Choppiri Toshiue Jilid 1 Bab 1
Kala itu Senin pagi. Aku bernapas kecil di dalam kereta yang penuh sesak yang kunaiki ke sekolah. Waktunya sangat tepat di tengah jam sibuk bagi pekerja dan pelajar. Pada saat kereta mencapai stasiunku, gerbong-gerbongnya menjadi sangat ramai sehingga tak bisa duduk ataupun memegang pegangan langit-langit. Kini, bagi mereka yang tinggal di wilayah metropolitan, bahkan tak bisa mendapatkan pegangan mungkin tampak bukan masalah besar, tetapi bagi seseorang dari kota provinsi utara sepertiku, kereta adalah kendaraan yang harus duduk.
Biasanya, aku naik dua kereta lebih awal dari yang ini, duduk di kursi dan menikmati perjalanan pagi yang menyenangkan dan santai. Pada hari Senin aku membeli salinan Jump dari minimarket di depan stasiun, membacanya di kereta, dan, setelah tiba lebih awal ke kelas, aku dengan santai membaca ulang bagian komentar dan pratinjau untuk pekan depan; itu adalah Rutinitas Utamaku. Namun, berkat alasan yang sangat sederhana aku ketiduran, tradisi ini secara tragis hancur berantakan.
Aku tahu aku mestinya tidak begadang membaca manga dan mestinya langsung tidur. Kenapa begitu banyak aplikasi manga yang baru-baru ini diperbarui sekitar tengah malam? Meski aku tahu di kepalaku bahwa lebih enak membacanya ketika bangun di pagi hari, aku tak bisa tahan dan akhirnya begadang sepanjang malam. Begadang semalaman membaca di aplikasi manga, ketiduran, dan depresi karena melewatkan kesempatan membaca Shonen Jump: ini keseharianku di bulan Mei, siswa kelas satu SMA Momota Kaoru.
Di tengah stamina dan keaktifanku terhapus oleh kurangnya Jump dan lingkungan yang penuh sesak, kereta berhenti di stasiun berikutnya. Pintu terbuka dan semakin banyak penumpang yang meringkuk ke dalam kereta, memaksaku semakin jauh ke belakang. Aku entah bagaimana berhasil mengamankan ruangku sendiri di dekat pintu di sisi seberang kereta.
Saat itu juga, aku melihatnya. Di saat itu, aku terpesona oleh gadis SMA yang sendirian itu.
“….”
Hatiku mendadak diliputi oleh betapa imut dan cantiknya dia kala aku melihatnya menatap ke luar jendela kereta dengan mengenakan blazer birunya. Kulitnya putih bersih, dan penampilannya sangat proporsional. Wajahnya tampak awet muda, sedangkan bulu matanya yang panjang dan bibirnya yang tipis menonjolkan betapa femininnya dia. Rambut hitamnya yang panjang dan mengilap memberikan kesan rapi, tapi itu masih ditata di ujungnya seperti yang sudah diduga dari seorang gadis SMA pada umumnya. Terbawa dalam panas mencekik yang khas pada kereta yang penuh sesak, dia bagai fatamorgana, bersinar dengan cahaya redup dan sejuk.
Aku tersadar kembali dan, sedikit bingung, aku mengalihkan pandanganku ke luar kereta.
Gawat, Aku terlalu lama menatapnya ….
Tapi dia sangat cantik sehingga aku tak bisa menahan diri untuk tidak menatap. Dia sangat imut. Dan … sangat BESAR. Di sana mereka tinggal, di bawah blazernya, mendorong sweter rajutan tipisnya: dua bukit dengan kemampuan membuat seorang lelaki gila dengan satu tatapan. Sangat montok … tergantung sangat berat … jenis payudara yang sangat indah yang keberadaannya terasa seperti kejahatan, payudara yang membuatmu ingin menuntut seseorang. Lalu ada kakinya, ditutupi oleh stoking hitam di bawah rok lipitnya, berukuran sempurna, tidak terlalu tipis atau terlalu tebal—tunggu, tunggu. Kenapa aku terlalu fokus pada bagian seksinya? Masih terlalu dini bagiku buat terangsang begini.
