Mahouka Koukou no Rettousei Jilid 1 Bab 1

[1]

“Aku tak bisa menerima itu.”

“Kau masih mempermasalahkan itu …?”

Di pagi hari dua jam sebelum dimulainya upacara masuk SMA Satu.

Hati siswa-siswi baru berdebar kencang karena kegembiraan atas kehidupan baru mereka dan pemandangan masa depan mereka, tetapi tentu saja sedikit yang sesenang keduanya.

Di depan auditorium, yang akan menjadi lokasi upacara masuk, seorang siswa dan seorang siswi, keduanya mengenakan seragam baru, bertengkar.

Keduanya adalah siswa baru, namun seragam mereka sedikit—tetapi jelas—berbeda. Bukan saja bahwa seragam putri memiliki rok dan seragam putra memiliki celana panjang. Emblem SMA Satu, desain yang terdiri dari delapan petal bunga, ada di dada si siswi tersebut. Itu tak ada pada blazer si siswa tersebut.

“Bagaimana mereka bisa menjadikan Onii-sama sebagai pengganti? Kau mendapatkan nilai tertinggi pada ujian masuk! Kau mestinya jadi orang yang mewakili siswa baru, bukan aku!”

“Mengesampingkan pertanyaan dari mana kau mendapatkan nilai ujian masukku … ini adalah SMA Sihir, jadi mereka jelas perlu memprioritaskan kemampuan sihir praktik ketimbang ujian tertulis. Kau sangat menyadari akan kemampuan praktikku, bukan? Aku mungkin hanya mencapai Course 2, tapi aku terkejut aku bisa sampai sejauh ini.”

Si siswi tersebut melampiaskan dengan nada keras, dan rekan laki-lakinya tengah berusaha menenangkannya. Hanya menebak-nebak dari si siswi yang memanggil laki-laki itu kakaknya, mereka mungkin saudara kandung—laki-laki itu lebih tua, dan per­empuan itu lebih muda. Bukan tidak mungkin mereka berhubungan erat.

Namun, jika mereka adalah kakak dan adik ….

… maka mereka tidak terlalu mirip.

Sang adik perempuan itu adalah seorang gadis cantik yang menarik tatapan. Sepuluh dari sepuluh orang, bahkan seratus dari seratus orang, takkan menyangkal bahwa dia cantik. Sang kakak laki-laki, di sisi lain, selain punggungnya yang lurus dan mata yang tajam, tampak sama sekali rata-rata, tanpa ciri-ciri yang menonjol.

“Kenapa kau tak bisa punya ambisi lebih dari itu? Tak ada yang bisa mengalahkanmu dalam hal belajar dan taijutsu! Maksudku, dengan sihir pun, kau—”

Sang adik dengan tegas mencaci maki sang kakak yang lemah semangat, tetapi ….

“Miyuki!”

… dia menyebut nama gadis itu dengan nada suara yang bahkan lebih keras, menyebabkan Miyuki menarik napas dan menutup mulutnya.

“Kita sudah membahas ini sebelumnya. Tak ada gunanya membicarakannya.”

“… Aku menyesal.”

“Miyuki ….” Tatsuya meletakkan tangannya di kepala yang tertunduk. Ketika dia perlahan-lahan membelai rambut adiknya yang lembut, halus, dan panjang, Tatsuya memikirkan (agak menyedihkan) bagaimana membuat gadis itu baikan. “… Aku sangat berterima kasih kau seperti itu. Kau selalu menyelamatkanku dengan marah atas namaku,” ungkapnya.

“Kau berbohong.”

“Tidak.”

“Ya, benar. Yang kaulakukan hanyalah memarahiku ….”

“Aku tidak berbohong! Hanya saja perasaanku padamu sama seperti perasaanmu padaku.”

“Wah … sama, ya …?”

… Apa? Entah kenapa, pipi gadis itu merona merah.

Tatsuya merasa ada semacam pemutusan yang tidak semestinya dia abaikan. Kendati begitu, Tatsuya memutuskan untuk mengesampingkan keraguannya untuk menyelesaikan masalah yang ada.

“Biarpun kau menolak menyampaikan pidato, mereka takkan memilihku. Kau bakal kehilangan muka kalau kau menolak mereka pada saat-saat terakhir. Dan kau sudah tahu itu, bukan? Toh, kau anak yang cerdas.”

“Itu—”

“Dan, Miyuki … aku menantikannya. Aku bangga memilikimu sebagai adikku. Pergilah ke sana dan tunjukkan kakakmu yang tak berguna segalanya.”

“Kau bukan kakak yang tak berguna, atau semacamnya! … Tapi aku mengerti. Aku menyesal atas pemanjaan diriku.”

“Tak ada yang perlu disesali, dan kurasa itu bukan memanjakan diri sama sekali.”

“Aku akan pergi, kalau begitu. Pastikan kau menonton.”

“Iya, kau harus pergi. Aku menantikan acara utamanya.”

Gadis itu membungkuk untuk pamit dan menghilang ke auditorium. Usai melihatnya pergi, laki-laki itu menghela napas pada dirinya sendiri.

Jadi … apa yang mesti kulakukan sekarang? dia telah menemani perwakilan siswa yang tak mau ke sekolah untuk geladi, tetapi kini dia bingung, cemas akan apa yang mesti diperbuat selama dua jam sampai upacara masuk dimulai.

◊ ◊ ◊

Kampus ini memiliki tiga bagian: gedung utama, gedung praktikum, serta gedung laboratorium.

Ada sebuah auditorium/gimnasium yang tata letaknya di dalam secara mekanik dapat diubah. Ada perpustakaan di lantai tiga dan dua lantai basemen. Ada dua gimnasium yang lebih kecil. Ada gedung persiapan yang digunakan untuk ruang ganti, kamar mandi, penyimpanan, dan ruang klub. Ruang makan / kafetaria / area mesin penjual otomatis berada di gedung lain, serta ada berbagai bangunan lain yang besar dan kecil yang mengisi sebidang tanah SMA Satu—lebih mirip kampus perguruan tinggi di pinggiran kota ketimbang sekolah menengah atas.

Tatsuya mencari tempat duduk selagi dia menunggu upacara masuk dimulai, berjalan menyusuri jalan trotoar yang dibuat menyerupai batu bata ketika dia melihat ke depan dan ke belakang.

Para siswa menggunakan kartu identitas untuk mendapatkan akses ke fasilitas sekolah, tetapi takkan dibagikan kepada mereka sampai upacara berakhir. Kafe umum untuk pengunjung pun ditutup hari ini, barangkali untuk menghindari kekacauan.

Sesudah lima menit berjalan berkeliling membandingkan apa yang dilihatnya dengan peta tempat yang ditampilkan di terminal portabelnya, ia menemukan sebuah halaman. Itu di belakang pepohonan yang melapisi jalan, yang diposisikan cukup jauh untuk tidak menghalangi pandangan.

Samar-samar bersyukur hari ini tidak turun hujan, Tatsuya duduk di bangku untuk tiga orang, lalu membuka terminal portabelnya dan mengakses salah satu situs web buku favoritnya.

Halaman ini tampaknya menjadi jalan pintas yang mengarah dari gedung persiapan ke auditorium.

Mungkin jalan yang dibuat untuk mengatur upacara—siswa yang sudah diterima (bagi Tatsuya, kakak kelas) lewat di depannya, meninggalkan sedikit ruang di antara mereka. Pada masing-masing dada kiri siswa adalah emblem delapan petal.

Kejahatan mereka tersebar di belakang mereka sewaktu berjalan pergi.

—Hei, bukankah anak itu Weed?

—Ke sini sepagi ini? … Sangat antusias untuk seorang pengganti.

—Dia cuma cadangan, toh.

Sebuah percakapan yang tak ingin didengarnya mengalir ke telinganya.

Weed adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada siswa Course 2.

Siswa dengan delapan petal di dada kiri blazer hijau mereka disebut Bloom dari desain emblem, dan siswa yang tidak memilikinya disebut Weed—karena mereka tidak akan berkembang menjadi bunga.

