatamorgana. Walau begitu, karena kamu bukan manusia kamu takkan menderita penyakit, tak kelaparan. Tak ada kecelakaan lalu lintas. Kamu juga bisa terbang di langit. Sejalan dengan itu, kemampuan yang kuat juga bisa digunakan.”

“Serius!?”

Menakjubkan sekali, pantas saja diberi nama Spirit.

“Tapi karena kamu baru saja lahir, itu mustahil bagimu.”

Gakuri ….”[3]

Kurumi terkikik. Tampaknya dia melihat reaksi Empty menyenangkan.

“Selain itu, di sini adalah dunia di mana hanya Spirit yang hidup, tempat di mana dahulu manusia hidup. Surga dan neraka. ——Ini bernama Dunia Tetangga.”

“… Dunia, Tetangga.”

Surga dan neraka, bagi mereka yang pernah menjadi manusia——dunia tempat para Spirit hidup.

“Tentu saja, sulit untuk bertahan hidup di Dunia Tetangga ini. Meskipun kamu tidak harus mati, cukup sulit untuk hidup di sini. Kebetulan saja, tak ada yang akan mengurusmu di sini. Semuanya harus dilakukan hanya mengandalkan diri sendiri dan seterusnya.”

“A-apa ada pengawas …?”

“Sejauh yang kutahu, aku belum pernah bertemu orang dewasa di sini.”

“Lantas … kalau begitu, uhh mungkin. Aku yang tak punya ingatan dan tak punya kerabat ….”

Apakah ini bukan keputusasaan?

Apakah ini bukan neraka?

“Yah, pertanyaan ini sudah selesai. Nah, kalau kamu mau, silakan pergi, aku sangat sibuk.”

“Tapi kamu terlihat bebas.”

“Hanya janji temu saja .… lihat, dia sudah di sini.”

Ingin tahu siapa yang datang, Empty menoleh untuk melihat ke belakang. Tak ada seorang pun di pintu masuk ke atap. Tepat ketika Empty berpikir, sebuah suara mengalir dari atas.

“Orang mana yang memanggilku?”

Suara itu bergema dari langit. Bingung, Empty menatap ke atas, ada seorang gadis berdiri.

Itu adalah gadis bergaun putih dan biru.

Gaya rambutnya kucir dua tajam menyerupai antena serangga. Rok pendeknya berkibar-kibar melawan angin dengan ada sedikit kebencian di matanya. Dan satu hal lagi yang penting, dia melayang di langit.

“Terbang … langit ….”

“Orang yang memanggilmu adalah aku,” balas Kurumi sambil melangkah maju.

“Aku sudah menduganya. Tapi bagaimana dengan anak di sana? Seorang asisten?”

“Tak masalah kalau kamu melepaskannya. Karena dia hanyalah sebuah kekosongan yang baru saja terbentuk.”

Ah, gadis itu mengangguk di udara seakan-akan memahami itu.

“Jadi, kalau begitu kamu yang memanggilku. Apa itu benar?”

“Ya, benar. Inui Yume-san.”

Inui Yume, nama gadis ini, tersenyum penuh percaya diri.

“Aku tidak bermaksud menyeret seseorang yang baru saja berbentuk. Datanglah ke langit.”

“Tentu.”

Tap, Kurumi dengan lembut menendang lantai beton. Hanya dengan tindakan ini saja, tubuhnya mulai mengambang di udara.

“Ah ….”

Empty mau tak mau membocorkan suaranya secara tak sengaja. Melihat itu, Yume mencibir.

“Ekspresi itu seperti anjing yang ditinggalkan.”

“Jelas dia sudah dijinakkan sebelum dibesarkan, tapi kurasa itu tak bisa dihindari untuk anjing yang ditinggalkan.”

Ucapan kejam berlalu sebagai olok-olok.

“Aku masih punya banyak pertanyaan!”

“… Aku tahu. Kalau begitu, mohon tunggu di sini. Aku akan segera kembali.”

“Haah. Eh, apa yang akan kamu lakukan?”

Mendengarkan pertanyaan itu, Kurumi dan Yume keduanya tersenyum. Senyuman, membuat ekspresi wajah sejujur mungkin sambil mereka berdua menyatakan itu.

“Saling membantai.”

Keduanya langsung terbang ke udara layaknya burung.

Empty menekankan kepalanya ke pagar saat dia menyaksikan dengan putus asa——sesuatu menyerupai dua orang yang berhadapan dalam suatu pertandingan dapat dipastikan.

Tokisaki Kurumi dan Inui Yume saling berhadapan.

Untuk sementara, Empty berdiri tercengang, bahunya mendadak gemetaran karena gemuruh yang menggelegar.

Dua orang yang melayang di udara mulai menari di langit.

Namun demikian, itu saja masih dalam kisaran yang diizinkan. Bertemu orang-orang yang bisa terbang di langit di kota yang tak berpenghuni adalah fantasi murni. Tapi yang mereka lakukan adalah——

“Sungguh … saling membunuh ….”

Menembak dengan pistol.

Melonjak menembus langit.

Mencoba menusuk lawan dengan pedang.

Dengan kata lain, tak peduli bahasa bunga apa yang digunakan untuk mengubah ini, itu adalah upaya yang sempurna untuk saling membantai.

 

 

[1] Halo pertama dikatakan dalam bahasa Inggris, Halo kedua dalam bahasa Jepang, Halo ketiga dalam bahasa Cina

[2] Ketiga kata tersebut adalah homonim dalam bahasa Jepang

[3] Onomatopoeia Jepang untuk efek jatuh yang digunakan untuk mengekspresikan syok

Post a Comment

0 Comments