Bagaimanapun … ada yang aneh. Blazernya berasal dari SMA Putri Tourin. Di sekitar sini, itu sekolah yang cukup terkenal untuk gadis-gadis kaya. Namun, kereta ini berlawanan arah dengan Tourin. Faktanya, dia adalah satu-satunya orang di kereta yang mengenakan seragam sekolah itu. Jika dia tidak sengaja, dia harus segera turun di suatu tempat …. Mungkin dia lupa sesuatu? Merasa ada sesuatu yang tidak beres, aku menatapnya lagi. Ya, sesuatu pasti terasa aneh. Bukannya aku tengah menatap dia lagi karena aku terangsang. Dan aku benar-benar tidak berpikir aku ingin beruntung dan melihat melonnya yang berat memantul seirama dengan kereta.
Tanpa menggerakkan kepalaku, aku menatapnya dengan pandangan perifer, dan saat itulah aku menyadari bahwa wajahnya benar-benar pucat. Serta, aku tahu itu bukan karena dia sakit. Kenyataannya adalah wajahnya yang proporsional kaku karena takut. Bibirnya yang mengencang sedikit bergetar, dan tangannya memegangi rok lipitnya begitu keras hingga membuat kerutan tak sedap dipandang.
Tak lama kemudian aku melihat alasan untuk ini. Itu adalah pelecehan seksual di kereta.
Aku menyaksikan pemandangan pelecehan seksual di kereta yang terjadi secara langsung. Punggung gadis SMA itu diraba-raba oleh sebuah tangan yang telah menyatu dengan kerumunan, tangan itu dari pria yang berdiri di belakangnya. Dia memakai kacamata dan tampak seperti pengusaha kerah putih. Sekilas, dia memiliki penampilan yang serius dan tidak terlihat seperti orang yang akan melakukan hal semacam ini. Selain itu, tangannya bergerak bebas, dan wajahnya benar-benar tenang. Tangannya yang lain memegang smartphone-nya untuk mengalihkan perhatian. Dia tampak seperti sudah biasa melakukan ini.
Serius? Apa yang coba kaulakukan di pagi hari? Tunggu, pernahkah aku mendengar bahwa pelecehan seksual di kereta sering terjadi di pagi hari?
Di hadapan gadis tak berdaya yang disentuh oleh tangannya yang tercela, aku merasakan sesuatu seperti kemarahan keluar dari perutku. Namun, belum pernah dalam situasi seperti ini sebelumnya, pikiranku menjadi kosong.
A-aku harus apa …?
Aku tak bisa begitu saja mengabaikan situasi yang terbentang di depan mataku. Lebih dari segalanya, aku tak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku ingin menyelamatkannya.
Tapi, aku harus apa …? Kalau aku cuma bikin keributan tanpa berpikir, itu takkan ada gunanya buatnya.
Tepat ketika aku berpikir bahwa aku harus mengambil gambar dengan tenang untuk mendapatkan bukti kejahatan tersebut, mata kami bertemu. Sewaktu dia menatapku, matanya berkaca-kaca, rencanaku dibatalkan. Sebelum aku bisa berpikir, tubuhku bergerak.
“Hei!” kataku saat aku menerobos kerumunan dan meraih tangan si pengusaha itu.
“Tunggu, apa?!” katanya, suaranya hampir seperti jeritan.
Aku dengan mati-matian menekan rasa takutku dan melakukan yang terbaik untuk terlihat mengintimidasi. Sejujurnya, aku sangat takut. Hanya memikirkan kemungkinan pria ini jadi marah serasa kakiku mungkin mulai gemetar. Kenyataannya yakni aku adalah siswa teladan pekerja keras (jujur saja, tak ada kegiatan sehabis sekolah) yang berniat memenuhi kehadiran yang sempurna, tetapi aku melakukan yang terbaik untuk menghentikan pria ini dengan bertindak seperti berandalan. Aku meremas lengannya dan dengan kasar mengangkatnya ke udara. Untungnya, dia ramping dan lebih pendek dariku.