Sekolah ini memiliki dua ratus siswa baru. Darinya, seratus akan didaftarkan sebagai siswa yang termasuk dalam Course 2.

SMA Satu, sebuah institusi pendidikan yang terhubung dengan Universitas Sihir Nasional, adalah badan hukum yang dibuat untuk membantu para teknisi sihir. Diwajibkan untuk menunjukkan tingkat hasil tertentu dalam pertukaran untuk dana pemerintah. Kuota sekolah ini—jumlah siswa yang akan disuplai ke Universitas Sihir Nasional, sebuah lembaga pelatihan sihir tingkat lanjut—setidaknya seratus.

Sayangnya, pendidikan sihir cenderung mengalami kecelakaan. Kegagalan sihir, baik dalam latihan atau percobaan, secara langsung berkorelasi dengan kecelakaan yang sama sekali tidak kecil. Para siswa sadar akan bahaya semacam itu—mereka telah mempertaruhkan masa depan mereka sendiri pada bakat sihir dan kemungkinan mereka dalam berjuang untuk menjadi penyihir.

Mereka memiliki bakat langka, dan ketika bakat langka sangat dihargai oleh masyarakat, hanya sedikit yang bisa meninggalkannya. Itu semua lebih tepat ketika mengenai pria dan wanita muda yang belum dewasa secara emosional. Satu-satunya visi masa depan mereka yang tersisa bagi mereka adalah yang spektakuler. Itu sendiri tidak selalu merupakan hal yang buruk, tetapi kebenarannya yaitu lebih dari beberapa anak akan terluka sebagai akibat dari nilai-nilai yang sudah tertanam itu.

Untungnya, kumpulan pemahaman sihir telah menghilangkan kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau cacat fisik.

Akan tetapi faktor psikologis dapat dengan mudah merusak bakat sihir. Sejumlah siswa menarik diri dari sekolah setiap tahun usai trauma akibat kecelakaan membuat mereka tidak dapat menggunakan sihir.

Dan yang menggantikannya adalah siswa Course 2.

Mereka diizinkan mendaftar sebagai siswa, menghadiri kelas, dan memanfaatkan fasilitas serta sumber daya, tetapi mereka tidak memiliki akses ke hal yang paling penting—latihan sihir individu dengan instruktur.

Mereka belajar tanpa bantuan dan menghasilkan hasil semata-mata berdasarkan kemampuan mereka sendiri. Jika mereka tidak bisa melakukan itu, mereka hanya akan memenuhi syarat untuk lulus sebagai siswa pendidikan umum. Tanpa diberikan hak untuk lulus dari sekolah menengah atas sihir, mereka tidak akan bisa melanjutkan ke Universitas Sihir Nasional.

Saat ini, kekurangan kritis dari mereka yang bisa mengajari sihir memaksa mereka untuk memprioritaskan mereka yang berbakat. Siswa Course 2 hanya diizinkan untuk mendaftar terdahulu di bawah alasan bahwa mereka tidak akan diajari.

Secara resmi dilarang menyebut siswa Course 2 itu Weed. Namun, julukan itu telah memantapkan dirinya di antara siswa Course 2 sendiri sebagai istilah merendahkan semipublik. Mereka pun menganggap diri mereka tidak lebih dari suku cadang.

Itu berlaku untuk pemuda ini juga. Jadi, tidak perlu untuk mengingatkannya tentang fakta itu dengan sengaja berbicara buruk tentang dirinya dalam jarak dekat. Ia sepenuhnya menyadari hal itu ketika ia mendaftar.

Aku sungguh tidak meminta pendapatmu, batinnya, mengarahkan perhatiannya ke data buku yang ia unduh ke terminal informasinya.

◊ ◊ ◊

Ada jam yang ditampilkan di terminalnya yang terbuka, dan itu menarik benaknya yang sudah membaca untuk kembali pada kenyataan.

Tiga puluh menit tersisa sampai upacara masuk.

“Apa kau siswa baru? Ini sudah waktu pembukaan.”

Tatsuya keluar dari situs web bukunya yang biasa dan menutup terminalnya, tetapi ketika dia hendak berdiri dari bangku, sebuah suara menuju kepadanya.

Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah rok seragam sekolah. Lalu, gelang lebar di pergelangan tangan kirinya. Itu adalah model CAD terbaru, tetapi secara signifikan lebih tipis dari tipe yang lebih umum, dan dengan mata tertuju pada mode.

CAD—Casting Assistant Device. Bisa juga disebut hanya perangkat atau assistant. Di negara ini, beberapa menggunakan istilah broom (houki), yang selain menjadi aksesori sihir klasik, juga merupakan kependekan dari kata Jepang untuk “operator sihir”.

Itu adalah alat yang sangat diperlukan untuk teknisi sihir modern, menyediakan program aktivasi untuk memicu sihir sebagai pengganti metode dan alat yang lebih tradisional seperti jampi-jampi, guna-guna, mudra, lingkaran sihir, dan buku mantra.

Jampi-jampi untuk menggunakan sihir dengan benar dengan satu kata atau frasa belum dikembangkan. Bahkan ketika menggunakan metode bersama satu sama lain, seperti guna-guna dan lingkaran sihir, sebenarnya merapalkan mantra akan memakan waktu mulai dari sepuluh detik hingga lebih dari satu menit tergantung pada mantranya. CAD mengganti semua itu untuk skema kontrol yang lebih sederhana yang dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu detik.

Walaupun masih bisa melakukan sihir tanpa CAD, tapi CAD telah mempercepat proses perapalan dengan cepat, sampai hampir tiada teknisi sihir yang tidak menggunakannya. Bahkan yang disebut esper, yang dapat menyebabkan fenomena supernatural hanya dengan memikirkannya, cenderung mengorbankan spesialisasi mereka di bidang-bidang tertentu dengan hasil kecepatan dan stabilitas yang ditawarkan oleh sistem rutin aktivasi.

Namun, tidak semua orang bisa menggunakan sihir hanya dengan memiliki CAD. Mereka hanya menyediakan program aktivasi—hanya menjalankan sihir membutuhkan kemampuan si teknisi sihir itu sendiri. Karena itu, CAD tak berguna bagi mereka yang tak bisa menggunakan sihir. Bila kau melihat seseorang yang memilikinya, hampir pasti mereka terlibat dengan sihir.

Dan bila Tatsuya mengingatnya dengan benar, satu-satunya siswa yang diizinkan membawa CAD mereka dengan alasan mereka di sekolah adalah mereka yang ada di OSIS dan anggota komite tertentu.

“Terima kasih. Aku akan segera ke sana.”

Di dada kirinya, tentu saja, emblem delapan petal. Gelombang dadanya yang mendorong blazernya tidak masuk ke pikirannya.

Dia tidak repot-repot menyembunyikan dada kirinya sendiri. Dia tidak begitu munafik—tetapi bukan berarti dia tak merasa rendah diri. Dia mengira siswa teladan yang pantas di OSIS takkan mau begitu proaktif dalam mendekati dia.

“Aku terkesan. Itu jenisnya menggunakan layar, 'kan?”

Tapi rupanya gadis itu tidak memberikan pendapat itu. Dia tersenyum seolah dia menikmati dirinya sendiri, menatap layar film dari terminal informasi portabel trifolding di tangannya.

Sewaktu itulah pemuda itu pun melihat wajahnya. Ketika dia berdiri dari bangku, kepalanya sekitar dua puluh sentimeter di bawahnya. Tingginya 175 sentimeter, sehingga untuk seorang gadis pun, dia lebih pendek. Dia berada di level mata yang sempurna untuk memastikan bahwa dia adalah siswa Course 2.

Tapi sama sekali tak ada sikap merendahkan di matanya—hanya kekaguman murni, bahkan polos.

“Siswa dilarang membawa virtual display terminal di sekolah kita. Sayangnya, itulah tipe yang paling banyak digunakan siswa. Tapi kau telah menggunakan jenis dengan layar bahkan sebelum diterima di sini, ya?”

