Date A Bullet ENCORE Obrolan Malas
Obrolan Malas
Kotatsu adalah alat pemanas terbaik untuk musim dingin, pikir Higoromo Hibiki.
“Haa … sangat nyaman.”
“Musim dingin hampir berakhir.”
Sambil menjawab seperti itu, Tokisaki Kurumi mengulurkan jeruk siam yang besar. Karena dia sudah duduk di kotatsu sampai bahunya, jawabannya tidak terlalu meyakinkan.
“Kita benar-benar mengendur.”
“Ada saat-saat seperti itu.”
Kurumi menjawab sambil meraih jeruk siam lainnya.
“Omong-omong, situasi macam apa yang sedang kita hadapi sekarang, Kurumi-san? Soalnya, hubungan kita agak rumit dalam banyak hal, dan jika kita mempertimbangkan alur waktunya, kurasa tidak ada ruang untuk ini.”
“Aku tidak yakin ….”
Kurumi meraih jeruk siam lainnya. Dia segera mengupasnya dan menggigitnya. Rasa manis dan asamnya pas, dan sari buahnya yang dingin dan kental mengalir dengan nikmat.
Dalam prosesnya, ujung jarinya menjadi sedikit kotor.
“Hmm ….”
Dia tidak punya pilihan selain menjilati jarinya. Keluar dari kotatsu untuk mencuci tangannya adalah hal yang mustahil saat ini.
“Haa. Bahkan hanya makan jeruk siam, Kurumi-san sangat sensual,” kata Hibiki.
“Apa yang tiba-tiba kamu katakan, Hibiki-san?”
“Tidak, aku hanya berpikir aku harus mengatakannya. Meskipun kamu berada di kotatsu sambil makan jeruk siam, orang cabul tetaplah cabul. Hyoui!”
Hibiki tiba-tiba melompat dan menghantamkan kakinya ke kotatsu dengan cukup kuat.
“Ara ara, ada apa?”
“T-tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya tiba-tiba merasakan sesuatu menggesek punggungku.”
Kurumi menyeringai saat dia menarik lengannya dari bayangan.
Dan Kurumi mulai memakan jeruk siam lagi. Dia tidak pernah merasa lapar maupun kenyang, dia hanya menikmati jeruk siam itu.
… Tapi meski begitu.
Sepertinya dia sudah makan tanpa henti selama beberapa waktu. Apakah dia memang baik-baik saja?
“Apa yang kamu bicarakan? Ini adalah Dunia Tetangga, jadi tidak peduli seberapa banyak kamu makan, kamu tidak akan pernah menjadi lebih gemuk. Benar kan?”
“Benar ….”
Hibiki terdiam. Sambil diselimuti kehangatan kotatsu, Kurumi menyadari ada yang aneh dalam nada bicara Hibiki.
“Apakah ada yang salah?”
“Um, ya. … Jiwa hanyalah sebuah gambaran.”
“Sebuah gambaran?”
“Kalau kamu memikirkan hal-hal yang indah dan melakukan hal-hal yang indah, jiwamu akan menjadi indah. Kalau kamu memikirkan hal-hal yang buruk dan melakukan hal-hal yang buruk, jiwamu akan menjadi buruk. Pada dasarnya, ini seperti persepsi. Meskipun jiwa itu sendiri seharusnya tidak merasakan sakit, kita tetap merasakannya, bukan?”
“Yah, itu benar.”
“Itu karena kita punya persepsi ‘ini seharusnya terasa seperti ini.’ Namun di sisi lain, tanpa ini, kita tidak akan mampu mengenali hal-hal penting sebagai sesuatu yang penting.”
Begitu, pikir Kurumi, lalu tiba-tiba mendapat firasat buruk.
“Dan ini juga muncul saat makan berlebihan. Tentu saja, karena ini hanya jiwa dan, terutama, sebagai perempuan, kita tidak ingin menambah berat badan karena makan makanan lezat, ada persepsi tidak akan menambah berat badan ….”
“T-tunggu. Itu artinya ….”
“Ada batasnya. Kalau kamu berpikir ‘kalau aku makan sebanyak ini, berat badanku pasti akan naik’, berat badanmu malah akan naik.”
Panik, Kurumi duduk dan dengan takut melihat perutnya sendiri-
Dan dia berteriak.
“Uuuuuu ….”
“Eh, maaf mengganggu ekspresi kesalmu, tapi … kalau kamu tidak cepat-cepat, ini akan jadi permanen, lho.”
“P-permanen?”
Mencerminkan kegelisahannya, ucapan Kurumi juga goyah.
“Saat ini, Kurumi-san masih bisa menyangkal penampilannya, kan? Tapi jika keadaan itu berlanjut dalam waktu lama, kamu akan mulai berpikir ‘inilah diriku yang sebenarnya.’ Pada saat itu, perut buncit itu akan menjadi permanen, mengerti?!”
Kurumi tampaknya tidak menyukai deskripsi yang tidak jelas itu. Namun, keanggunannya yang biasa tidak ada.
“A-apa yang harus aku lakukan agar kembali normal?”
Hibiki berdeham dan menunjuk langsung ke pintu masuk.
“Lari!”
“Begitu ya. Jadi, tidak ada pilihan lain selain lari.”
“Ya, di luar dingin, tapi bersenang-senanglah!”
“Huh?”
Pada saat itu, Kurumi memiringkan kepalanya.
“Ya?”
Hibiki memiringkan kepalanya.
“Apa yang sedang kamu bicarakan? Kamu ikut denganku.”
“… Apa katamu?”
“Kamu, ikut, denganku (klik).”
“Jangan arahkan pistolmu ke orang lain! Tolong hentikan!”
Di bawah langit musim dingin, mereka berdua memulai perjalanan mengerikan mereka.
Post a Comment
Ayo komentar untuk memberi semangat kepada sang penerjemah.