“A-ada apa denganmu?! Apa yang kaulakukan tiba-tiba begitu …?”
“Jangan pura-pura bodoh. Selama ini kau—”
Pada saat itulah wajah gadis itu menarik perhatianku. Dengan wajahnya ketakutan dan syok, dia masih tampak hampir menangis.
Ah, aku sudah melakukannya. Aku seharusnya tidak bertindak sembarangan. Karena aku membuat keributan seperti itu, aku mendapatkan tatapan penasaran dari semua sisi.
“Apa yang terjadi?”
“Dia bilang itu pelecehan seksual di kereta.”
“Pelecehan seksual di kereta?! Masa sih?!”
“Itu lucu.”
“Siapa ini? Siapa yang melakukannya?”
“Tapi itu mungkin kesalahpahaman? Akhir-akhir ini sepertinya tuduhan palsu tentang pelecehan seksual di kereta sedang meningkat.”
“Aku tak tahan wanita yang berpikir bahwa setiap kali seseorang menyentuh mereka di kereta, mereka dilecehkan.”
Bagian dalam gerbong kereta dipenuhi dengan ekspresi dan suara penasaran. Bahkan ada beberapa orang yang mengeluarkan smartphone mereka dan mengarahkannya ke arah kami.
Kalau terus begini, dengan menangkap si peleceh kereta, aku akan membuatnya terperangkap dan dipermalukan oleh semua ini. Sial. Aku harus apa? Aku harus apa?! Setelah tergesa-gesa memikirkannya, aku mendapatkan jawaban.
“S-selama ini kau menyentuh bokongku!” Aku berteriak.
Baik si pelaku maupun si korban yang sebenarnya menatapku dengan kaget. Suasana canggung meresap di sekitarnya, dan tak lama kemudian suara tawa yang menyelinap bisa terdengar.
“Apa, kau bercanda. Seorang pria dilecehkan?”
“Bukankah itu disebut pelecehan terbalik?”
“Enggak, itu tidak disebut ketika seorang cowok menyentuh cowok lain.”
“Itu lucu.”
“Yah, cinta tak ada batasan.”
Perasaan sangat malu memenuhi diriku. Namun, sekarang bukan waktunya untuk mundur! Aku mendorong!
“S-Seriusan deh …. Jangan jadi terangsang pagi-pagi begini. Biarpun bokongku sangat imut sehingga membuatmu ingin meremasnya!”
“Apa yang sedang kaubicarakan? Aku tidak suka co—ow!”
Aku meraih lengannya dengan paksa untuk mencegah segala jenis argumen balasan.
Aku mohon, pria tua yang terlihat seperti seorang pengusaha. Kau lebih suka disalahartikan sebagai seorang pak tua yang sensitif ketimbang peleceh kereta, 'kan?! Aku tidak mau memperburuk keadaan! Aku akan melepaskanmu, jadi bacalah suasana ini!
Berkat kontak mataku yang panik, atau mungkin ekspresi menakutkan di wajahku, pria tua itu menjadi benar-benar diam.
“Bagus. Jangan pernah mencoba hal itu lagi!” tegasku, kembali ke tempatku semula berdiri dan menatap ke luar jendela. Aku tidak punya keberanian untuk melihat ke belakang. Gerbong kereta ramai dengan semua orang membicarakanku.
Ketika kereta berhenti di stasiun berikutnya, pria tua itu langsung kabur saat dia turun dari kereta. Sayangnya, ini bukan perhentianku. Aku benar-benar ingin turun, tapi kalau aku melakukannya, aku akan terlambat ke sekolah, jadi demi kehadiranku yang sempurna, aku tetap tinggal. Karena si pelaku sudah pergi, perhatian semua orang tertuju padaku. Satu demi satu, mereka memainkan gim telepon sampai tiba-tiba pesan aslinya menjadi “Dia, di sana. Itulah anak laki-laki yang, seperti, melecehkan seseorang yang terlihat seperti itu”. Khalayak bisa jadi menakutkan juga ….