“Karena, jenis virtual tidak cocok untuk membaca.”

Siapa pun bisa tahu sekilas bahwa terminalnya adalah sesuatu yang dijagoi Tatsuya, jadi dia tidak mengajukan pertanyaan yang tidak perlu sebagai balasan.

Tatsuya telah menjawab dengan apa yang hampir merupakan penjelasan, karena dia pikir terlalu singkat akan berakhir merugikan adik perempuannya lebih dari dirinya sendiri. Dia adalah perwakilan dari para siswa baru, jadi tidak diragukan lagi dia akan dipilih menjadi pengurus OSIS.

Namun, jawaban yang diperhitungkannya hanya memperkuat kekaguman kakak kelas ini.

“Jadi kau lebih suka membaca ketimbang menonton video. Kau jadi semakin tak biasa. Aku menghargai bahan cetakan lebih dari gambar juga, jadi aku agak senang mendengarnya.”

Mereka memang hidup di zaman di mana materi virtual lebih disukai ketimbang teks, tetapi pecinta buku masih jauh dari luar biasa. Gadis itu sepertinya dikuasai oleh kepribadian bersosialisasi yang hampir tidak lazim—bahkan ketika nada suara dan pilihan kata-katanya menjadi semakin lebih informal.

“Ah, aku lupa. Aku ketua OSIS SMA Satu, Saegusa Mayumi. Itu ditulis dengan kanji untuk tujuh dan rumput. Senang berkenalan denganmu!”

Dia juga memberikan kedipan, namun nada suaranya jauh dari misterius. Dengan penampilannya yang cantik dipadukan dengan tubuhnya yang indah (walaupun bertubuh pendek), dia memiliki kesan yang memikat sehingga siswa laki-laki yang baru saja masuk SMA tidak bisa tidak salah paham.

Namun, seusai mendengar dia memperkenalkan dirinya, Tatsuya mendapati dirinya ingin cemberut.

Salah Satu dari Number … dan Saegusa?

Kemampuan penyihir bervariasi secara liar berdasarkan pembawaan genetik. Keluarga asalmu sangat penting dalam kemampuan sebagai penyihir. Dan di negara ini, sudah biasa bagi keluarga yang memiliki darah luar biasa untuk sihir memiliki angka dalam nama keluarga mereka.

Number adalah garis keturunan penyihir yang memiliki kecenderungan genetik unggul, dan keluarga Saegusa, dengan karakter tujuh di namanya, adalah salah satu dari dua di Jepang saat ini dianggap sebagai yang paling kuat. Dan gadis yang kemungkinan besar merupakan bagian dari garis keturunan langsung ini adalah ketua OSIS sekolah ini.

Dengan kata lain, dia adalah elite di kalangan elite. Mungkin tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa mereka saling bertentangan. Dia menekan desisan pahit, entah bagaimana menjaga senyum ramah saat dia memperkenalkan dirinya.

“Aku—ahem. Namaku Shiba Tatsuya.”

“Shiba Tatsuya-kun … ah, jadi kau Shiba-kun yang itu ….” Matanya membelalak karena terkejut. Lalu dia mengangguk dengan penuh arti.

Yah, bagaimanapun juga, mungkin maksudnya “itu” yang hampir putus sekolah karena tak bisa menggunakan sihir, walau sebagai kakak dari siswa baru, Shiba Miyuki. Dia memilih untuk tetap diam dengan sopan.

“Rumor soal kau adalah pembicaraan para guru, lho.” Mayumi terkikik, tidak tampak terganggu oleh keheningan Tatsuya.

Dia menduga rumor itu karena betapa berbedanya dia dan adik perempuannya. Anehnya, Tatsuya tidak merasakan emosi negatif semacam itu darinya. Cekikikannya tidak menunjukkan nuansa cemoohan. Senyumnya hanya menyampaikan optimisme ramah yang positif.

“Rata-ratamu di semua tujuh mata pelajaran pada ujian penerimaan adalah 96 dari 100. Yang menonjol adalah teori sihir dan teknik sihir. Nilai rata-rata pada kedua mata pelajaran untuk mereka yang lulus bahkan tidak mencapai 70, tapi kau mencetak skor sempurna pada keduanya, termasuk bagian esai. Mereka bilang bahwa nilai setinggi itu belum pernah terjadi.”

Itu sungguh terdengar seperti pujian yang jujur, tetapi Tatsuya memutuskan dia hanya membayangkannya, karena, setelah semua—

“Itu nilai-nilaiku dalam ujian tertulis. Itu hanya mengikuti sistem informasi.”

Nilai seorang siswa SMA Sihir tidak didasarkan pada nilai ujiannya tetapi pada nilai kemampuan praktiknya. Tatsuya menunjukkan dada kirinya dengan senyum sedih tapi ramah. Tidak mungkin ketua OSIS takkan tahu maksud Tatsuya.

Namun sebagai tanggapan, Mayumi tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

Bukan mengangguk—tetapi menggeleng.

“Paling tidak, aku takkan bisa meniru nilai luar biasa seperti itu. Aku mendapatkan nilai yang sangat tinggi pada mata pelajaran teoretis, tapi kurasa aku tak bisa mendapatkan nilai luar biasa yang kauperbuat pada ujian, walaupun aku mendapatkan pertanyaan yang sama sepertimu!”

“Sudah waktunya, jadi … mohon permisi dulu,” ujar Tatsuya kepada Mayumi, yang masih terlihat ingin mengatakan sesuatu. Tatsuya berbalik darinya tanpa menunggu jawaban.

Di suatu tempat di benaknya, dia takut senyumnya, dan takut gadis itu terus berbicara dengannya seperti ini.

Tapi dia tak tahu alasannya.

◊ ◊ ◊

Karena Tatsuya telah menghabiskan waktu berbicara dengan ketua OSIS, lebih dari setengah kursi di auditorium sudah terisi ketika dia masuk.

Tempat duduk umumnya tidak ditentukan—siswa bebas untuk duduk di barisan depan, barisan belakang, tepat di tengah, di samping, atau di mana pun mereka mau.

Di zaman modern pun, sekolah mengikuti tradisi lama dalam mengumumkan siapa yang berada di kelas apa sebelum upacara penerimaan siswa, lalu menempatkan siswa berdasarkan kelas. Namun di sekolah ini, kau takkan mengetahui kelas apa yang dimasuki sampai diberikan kartu identitas.

Karena itu, ruangan tersebut tidak secara alami dibagi berdasarkan kelas.

Namun, ada aturan yang jelas yang mengatur distribusi siswa baru.

Setengah bagian depan adalah untuk Bloom—siswa Course 1. Para siswa dengan emblem delapan petal di dada kiri mereka. Siswa baru yang dapat menikmati kurikulum lengkap yang ditawarkan sekolah.

Bagian belakang adalah untuk Weed—siswa Course 2. Para siswa dengan kain tanpa hiasan di saku di dada kiri mereka. Siswa-siswi baru yang telah diizinkan untuk mendaftar dan yang akan diperlakukan sebagai pengganti.

Semua siswa mungkin adalah siswa baru yang mulai sekolah hari ini, tetapi mereka terbagi rata antara depan dan belakang berdasarkan keberadaan emblem itu—terlepas dari kenyataan bahwa tak ada yang memaksa mereka untuk melakukannya.

Kutebak mereka yang merasakan diskriminasi paling kuat adalah mereka yang menerima ….

Itu tentu saja semacam kebijaksanaan untuk dijalani. Dia merasa tak berani menentangnya, jadi dia menemukan kursi kosong di dekat tengah di bagian belakang ruangan dan duduk.

Dia melirik jam di dinding. Dua puluh menit lagi.

Komunikasi dibatasi di dalam auditorium, jadi dia tak bisa mengakses situs literaturnya. Dia telah membaca semua data yang disimpan ke terminalnya berkali-kali, dan mengeluarkan terminalnya di tempat seperti ini akan menjadi pelanggaran etiket.