Pada akhirnya, selama sepuluh menit yang kubutuhkan untuk mencapai stasiunku, aku menjadi pembicaraan di kota di dalam gerbong kereta. Sungguh menyebalkan melihat begitu banyak orang berbisik tentangku, tapi sepertinya tak ada yang menyadari bahwa sebenarnya gadis yang telah menjadi target si peleceh itu. Paling tidak, aku bersyukur.
Ketika aku mencapai perhentian terakhir, aku buru-buru lari dari kereta saat turun, dan setengah berlari melewati gerbang tiket.
Astaga …. Apa yang terjadi kalau ini jadi rumor dan menyebar? Aku cukup yakin ada sekelompok cowok dari sekolahku di kereta itu. Bagaimana kalau seorang idiot tanpa akal sehat mengunggah gambar ke Instagram atau semacamnya?! Ugh, kehidupan SMA-ku sudah berakhir ….
Sebagaimana aku hampir dihancurkan oleh keputusasaan, dengan akhirnya aku berjalan santai lagi, aku mendengar, “T-tunggu! Mohon tunggu!” Aku berhenti berjalan, berbalik, dan melihat bahwa itu adalah gadis dari kereta yang berlari ke arahku.
“Syukurlah. Aku berhasil.”
Tangannya di atas lutut dan mencoba mengatur napas. Lantaran payudaranya yang besar menjadi dua kali lipat—yang sama sekali tidak kuperhatikan—semakin ditekankan daripada sebelumnya. Wah. Melihat lebih baik lagi dari depan, aku bisa melihat mereka sangat besar … dan dia benar-benar manis.
Rambutnya halus, dan fitur wajahnya terlihat jelas. Riasannya tidak kentara: dengan kecantikan alaminya tanpa riasan yang terlalu tebal. Seragam sekolahnya secara keseluruhan tampak terlalu kecil, tetapi itu menonjolkan sosoknya yang melengkung. Hanya memanggilnya seorang gadis cantik itu tidak memberinya keadilan, karena dia tampaknya lebih dari sekadar gadis cantik yang dilihat di sekolah. Mungkin disebut pesona; mungkin disebut daya tarik seks; apa pun itu sebenarnya, dia menunjukkan sikap dewasa yang tidak dilakukan oleh gadis-gadis bangku SMA di sekitar sini.
“Um … terima kasih banyak untuk sebelumnya!” katanya sebelum mengatur napas dan membungkuk dalam-dalam.
“Aku sangat ketakutan, dan tak tahu harus berbuat apa … tapi terima kasih, aku diselamatkan. Terima kasih … dan maafkan aku karena telah merepotkanmu ….”
“Ah, yah, itu bukan masalah besar,” kataku ragu-ragu. Diberikan ucapan terima kasih dan permintaan maaf yang begitu sopan membuatku merasa malu juga.
“Aku tidak melakukan sesuatu yang istimewa. Maksudku … aku juga minta maaf. Aku merasa lebih baik menyerahkan orang itu ke kondektur atau salah satu petugas stasiun.”
Sungguh, itu mungkin hal terbaik untuk dilakukan. Untuk memastikan bahwa hukumannya sesuai dengan kejahatannya, bahwa si peleceh diberi hukuman yang pantas oleh rekan sebayanya, kejahatannya harus dibawa ke pengadilan dan diadili oleh hukum. Namun, keputusan egoisku membuatnya terhindar dari hukuman seperti itu.
“Tidak! Tolong jangan minta maaf!” Dengan suara yang kuat, dia dengan tegas membantah permintaan maafku.
“Agar aku tak dipermalukan, kau membahayakan dirimu, 'kan?”
“… Ya.”
“Maafkan aku. Karena aku, kau harus melalui semua itu.”
“J-jangan cemas soal itu. Itu adalah sesuatu yang kulakukan sendiri.”
“… Terima kasih. Aku sangat senang kau menyelamatkanku.”
Dia tersenyum riang, matanya menyipit dengan air mata. Aku merasa terlalu malu, jadi aku berbalik untuk membuang muka.
“Gawat. Ini sudah sangat telat,” katanya sambil melihat jam di sisi gedung stasiun, tampak panik. Jam menunjukkan bahwa sudah lewat jam 8 pagi, dan kami berdua harus segera berangkat ke sekolah masing-masing.
Setelah kami berpisah di sini, kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi ….
Aku menemukan diriku dipenuhi dengan perasaan kehilangan yang tak terhindarkan. Aku ingin berbicara lebih banyak dengannya. Aku ingin bertemu dengannya lagi.
Aku harus apa …?
Apa ini situasi yang tepat untuk menanyakan info kontaknya? Mana mungkin, 'kan? Itu akan menjadi canggung untuknya. Dengan pemilihan waktu ini, sepertinya aku memaksanya untuk melakukannya. Aku mungkin juga mengatakan, “Aku menyelamatkanmu dari si peleceh itu, jadi setidaknya yang bisa kaulakukan adalah katakan padaku nomor teleponmu.” Bahkan jika dia tidak mau, dia sepertinya tipe orang yang akan memberi tahuku hanya karena rasa terima kasih, yang bikin semakin sulit untuk bertanya. Meski begitu ….
Saat aku benar-benar terlalu memikirkannya, tak bisa bergerak satu langkah pun ….
“M-maaf,” katanya, berubah menjadi falseto karena betapa gugupnya dia. Ketika aku melihatnya, aku bisa melihatnya pipi putihnya telah memerah.
“Kalau boleh … maukah kau memberiku info kontakmu?”
Dia menggumamkan bagian terakhir itu, dan aku berkedip karena betapa tertegunnya aku.
“Umm … baiklah, aku ingin mengucapkan terima kasih yang pantas untuk hari ini kapan-kapan, t-tapi kalau ada masalah, tolong jangan pedulikan—”
“Tak ada masalah sama sekali! Aku akan dengan senang hati memberikannya padamu!”
Kami berdua mengeluarkan ponsel kami dan menukar nama pengguna LINE kami.
“Momota Kaoru, -kun … apa itu benar?” katanya sambil melihat layar ponselnya.
“Ya,” kataku, menganggukkan kepala sebagai konfirmasi sambil melihat layarku sendiri. Sepertinya dia dan aku adalah tipe orang yang menggunakan nama asli kami kala menggunakan LINE, jadi aku pun bisa tahu namanya.
“Orihara, Hime, -san?”
“Ya,” dia mengangguk dengan malu-malu.
“Hehe … itu agak memalukan, 'kan? ‘Hime’, sebagaimana kau memanggil seorang tuan putri …. Ketika masih kecil sih tak jadi masalah, tapi ketika menjadi seusiaku itu—”
“Tidak,” kataku, tanpa benar-benar tahu alasannya.
“Kupikir itu sempurna.”
Wajah Orihara-san menjadi merah dalam sekejap. Aku mungkin melihat dengan cara yang sama. Aku sangat malu sehingga aku merasa seperti akan kehilangan muka.
“Tolong … jangan katakan itu, itu memalukan ….
“… T-terima kasih Momota-kun.”
Mengucapkan itu, Orihara-san tampak senang dan malu kala dia tersenyum. Senyumannya sangat cerah, aku merasakan sakit seperti dadaku terikat. Pada saat itu, aku masih belum mengerti apa arti rasa sakit itu.
❤
“… Jadi, kau menemukan seorang gadis yang kausuka? Mati sana.”
Tanggapan temanku, Urano Izumi sekeras yang kuduga. Saat itu waktu makan siang, dan seperti biasa, aku makan siang bersama Ura di ruang kelas yang kosong. Selain kami, tak ada orang di sana. Itu sekitar sebulan setelah memasuki sekolah menengah atas, dan ruang kelas kami selama makan siang berubah menjadi ruang untuk siswa yang lebih ramah dan sosial. Tak bisa beradaptasi dengan lingkungan seperti itu, aku memilih untuk datang ke kelas yang kosong ini di ujung gedung sekolah dan makan siang dengan seorang teman yang mudah akrab.