Dia mencoba membayangkan adiknya, yang mungkin sedang melakukan latihan terakhirnya … dan sedikit menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin Miyuki akan berjuang tepat sebelum acara.

Pada akhirnya, tanpa ada yang bisa dilakukan, Tatsuya masuk lebih dalam ke kursi tanpa bantal dan menutup matanya.

Dia akan membiarkan dirinya tertidur seperti itu ketika seseorang memanggilnya.

“Maaf, apa kursi ini kosong?”

Dia membuka matanya untuk memeriksa, dan tentu saja, itu diarahkan padanya. Seperti yang disiratkan suaranya, itu adalah seorang siswi.

“Ya, duduklah.”

Tatsuya sedikit ragu tentang mengapa gadis itu ingin duduk di sebelah siswa yang belum pernah dia temui ketika ada banyak kursi lain yang tersisa. Kursi-kursi itu sendiri cukup lapang, mengesampingkan betapa nyamannya mereka, dan gadis yang dimaksud memiliki tubuh yang kecil (catatan: perihal lebar, tidak begitu lebar), sehingga takkan merepotkan Tatsuya sama sekali bila dia harus duduk di sebelahnya. Sebenarnya, itu adalah kesepakatan yang lebih baik ketimbang orang berotot dan berkeringat yang tinggal di sana.

Dengan pemikiran itu, Tatsuya mengangguk dengan ramah. Gadis itu menundukkan kepalanya, mengucapkan terima kasih, dan duduk. Tiga gadis lagi masuk satu per satu dan duduk di sebelahnya.

Begitu ya, batin Tatsuya, meyakinkan. Sepertinya mereka berempat mencari tempat di mana mereka semua bisa duduk bersama.

Apa mereka ini teman? Tampak tidak biasa bahwa mereka berempat bakal lulus ujian untuk masuk ke sekolah yang sulit ini, dan mereka semua akan menjadi siswa Course 2, batin Tatsuya. Dia merasa takkan aneh jika setidaknya salah satu dari mereka memiliki nilai yang lebih baik. —Walaupun tidak terlalu penting untuk dirinya.

Dia tak punya minat lebih lanjut tentang sesama siswa baru yang secara kebetulan duduk di sebelahnya, jadi dia mengalihkan pandangannya ke depan. Tapi gadis itu memanggilnya sekali lagi.

“Permisi ….”

Apa? Gadis itu jelas bukan seseorang yang dikenalnya, dan bukan karena siku atau kakinya yang menghalangi. Tatsuya tak ingin menyombongkan diri, tetapi dia memiliki postur yang baik. Rasanya dia tidak melakukan apa pun untuk menuntut keberatan. Dia menundukkan kepalanya dengan bingung.

“Namaku Shibata Mizuki. Senang bertemu denganmu,” datang pengenalan diri yang tak terduga. Nada dan penampilannya malu-malu. Tatsuya tahu kau tak bisa menilai buku dari sampulnya, tapi sepertinya gadis itu bukan tipe yang menarik diri pada orang lain—jadi Tatsuya memutuskan gadis itu mungkin memaksakan diri. Mungkin seseorang menaruh ide bodoh di kepalanya. Seperti Course 2, siswa-siswi perlu saling membantu, karena kita sudah punya kekurangan, atau sesuatu seperti itu.

“Shiba Tatsuya. Senang bertemu denganmu juga,” jawabnya, dengan sikap paling ramah yang bisa dikerahkannya. Ekspresi kelegaan melewati matanya di balik lensa besarnya.

Gadis-gadis yang memakai kacamata cukup tidak biasa di zaman sekarang ini.

Sebagai akibat dari proliferasi dari terapi ortoptik yang dimulai sekitar pertengahan abad ke-21, kondisi miopia dengan cepat menjadi sesuatu dari masa lalu. Selama tidak punya kelainan bawaan yang cukup parah dalam penglihatan, kau tidak perlu alat memperbaiki penglihatan. Dan jika penglihatanmu memang perlu diperbaiki, lensa kontak yang bisa kaupakai selama bertahun-tahun tanpa menyebabkan kerusakan fisik juga sudah tersedia.

Alasan untuk benar-benar memakai kacamata datang ke preferensi sederhana, alasan mode, atau …

… kepekaan radiasi pushion.

Hanya dengan memutar sedikit, Tatsuya bisa tahu bahwa lensa gadis itu tidak miring. Paling tidak, dia tidak mengenakannya untuk memperbaiki penglihatannya. Dan dari kesan yang diperolehnya, dia mungkin tidak menyukainya karena nilai modenya—dia lantas mengira gadis itu memakainya karena semacam kebutuhan.

Kepekaan radiasi pushion adalah kecenderungan, suatu kondisi di mana kau melihat terlalu banyak. Orang dengan itu bisa melihat emisi pushion tanpa berusaha, dan mereka tidak dapat berkonsentrasi dan menghilangkannya. Itu adalah jenis kegagalan kontrol persepsi. Tapi itu bukan penyakit, juga bukan halangan.

Indra orang itu terlalu tajam.

Pushion (partikel spirit) dan psion (partikel pikiran) ….

Keduanya ialah fenomena metapsikologis—seperti halnya sihir itu sendiri. Mereka adalah partikel yang dapat diamati yang tidak termasuk dalam kategori fermion, partikel yang dibangun dari materi, atau boson, yang menciptakan aksi timbal balik antara materi. Mereka adalah partikel nonfisik. Ilmu pengetahuan saat ini percaya bahwa psion adalah partikel yang membentuk kehendak dan pemikiran, sementara pushion membentuk emosi yang diciptakan oleh kehendak dan pikiran.

Meskipun sayangnya, itu semua berada pada tahap hipotetis.

Biasanya, psion adalah partikel yang digunakan dalam sihir, dan teknik sistematis sihir modern menekankan pada pengendaliannya. Penyihir memulai dengan mempelajari teknik manipulasi psion.

Cahaya dari emisi pushion memengaruhi emosi mereka yang melihatnya. Satu teori mengatakan itu sebabnya pushion adalah partikel yang membentuk emosi. Karena itu, kepekaan radiasi pushion cenderung mudah mengganggu keseimbangan mental.

Metode pencegahan ini, pada dasarnya, mengendalikan kepekaan terhadap pushion, tetapi mereka yang tak bisa melakukannya dibantu oleh cara ilmiah alternatif. Salah satu cara itu adalah memakai kacamata dengan lensa khusus yang disebut lensa lapisan aura.

Kepekaan radiasi pushion sebenarnya bukanlah kondisi yang tidak biasa bagi seorang penyihir. Kepekaan terhadap pushion dan kepekaan terhadap psion umumnya berkorelasi positif, sehingga Tatsuya berpikir bahwa kepekaan ekstrem untuk radiasi pushion itu hanya sesuatu yang banyak penyihir—yang secara sadar mengendalikan psion—perlu ditangani.

Namun gejala pada tingkat di mana seseorang perlu memblokir radiasi pushion dengan kacamata setiap saat memang tak biasa. Takkan jadi masalah bila kemampuan normal untuk mengendalikannya itu kurang, tetapi jika itu karena kepekaan yang sangat kuat, maka akan menyusahkan Tatsuya.

Ini mungkin terbalik untuk gadis itu.

Tatsuya telah menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri.

Sebuah rahasia yang, bila disaksikan secara normal, takkan bisa dipahami. Dia tak perlu khawatir soal itu terlihat—tetapi jika gadis itu memiliki mata khusus yang bisa merasakan pushion dan psion dalam cara yang sama seperti cahaya tampak, dia mungkin melihat secara kebetulan tiba-tiba.

—Tatsuya mungkin perlu bertindak dengan lebih hati-hati daripada biasanya saat berada di sekitarnya.

“Aku Chiba Erika. Salam kenal ya, Shiba-kun!”

“Aku juga.”

Pikirannya terganggu oleh suara gadis yang duduk di sebelah Mizuki.

Tetapi gangguan itu juga melegakan. Dia menatap Mizuki tanpa sadar setiap saat. Mizuki tampak seperti akan terbakar karena rasa malu, tapi Tatsuya tak menyadarinya.

“Tapi ini kebetulan yang lucu, ya?” Tidak seperti temannya, yang ini sepertinya tidak pemalu atau takut pada orang asing. Rambut pendeknya, warna rambutnya yang cerah, dan wajahnya yang anggun memperkuat kesan dirinya sebagai orang yang energik dan bersemangat.

“Apa?”

“Maksudku, kita punya Shiba, Shibata, dan Chiba, 'kan? Ini seperti pelesetan? Maksudku, tidak persis, tapi tetap saja.”

“… Aku mengerti.”

Tentu saja itu bukan pelesetan, tapi dia mengerti apa yang coba dikatakan gadis itu.

Walau begitu, Chiba … yang berarti “seribu daun”. Satu lagi dari Number? Kurasa tak ada seorang gadis bernama Erika di dalam keluarga Chiba, tapi mungkin dia ini dari keluarga cabang ….

Ketika Tatsuya merenungkan hal itu, para gadis berbicara tentang bagaimana dia benar, dan bagaimana itu lucu. Tawa mereka agak aneh di sini, tetapi itu tidak cukup untuk menarik tatapan dingin.

Setelah dua gadis yang tersisa di seberang Erika memperkenalkan diri, Tatsuya mendapati dirinya ingin memanjakan keingintahuannya yang sepele. “Kalian berempat pergi ke SMP yang sama?”

Namun, jawaban Erika tak terduga. “Tidak, kami semua baru bertemu barusan.” Dia terkikik, seolah-olah ekspresi terkejut Tatsuya itu lucu, dan terus menjelaskan. “Aku tidak yakin ke mana harus pergi, jadi aku mengadakan kontes menatap dengan papan petunjuk arah. Lalu Mizuki mendatangiku dan kami mulai berbicara.”

“… Papan petunjuk arah?”

Tapi aneh, batin Tatsuya. Semua informasi untuk upacara masuk, termasuk di mana itu akan terjadi, telah dibagikan kepada setiap siswa baru. Kalau menggunakan LPS (Local Positioning System—sistem penentuan posisi lokal) yang standar pada terminal portabel, lantas biarpun belum melihat arah ke upacara dan biarpun tidak mengingat apa pun, kau takkan tersesat.

“Kami bertiga tidak membawa terminal kami, lho ….”

“Yah, katanya di brosur penerimaan bahwa jenis virtual tidak diperbolehkan!”

“Aku nyaris tidak sampai, dan aku tak ingin ada orang yang menatapku selama upacara, tahu?”

“Aku hanya melupakan terminalku.”

“Jadi, itulah yang terjadi ….”

Jujur, Tatsuya tidak yakin. Ini adalah upacara masukmu sendiri, jadi setidaknya kau bisa memastikan kau tahu di mana itu terjadi. Itu adalah pikiran jujurnya, tetapi dia tidak menyuarakannya.

Tidak perlu menciptakan perselisihan yang tidak berarti, batinnya bijaksana.

◊ ◊ ◊

Pidato Miyuki, seperti yang diperkirakan, fantastis. Tatsuya tidak mempunyai keyakinan sedikit pun bahwa adiknya akan tersandung pada sesuatu yang tidak sepenting ini.

Itu berisi beberapa ungkapan yang cukup berisiko, seperti “semua orang sama”, “disatukan sebagai satu”, “bahkan sihir di luar”, dan “utuh”, tapi dia membungkusnya dengan baik. Dia tidak merasa sedikit pun menuduh tentang hal itu.

Sikapnya sopan, tetapi juga segar dan sederhana. Itu berjalan baik dengan kecantikannya yang tidak biasa, dan dia mencuri hati semua anak laki-laki, baik siswa baru maupun senior.

Pasti akan meriah di sekitarnya mulai besok.

Tetapi juga akan sama seperti biasanya.

Karena satu dan lain alasan, kesukaan Tatsuya terhadap Miyuki sudah cukup untuk disebut sister complex jika dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat. Dia ingin segera memberi selamat kepadanya, tetapi sayangnya, waktu pascaupacara digunakan untuk mendistribusikan kartu identitas.

Mereka sebelumnya belum membuat kartu untuk semua orang. Malahan, mereka akan membawa identifikasi normal mereka di sana, dan data sekolah mereka akan ditulis ke kartu di tempat. Prosesnya dapat diselesaikan di salah satu windows, tetapi itu, seperti tempat duduk di auditorium, menciptakan tembok alami.

Miyuki mungkin—tidak, pasti—mengabaikan bagian itu, tetapi sebagai perwakilan dari siswa baru yang masuk, dia sudah diberi kartu. Dan sekarang ada banyak tamu dan anggota OSIS berkerumun di sekelilingnya.

“Shiba-kun, kau di kelas berapa?” tanya Erika padanya, tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Mereka semua pindah ke windows sebagai sebuah grup, dengan Tatsuya menerima kartu identitasnya terakhir. (Dengan kata lain, dia berpura-pura peduli tentang hal “wanita pertama”.)

“Kelas E.”

“Woah! Kita di kelas yang sama!” Dia melompat kegirangan pada tanggapannya. Itu sedikit berlebihan, tapi ….

“Aku juga di kelas yang sama.” Mizuki juga tampak bersemangat, tapi dia tidak melakukan gerakan berlebihan yang sama. Mungkin ini normal untuk siswa SMA baru.

“Aku di kelas F.”

“Aku masuk kelas G, ya?”

Tapi itu bukannya respons ringan dari dua orang lainnya yang kurang antusias. Bagian yang penting yaitu mereka bersemangat dari acara ini—memasuki SMA.

Sekolah ini memiliki delapan kelas per tingkat, dan dua puluh lima siswa per kelas. Dan sampai sana, itu sama.

Namun, para Weed, yang tidak diantisipasi untuk berkembang, ditempatkan di kelas E sampai H—terpisah dari “rumah kaca” di mana Bloom akan ditempatkan, karena mereka diharapkan untuk berkembang menjadi bunga besar.

Mereka lalu berpisah dengan dua siswi yang berakhir di kelas lain. Mereka tampaknya akan menuju homeroom masing-masing. Homeroom-nya berbeda hanya karena mereka terbagi antara A sampai D dan E sampai H, tapi itu tampaknya tidak meredam kegembiraan mereka sama sekali.

Bukannya seolah-olah setiap siswa Course 2 digantung. Ada banyak anak yang berpikir, Wow, aku berhasil masuk ke sekolah elite yang juga sedikit di luar jangkauanku. Sekolah itu dinilai sebagai salah satu yang terbaik di negeri ini bahkan untuk mata pelajaran selain sihir. Mereka berdua mungkin sudah mencari teman di kelas mereka yang akan mereka habiskan sampai tahun depan.

“Apa yang ingin kaulakukan? Haruskah kita mampir ke ruang kelas kita juga?” tanya Erika, menatap muka Tatsuya. Mizuki tidak bertanya, mungkin karena dia juga menatapnya.

Selain sekolah yang mempertahankan tradisi lama, SMA-SMA tidak menggunakan guru homeroom hari ini. Mereka tidak membutuhkan orang untuk memanggil siswa ke kantor—dan kemewahan membuang biaya personel untuk hal seperti itu jarang terjadi. Semuanya ditangani oleh komunikasi antara terminal yang terhubung ke jaringan sekolah.

Norma selama beberapa dekade kini adalah memberi setiap siswa terminal pribadi untuk digunakan di sekolah. Terminal informasi ini bahkan digunakan untuk pengajaran pribadi, asalkan bukan untuk pelatihan keterampilan atau kegiatan skala besar lainnya. Jika seorang siswa membutuhkan perawatan lebih lanjut, sekolah selalu memiliki beberapa konselor profesional yang memenuhi syarat dari berbagai bidang keahlian staf.