“Aku tak bilang apa-apa soal menyukainya. Hanya saja … aku agak tertarik padanya. Yang kukatakan adalah bahwa ada kemungkinan bahwa aku menyukainya—”
“Cowok besar dan tinggi sepertimu ngomong mirip cewek itu menyeramkan. Dan kau seorang pengkhianat.”
“Pengkhianat? Apa yang kaubicarakan, apa sebenarnya yang sudah kukhianati?”
“Kupikir setidaknya Momo tidak akan pernah mengkhianatiku ….”
Dari balik poni panjang Ura, aku bisa melihat matanya mendidih karena kebencian, memakiku.
“Kupikir kita akan dengan bangga menjalani jalan introver bersama, tidak terpengaruh oleh ilusi yang dipenuhi tipuan tentang hal-hal seperti ‘masa muda’ dan ‘romansa’.”
“Apa maksudmu jalan introver?”
“Ingat, Momo! Saat di SMP, selama acara buruk seperti Natal dan Hari Valentine, kita dulu mengutuk dunia sama-sama, bukan? Para idiot yang menari mengikuti irama korporasi dan pemasaran liburan mereka adalah target tawa kita saat kita minum sampanye yang lezat!”
“Ura, berhentilah menggali kenangan menjijikan itu. Aku sudah berubah dari itu sejak SMP. Sekarang aku sudah SMA, aku sebenarnya ingin punya pacar.
“… Juga, kita tidak pernah minum sampanye, itu cuma minuman yang ramah anak-anak. Aku sudah muak dengan mengutuk dunia sambil minum miras palsu di hari Natal, terima kasih banyak.”
“Bah. Pada akhirnya kau hanyalah orang biasa bodoh yang tenggelam dalam gagasan bodoh tentang romansa. Menjauhlah dariku, idiot. Carilah PMS dan mati sana.”
Ura memalingkan mukanya saat dia cemberut dan memasukkan sedotan dari jus sayurnya ke dalam mulutnya. Aku mendesah.
Urano Izumi: perawakannya pendek, dan tubuhnya halus. Kalau melihatnya baik-baik, kau bisa melihat wajahnya cantik. Namun, ini semua dirusak oleh rambutnya yang tidak terawat dan matanya yang tak bernyawa yang menyerupai ikan mati. Terkadang matanya yang gelap menyala, tapi itu biasanya terjadi saat dia sedang bertemu dalam schadenfreude menuju kerumunan yang lebih ramah. Kami sudah tidak terpisahkan sejak SD. Bersama dengan teman kami yang lain, kami sering menongkrong sebagai trio.
Ketika Urano Izumi, alias Ura, masih kecil, dia adalah tipe anak yang riang dan gembira yang biasanya akan menjadi pemimpin di kelasnya. Namun, setelah karier SMP yang merupakan neraka menyerupai surga, dia jatuh menjadi salah satu orang yang paling antisosial.
“Pertama-tama, ada apa dengan keseluruhan ‘kau menyelamatkannya ketika dia dilecehkan di kereta’? Apa ini manga atau semacamnya?”
“Maaf, oke? Itulah yang terjadi.”
“Omong-omong, gadis Tourin itu mengenakan rok pendek yang proporsional dan memamerkan dirinya, 'kan? Dia gadis nakal, kataku, gadis nakal. Sebuah kebohongan yang dikonfirmasi dengan mudah. Dengan pakaian seperti itu, wajar saja kalau seorang peleceh kereta—”
“HEI.”
Suaraku sangat pelan, aku bahkan mengejutkan diriku sendiri. Mendengar Orihara-san dihina seperti itu membuatku kehilangan kesabaran sampai batas tertentu. Aku mungkin juga memelototinya.
Ura menjerit saat dia hampir jatuh dari kursinya.
“A-apa yang terjadi … k-kekerasan?! Apa kau memilih jalan k-kekerasan?! Menaruh tanganmu padaku berarti kau mengakui bahwa kau tak bisa mengalahkanku dengan ucapanmu! Aku menang! Argumen terbantahkan!”
“Tenang, aku takkan melakukan apa pun.”