Alasan bahwa homeroom itu sendiri diperlukan adalah karena nyaman untuk latihan dan eksperimen. Mereka perlu melestarikan sejumlah orang tertentu sehingga praktik dan laboratorium akan berakhir tepat waktu dan tanpa waktu tambahan. Meski masih muncul kelebihan setiap hari …. Plus, memiliki terminal sendiri juga sangat nyaman karena berbagai alasan.

Tidak peduli seperti apa pemandangan itu—menghabiskan waktu lama di satu ruangan berarti kau akan memperdalam pertukaran dengan orang lain. Penghapusan homeroom sebenarnya cenderung memperkuat hubungan antar-siswa.

Bagaimanapun, pergi ke kelas akan menjadi pilihan tercepat jika mereka ingin mendapatkan teman baru. Tatsuya, bagaimanapun, menggelengkan kepalanya atas permintaan Erika.

“Maaf. Aku harus bertemu dengan adikku.”

Dia tahu takkan ada kelas atau pengumuman hari ini. Dia telah berjanji pada Miyuki untuk pulang dengan dia tepat setelah Tatsuya selesai dengan formalitas Miyuki.

“Wow … dia pasti sangat cantik kalau dia adikmu, Shiba-kun, ya?” seru Erika. Kedengarannya seperti terkesan dan pertanyaan, dan meninggalkannya tanpa cukup tahu cara menjawabnya. Apa yang dia maksud dengan “kalau dia adikmu”? batinnya. Dia merasa kesimpulan Erika tidak mengikuti logikanya.

Untungnya, tak ada alasan untuk memaksa dirinya untuk menjawab, karena Mizuki mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar. “Seorang adik perempuan …. Mungkinkah dia Shiba Miyuki, perwakilan siswa baru?”

Kali ini, dia tidak perlu cemas. Dia menjawab pertanyaan itu dengan satu anggukan untuk menyiratkan penegasan.

“Tunggu, sungguh? Kalian kembar?” tanya Erika.

Itu adalah pertanyaan yang bisa dimengerti, dan Tatsuya cukup terbiasa. “Kami sering ditanya begitu, tapi kami bukan kembar. Aku lahir pada bulan April, dan dia lahir pada bulan Maret. Jika aku dilahirkan sebulan sebelumnya, atau adikku sebulan kemudian, kami tidak akan berada di kelas yang sama.”

“Huh …. Kedengarannya agak rumit.”

Memang rumit berada di kelas yang sama dengan adiknya—seorang siswa teladan—tetapi Erika tidak bermaksud jahat dengan pertanyaan itu.

Tatsuya tersenyum dan melewatinya. “Tapi aku kaget kau tahu itu. Shiba bukan nama keluarga yang tidak biasa.”

Kedua gadis itu tersenyum kecil mendengar jawabannya. Namun, ada perbedaan mencolok dalam naungan di antara mereka.

“Tidak, tidak, ini sangat tidak biasa!” Erika tersenyum menyakitkan.

“Muka kalian mirip ….” Mizuki, bagaimanapun, tersenyum dengan cara yang tenang dan tidak aman.

“Masa?” Tatsuya hanya sedikit bingung. Itu mungkin mengindikasikan bahwa kata-kata Mizuki berasal dari dasar yang sama dengan kata-kata Erika, tetapi Tatsuya tidak merasa itu benar.

Atau lebih tepatnya, dia tak bisa memercayainya.

Biarpun dia melepaskan dirinya dari cahaya yang menguntungkan yang dia berikan padanya sebagai anggota keluarga, Miyuki adalah seorang gadis cantik yang tidak biasa. Bahkan tanpa kemampuannya yang terlalu tinggi, dia tidak bisa tidak menarik perhatian ke mana pun dia pergi. Dia adalah idola yang dilahirkan secara alami—bukan, seorang bintang.

Ketika Tatsuya menatapnya, Tatsuya selalu teringat pepatah bahwa Tuhan tidak pernah memberikan karunia kepada orang—dan berapa banyak kebohongan itu.

Pengukuran harga diri Tatsuya sendiri, saat mencermin, sedikit di atas rata-rata, atau mungkin di zona menengah ke atas.

Selama SMP, dia akan melihat adiknya mendapatkan surat-surat cinta hampir setiap hari (meskipun Tatsuya melihatnya lebih sebagai surat penggemar daripada yang lainnya). Tapi dia belum pernah menerima hal seperti itu sekali pun. Mereka mestinya berbagi kode genetik yang sama—yah, sebagian saja—tapi itu tidak menghentikan Tatsuya untuk meragukan hubungan darah mereka berkali-kali.

Namun, Erika mengangguk siap atas tanggapan Tatsuya—atau lebih tepatnya apa yang dikatakan Mizuki. “Setelah kau menyebutkannya …. Ya, mereka memang mirip! Maksudku, Shiba sendiri yang imut. Dan bukan penampilan wajahnya saja. Seperti, atmosfer di sekitarnya, atau sesuatu.”

“Imut? Sudah berapa dekade istilah itu sudah ketinggalan zaman …? Selain itu, kalau kau mengabaikan muka kami, kami tidak terlihat sama, bukan?”

Apa yang dikatakan Erika mungkin tidak intuitif dan sedikit sulit dimengerti, tetapi tampaknya dia tidak berusaha mengatakan bahwa muka mereka mirip. Begitulah cara Tatsuya menerjemahkannya, setidaknya, itulah sebabnya ia tidak bisa tidak melakukan balasan itu.

“Bukan itu. Itu seperti … bagaimana aku mengatakannya …?” Erika sendiri tampaknya tidak bisa mengekspresikannya dengan baik. Dia mungkin berdiri di sana sambil mengerang seandainya Mizuki tidak menyelamatkannya.

“Itu auramu. Itu membuat ekspresimu tampak sangat bermartabat. Itu yang kuharapkan dari saudara kandung.”

“Itu dia! Auramu!” Kepala Erika terangkat ke atas dan ke bawah dengan kuat dan dia hampir menampar lututnya.

Sekarang giliran Tatsuya untuk memberinya senyum kering. “Chiba-san … kau ini cerewet, ya?”

“Cerewet?” Dengan cara yang khas, dia hanya setengah mendengarkan teriakannya, “Sungguh kasar!” Dari nada suaranya, Erika juga tidak terdengar terganggu.

“Tetap saja, Shibata-san, kau pandai membaca aura dalam ekspresi orang-orang … kau sungguh punya mata yang bagus.” Kata-kata itu, di sisi lain, diucapkan dengan penuh arti.

“Huh? Tapi Mizuki memakai kacamata,” ungkap Erika keras-keras.

“Bukan itu maksudku. Selain itu, lensanya sama sekali tidak melengkung, 'kan?”

Bingung, Erika mengintip kacamata Mizuki. Di sisi lain dari lensanya, matanya terpaku karena terkejut.

Apa dia terkejut seseorang memperhatikannya, atau kecewa karena dia tidak menyembunyikannya? Apa pun itu, Tatsuya tidak menganggap itu sebagai masalah besar sama sekali.

Tatsuya tidak punya kesempatan untuk menyelidiki mengapa gadis itu membuat wajah seperti itu. Tatsuya kehabisan waktu, dan itu mungkin satu-satunya alasan percakapan berakhir dengan nada yang baik.

◊ ◊ ◊

“Maaf, aku membuat Onii-sama menunggu.”

Ketika Tatsuya dan yang lainnya bercakap-cakap di sudut dekat pintu keluar auditorium, dia mendengar suara yang ditunggu dari belakang mereka.

Miyuki telah keluar dari kerumunan di sekitarnya.

Itu cepat adalah pikiran pertamanya, tetapi dia mengoreksi dirinya sendiri—mengingat temperamennya, mungkin itu saat yang tepat.

Miyuki jauh dari nonsosial, tetapi keributannya terhadap pujian dan kebaikan tidak dapat disangkal. Itu tidak seperti anak kecil, tapi dia pasti tidak pernah terhindar dari pujian ketika dia masih kecil. Namun, sebagai gantinya, dia memiliki banyak hal semu, dicampur dengan rasa iri dan gosip.