Pada dasarnya, cowok ini sangat penakut. Di sekitar orang-orang yang dekat dengannya, dia mengoceh omong kosong dan bersikap sombong, tetapi pada kenyataannya dia penakut dan agak pengecut. Di kelasnya, dia selalu berkeliaran sendirian tanpa ada yang bisa dilakukan. Namun, ketika aku pergi ke kelas tetangga untuk mengunjunginya, dia seperti, “A-apa yang kaulakukan di sini, Keparat?” dan berlari ke arahku dengan senyum lebar. Maksudku, dia manis.
“… Omong-omong, apa yang akan kaulakukan, Momo?” tanya Ura, setelah kembali tenang dan kembali ke kursinya.
“Apa kau akan berkencan dengan cewek itu?”
“Tidak, kau terlalu terburu-buru. Kami hanya bertukar Info kontak.”
“Jadi apa yang akan kaulakukan?”
“Bung … itu sebabnya aku meminta nasihat darimu.”
Berkat keberuntungan, aku bisa mendapatkan info kontaknya. Namun … tanpa pengalaman dalam percintaan, aku tak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Haruskah aku menghubunginya secepat mungkin? Haruskah aku menunggu dia menghubungiku?
“Begitu. Dalam hal ini, izinkan aku memberimu sedikit nasihat—kau menanyakan orang yang salah.”
“Aku tahu.”
Sama sepertiku … tidak, bahkan lebih dariku, kehidupan sosialnya sudah mati. Tidak mungkin dia tahu apa pun tentang strategi atau seluk-beluk percintaan. Toh, semua pengalaman romantisnya adalah dua dimensi.
“Untuk jenis nasihat seperti itu, tanyakan saja Kana.”
“Ya, aku juga berpikiran sama, tapi … kalau aku meminta bantuannya, dia mungkin akan memberiku nasihat yang levelnya terlalu tinggi, kau tahu?”
“Kau benar. Dia mungkin bakal bilang sesuatu seperti ‘Apa? Bagaimana kalau cuma menghubunginya?’”
“Jadi, sebelum itu, kupikir aku akan membuatmu mendengarkanku karena kau level rendah.”
“Oh, aku mengerti … tunggu, siapa yang kaupanggil level rendah?!” ucap Ura dengan ringan, memerankan pria lurus sebelum wajahnya menjadi termenung.
“Yah, aku tidak begitu paham, tapi bukankah sebaiknya menunggu? Kau memang menyelamatkannya, dan dia bilang bahwa dia ingin berterima kasih, bukan? Kalau begitu, dia pasti akan menghubungimu pada waktu yang tepat.”
“Itu benar, tapi bukankah lebih jantan untuk menghubunginya lebih dulu? Aku berpikir mungkin ide yang bagus untuk setidaknya mengirim salam dulu.”
“Oke, kenapa bukan kau?”
“T-tapi … jadi terlalu serakah juga kurang baik. Aku pasti tidak mau menggunakan fakta bahwa aku menyelamatkannya dari pelecehan seksual di kereta untuk mencoba sesuatu seperti memimpin.”
“… Astaga, kau melelahkan. Jadi ini makhluk yang dikenal masih perjaka,” ucapnya seperti membenciku.
Kawan, kau juga masih perjaka …. Pada Natal kelas dua atau tiga SMP kita, aku ingat kita semua bersemangat membentuk “Aliansi Perjaka Selamanya” yang bodoh itu.
“Momo, kau terlalu kesal karena hanya bertukar nama di LINE. Saat kita berbicara, wanita itu mungkin sudah melupakannya. Dia mungkin berpikir, ‘Oalah, aku bilang aku akan berterima kasih pada cowok itu cuma buat bersikap baik, tapi itu merepotkan. Aku cuma akan mengabaikannya.’”
Pada saat itu, ponselku, yang telah kutempatkan di atas meja, bergetar untuk memberi tahuku bahwa aku mendapat pesan di LINE. Aku segera mengambil ponsel dari meja. Ini menampilkan pengirim pesan sebagai … Orihara Hime.
“Selamat siang. Maaf mengganggumu saat makan siang,” pesan itu dimulai, dengan cara yang mengejutkan kaku untuk seorang siswi SMA. Dia dengan sopan mengulangi rasa terima kasihnya yang pagi itu lalu pesan tersebut langsung ke intinya.