Berpikir dari sudut pandang itu, tentu saja Miyuki akan terbiasa dibanggakan. Tatsuya akan mengatakan bahwa Miyuki sudah mengalami sedikit hari ini.

Dia berencana untuk berbalik dan berkomentar, “Itu cepat”, dan sambil dia berhasil mengucapkan kata-kata itu, intonasinya berakhir menjadi agak interogatif, karena ada seseorang dengan Miyuki yang tidak dia harapkan.

“Halo, Shiba-kun. Kita bertemu lagi.”

Tatsuya membungkuk dengan tenang pada senyum ramahnya; kata-katanya sepertinya berusaha untuk memperbaiki keadaan dengannya. Meskipun tanggapannya kurang ramah, ketua OSIS, Saegusa Mayumi, tetap tersenyum. Mungkin itu adalah wajah seriusnya, atau mungkin dia merasa nyaman di wilayahnya sendiri. Tatsuya baru saja bertemu dengannya, jadi dia tidak bisa mengatakan apa-apa.

Namun adiknya tampaknya lebih tertarik pada gadis-gadis yang berbicara di sebelahnya (?) daripada pada jawaban anehnya kepada ketua OSIS.

“Onii-sama, siapa orang-orang ini …?”

Sebelum menjelaskan mengapa Miyuki tidak sendirian, dia meminta Tatsuya untuk menjelaskan mengapa Tatsuya tidak sendirian. Rasanya agak mendadak, tapi tak ada alasan untuk menyembunyikannya. Dia menjawab tanpa berhenti berdetak. “Ini Shibata Mizuki-san. Dan ini Chiba Erika-san. Kami di kelas yang sama.”

“Begitu … Sudah berkencan dengan teman-teman sekelasmu?” tanyanya, berwajah manis dan memiringkan kepala. Ekspresinya berkata Dan aku jelas tidak bermaksud apa-apa dengan itu. Senyum anggun itu ada di bibirnya—tetapi matanya tidak tersenyum.

Astaga, batin Tatsuya. Dia telah berada di bawah api terkonsentrasi dari sanjungan tidak menyenangkan semenjak upacara berakhir, dan sepertinya dia telah mengumpulkan cukup banyak tekanan.

“Tentu saja tidak, Miyuki … aku hanya berbicara dengan mereka sambil menunggumu. Mengatakan itu tidak sopan buat mereka, tahu.”

Secara pribadi, Tatsuya pikir wajah merajuknya juga manis, tapi tidak menyebut diri ketika diperkenalkan kepada seseorang tidak akan terlihat baik di depan kakak kelas dan siswa baru lainnya. Tatsuya membiarkan rentetan kritik merayap ke matanya. Miyuki tampak terkejut, lalu memberikan senyum yang jauh lebih anggun.

“Senang bertemu kalian, Shibata-san, Chiba-san. Aku Shiba Miyuki. Aku juga siswa baru di sini, jadi aku berharap bisa akrab dengan kalian seperti Onii-sama.”

“Aku Shibata Mizuki. Senang bertemu denganmu juga.”

“Salam kenal. Kau bisa memanggilku Erika. Bolehkah aku memanggilmu Miyuki juga?”

“Ya, boleh saja. Toh, menggunakan nama keluargaku akan sulit untuk membedakan antara Onii-sama dan aku.”

Ketiga gadis itu bertukar perkenalan lagi.

Perkenalan Miyuki dan Mizuki cocok untuk pertemuan pertama. Tapi Erika, di sisi lain, sudah bersikap sangat ramah padanya (untuk membuatnya lebih baik). Tetapi, Tatsuya adalah orang yang mendapati dirinya ragu-ragu pada bahasa ramahnya. Miyuki malah mengangguk, tidak menunjukkan rasa tidak suka untuk nada akrabnya dan sikap yang sedikit lebih ramah.

“Ah-ha, Miyuki, kau tampaknya mudah bergaul, walau itu dilihat dari penampilan luarmu!”

“Dan kau sepertinya punya kepribadian yang sangat terbuka. Senang bertemu denganmu, Erika.”

Miyuki, yang muak dengan segala sanjungan dan kebaikan, mungkin lebih menghargai sikap jujur Erika daripada yang seharusnya. Tampaknya ada sesuatu yang lebih dari itu dikomunikasikan di antara mereka. Mereka bertukar senyum jujur dan tulus.

Tatsuya hanya merasa ditinggalkan, namun mereka tidak bisa terus berdiri di sini. Mereka bersama rombongan ketua OSIS yang datang bersama adiknya, sehingga mereka tidak akan dianggap sebagai gangguan, tetapi melakukan ini lebih lama akan membuat mereka menjadi penghalang lalu lintas.

“Miyuki. Apa urusanmu sudah selesai dengan OSIS? Kalau belum, maka mungkin kita seharusnya tidak berdiri saja.”

“Ya, benar.” Orang lain menjawab pertanyaan dan sarannya. “Kita baru saja bertemu hari ini. Miyuki-san—bolehkah aku juga memanggilmu begitu?” ucap Mayumi.

“Oh, ya.” Miyuki mengubah senyum tulusnya menjadi ekspresi patuh dan mengangguk.

“Kalau begitu, Miyuki-san, kita akan membahas detailnya lebih lanjut di lain hari.”

Mayumi membungkuk sedikit sambil tersenyum dan pergi meninggalkan auditorium. Tetapi siswa laki-laki yang telah menunggu tepat di belakangnya memanggilnya. Di dadanya, seperti yang diduga, ada lambang delapan petal.

“Tapi, Ketua, rencana kita—”

“Kita tidak menjanjikan apa pun sebelumnya. Kalau dia memiliki rencananya sendiri, kita harus memprioritaskan itu, 'kan?”

Mengontrol siswa yang menunjukkan tanda-tanda tidak mundur, dengan matanya, Mayumi menampakkan senyum bermakna kepada Miyuki dan Tatsuya.

“Kalau begitu aku akan pergi, Miyuki-san. Shiba-kun—waktu lain, kuharap.”

Mayumi membungkuk untuk kedua kalinya dan pergi. Siswa yang mengikutinya berbalik dan menatap Tatsuya dengan ekspresi tidak ramah.

◊ ◊ ◊

“… Haruskah kita pulang, kalau begitu?”

Sambil Tatsuya entah bagaimana berhasil mengendalikan ketidaksenangan dari seorang kakak kelas, dan juga orang yang menjadi pengurus OSIS. Tapi itu hampir tak terhindarkan. Hidupnya tidak pernah berjalan begitu lancar dan mudah sehingga dia perlu khawatir soal sesuatu seperti ini. Walau pengalaman kehidupannya kurang dari enam belas tahun penuh, tetapi ia memiliki banyak pengalaman dengan negativitas semacam itu.

“Maafkan aku, Onii-sama. Aku memberi mereka kesan buruk padamu—” Miyuki memulai, ekspresinya muram.

“Bukan masalah besar sampai kau perlu meminta maaf,” Tatsuya menyela kalimatnya, menggelengkan kepalanya serta meletakkan tangannya di atas kepala Miyuki. Dia membelai rambut Miyuki seolah-olah tangannya itu sisir, dan ekspresi cemberutnya berubah menjadi keadaan mabuk. Orang-orang yang mengawasi mereka tidak dapat menyangkal bahwa mereka bertindak secara dipertanyakan untuk saudara kandung, akan tetapi Mizuki maupun Erika tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu, mungkin karena menahan diri karena ini adalah pertemuan pertama mereka.

“Karena kita di sini, bagaimana kalau pergi minum teh?”

“Kedengarannya bagus! Aku ikut! Sepertinya ada toko kue yang enak di sekitar sini.”

Dengan itu, gadis-gadis itu memberikan undangan ke pesta teh.

Tatsuya tidak bermaksud bertanya apakah keluarga mereka akan khawatir—bahkan menyebutkan sesuatu seperti itu akan menjadi pertimbangan yang tidak perlu. Dan dalam hal ini, Tatsuya dan Miyuki juga sama.

Yang terpenting, Tatsuya memiliki sesuatu yang ingin dia tanyakan. Itu adalah sesuatu yang sejujurnya bukan masalah besar, tapi itu telah mengganggunya sampai dia tidak bisa melupakannya.

“Kau tidak memeriksa di mana upacara masuk akan diadakan, tapi kau tahu di mana sebuah toko kue berada?”

Mungkin pertanyaannya sedikit kejam, tetapi Erika mengangguk dengan percaya diri, tanpa sedikit pun keraguan. “Tentu saja! Memangnya itu sesuatu yang penting?”

“Tentu saja ….” Tatsuya mengulangi. Kata-katanya keluar sebagai keluhan, tetapi Tatsuya tidak peduli siapa yang marah padanya.

Tapi sepertinya dia satu-satunya yang kaget dengan “ledakan” Erika.

“Onii-sama, bagaimana menurutmu?” Miyuki tidak bertindak seolah-olah dia sama sekali peduli tentang prioritas tidak masuk akal Erika dari lokasi toko manisan dibandingkan tempat upacara. —Tentu saja, Miyuki tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi.

Namun, dia tidak perlu berpikir terlalu keras untuk setuju dengan mereka. “Kenapa tidak? Kita sudah saling berkenalan, 'kan? Kau tidak biasanya punya banyak teman dengan gender dan tingkat kelas yang sama.” Tak ada alasan khusus mereka harus bergegas pulang. Tatsuya awalnya berencana menghabiskan sore hari di suatu tempat untuk merayakan adiknya yang diterima sekolah.

Kenyataan bahwa dia belum memikirkan secara mendalam tentang apa yang dia katakan membiarkan perasaannya yang benar-benar tidak peduli mengenai hal itu muncul ke permukaan.

Erika dan Mizuki juga mengerti apa yang sebenarnya dia pikirkan tentang itu, yang mungkin mengapa mereka merespons bagaimana mereka melakukannya.

“Jika menyangkut Miyuki, Shiba-kun meninggalkan dirinya sendiri, huh ….”

“Dia sangat perhatian terhadap adiknya ….”

Tatapan mereka masing-masing memiliki campuran pujian dan kebingungan. Tatsuya hanya bisa membalas dengan senyum diam dan tidak nyaman.

◊ ◊ ◊

“Toko kue” yang diantar Erika juga merupakan kafetaria ala Prancis dengan makanan penutup yang enak, jadi mereka makan siang di sana dan bersenang-senang dengan obrolan panjang (meskipun karena ada tiga gadis, Tatsuya kebanyakan hanya mendengarkan). Sore sudah menimpa mereka ketika mereka pulang ke rumah.

Tak ada yang keluar untuk menyambut mereka.

Tatsuya dan Miyuki tinggal sebagian besar berduaan di rumah ini, yang jauh lebih besar dari rumah rata-rata.

Tatsuya pergi ke kamarnya dan menanggalkan seragamnya dulu.

Mereka tampaknya telah berusaha keras untuk membuat perbedaan mencolok di blazernya. Dia tidak ingin percaya bahwa sesuatu yang begitu konyol memengaruhi dirinya secara emosional, tetapi ketika dia melepaskannya, dia merasa suasana hatinya sedikit membaik. Dia mengejek perasaannya sendiri, lalu dengan cepat selesai berganti.

Tak lama kemudian, ketika dia sedang bersantai di ruang tamu, Miyuki turun ke bawah. Dia telah berganti pakaian menjadi pakaian rumahnya. Meskipun rekayasa bahan telah maju pesat, desain pakaiannya tidak banyak berubah semenjak seratus tahun yang lalu. Garis-garis pengambilan kakinya membentang dari rok pendeknya, yang mengingatkan pada gaya awal abad kedua puluh satu.

Untuk alasan apa pun, selera mode adiknya menampilkan lebih banyak paparan ketika berada di rumah. Tatsuya seharusnya sudah terbiasa dengan itu, tetapi akhir-akhir ini Miyuki menjadi jauh lebih feminin, dan Tatsuya sering kesulitan saat melihatnya.

“Onii-sama, boleh kuambilkan sesuatu untukmu?”

“Hmm. Aku akan minum kopi, makasih.”

“Akan segera kembali.”

Rambutnya, diikat longgar ke belakang, bergoyang di punggungnya yang ramping saat dia bergerak ke dapur. Dia mengikatnya agar tidak menghalangi ketika bekerja di dapur. Karena itu, tengkuk putih lehernya, yang biasanya disembunyikan di balik rambutnya yang panjang, keluar masuk karena sweternya dengan garis leher lebar, menghasilkan daya pikat yang tak terlukiskan.

Di negara maju, di mana penggunaan Home Automation Robot (HAR, atau “Haru”) tersebar luas, perempuan berdiri di dapur—dan laki-laki, juga—menjadi sesuatu yang langka. Memasak sepenuhnya boleh saja, tetapi hanya mereka yang tertarik yang melakukan hal-hal kecil seperti membuat roti bakar atau kopi sendiri.

Dan Miyuki termasuk dalam grup orang langka itu.

Dia khususnya tidak punya ketidakmampuan mekanik. Setiap kali teman datang, dia kebanyakan menyerahkannya kepada HAR. Tapi ketika itu hanya mereka berdua, dia tidak pernah terhindar dari masalah.

Suara biji kopi berderak serta suara air panas mendidih menggelitik telinga Tatsuya. Itu adalah kantong tetesan kertas yang paling sederhana, tetapi kenyataan bahwa Miyuki bahkan tidak akan menggunakan pembuat kopi yang lebih tua berarti itu pasti semacam perasaan yang mendalam.

Dia pernah bertanya tentang itu sekali, dan Miyuki menjawab, “Karena aku menyukainya”, jadi itu mungkin seperti hobi. Ketika dia bertanya, dia ingat Miyuki menatapnya dengan cemberut.

Apa pun tujuannya, kopi yang dibuat Miyuki cocok dengan lidahnya.

“Ini dia, Onii-sama.”

Dia meletakkan cangkir itu di meja, lalu pergi ke sisi yang lain dan duduk di sebelahnya. Kopi yang Miyuki taruh di atas meja berwarna hitam, dan kopi di cangkir di tangan Miyuki ada susu di dalamnya.

“Ini enak.”

Tidak perlu mendewakan itu. Miyuki tersenyum, senang hanya dengan dua kata itu.

Dia menyaksikan kakaknya menyesap dulu, wajahnya puas. Lalu, dengan ekspresi lega, dia menaruh cangkirnya sendiri ke mulutnya. Itulah yang selalu Miyuki lakukan.

Mereka berdua menikmati kopi mereka dengan sangat tenang.

Tak satu pun dari mereka mencoba berbicara.

Mereka tidak peduli bahwa mereka memiliki seseorang untuk diajak bicara tepat di sebelah mereka.

Sudah lama sekali sejak mereka berdua merasa canggung pada saat-saat hening yang lama di antara mereka.

Ada banyak hal yang perlu dibicarakan. Hari ini adalah upacara masuk. Mereka telah mendapatkan teman baru, dan kakak kelas yang agak khawatir telah muncul. Miyuki, sesuai dugaan, diundang untuk bergabung dengan OSIS. Mereka bisa terjaga sepanjang malam mengingat peristiwa hari itu dan membicarakannya.

Namun kakak-beradik itu duduk bersebelahan di rumah mereka, berduaan, menyeruput kopi mereka dengan tenang.

“—Sudah waktunya makan malam.”

Miyuki berdiri dengan cangkirnya yang sudah kosong. Tatsuya memberikan secangkir kopi ke tangannya yang terulur dan bangkit juga.

Malam tiba pada kakak-beradik itu, sama seperti biasanya.

Post a Comment

0 Comments