“Aku ingin berterima kasih untuk pagi ini, jadi, kalau tak ada masalah, bolehkah aku bertemu denganmu besok sepulang sekolah?”
Saat membaca kalimat itu, aku mungkin memiliki ekspresi paling konyol di wajahku. Dan Ura, dengan ekspresi masam di wajahnya, mendecakkan lidahnya dan berkata “Mati sana”.
Kami sepakat untuk bertemu di plaza di depan gedung stasiun keesokan harinya. Tidak mau terlambat, aku muncul tiga puluh menit lebih awal. Aku melihat orang-orang yang lewat datang dan pergi di sepanjang jalan yang basah kuyup sambil menunggu kedatangannya.
Sungguh menyedihkan betapa gugupnya aku. Aku secara terpaksa memeriksa ponselku, berkali-kali. Aku bahkan menggunakan pintu kaca di pintu masuk gedung stasiun sebagai cermin untuk memperbaiki diri dan merapikan rambutku yang, sial, sepertinya aku tak bisa melakukannya dengan benar. Aku tahu aku mestinya pergi ke salon rambut.
Setelah dua puluh lima menit—lima menit sebelum waktu pertemuan kami yang sebenarnya—Orihara-san muncul, dan seperti kemarin, dia mengenakan blazer sekolah Tourin-nya. Dia berlari begitu melihatku.
“Maaf, Momota-kun. Apa aku membuatmu menunggu?”
“E-enggak, aku baru sampai kok.”
Aku memulai kalimat standar untuk situasi ini. Sebenarnya, aku sudah menunggu lama. Aku tiba tiga puluh menit lebih awal, dan sebelum itu aku pergi ke toko buku dan toko gim video untuk menghabiskan waktu. Ketika kau sepertiku dan tak ada klub yang perlu dikunjungi sehabis sekolah, bertemu pada pukul 17:30 adalah hal yang tidak menyenangkan: terlalu dini untuk pulang ke rumah dulu, tetapi masih lama untuk menunggu sehabis kelas. Tentu saja, aku pun hanya berkeliaran di sekitar stasiun.
“Maaf telah memanggilmu ke sini pada saat yang aneh. Hari ini aku ada … rapat OSIS dan beberapa hal yang harus dilakukan.”
“Tidak masalah. Tolong jangan pikirkan hal itu.”
“Baik.”
Percakapan berhenti di sana, dan aku memaki kurangnya keahlian komunikasiku. Aku tak bisa memikirkan satu hal pun yang cerdas untuk diucapkan. Setelah hening sejenak di mana kami berdua mencari topik pembicaraan, Orihara-san tertawa dengan canggung.
“Haha … aku agak gugup.”
“Aku juga.”
“Kita baru bertemu kemarin.”
“Ya.”
“Betulanz!”
“… Apa?”
Aku mengetahui aku menatap dengan heran pada Orihara-san, yang memberiku jempol besar.
“Huh? Apa aku salah melakukannya? Bukankah gadis sekolahan bilang ‘betulanz’ hari ini? Kau membubuhkan ‘betulanz’ untuk sesuatu dan itu membangun komunikasi … 'kan? Ataukah itu ‘betulanz’?”
Wajah Orihara-san menjadi merah padam saat dia menjadi bingung. Itu seperti bagian lucunya untuk lelucon nomor satu tidak berhasil dan dia diliputi oleh rasa malu.
“‘Betulanz’? Yah, memang ada orang yang bilang begitu, tapi tak ada yang kukenal ….”
Aku tak punya banyak teman penuh keceriaan, jadi aku tidak terlalu menggunakannya. Sejujurnya, aku tak tahu apa artinya. Serius, apa artinya ‘betulanz’?
“Hei, lupakan saja aku mengatakan itu. Itu tidak dihitung! Tak ada yang dihitung!” teriak Orihara-san dengan wajah merah cerah. Dia lalu mengalihkan percakapan dari kesalahannya dengan berdeham.
“Oke, ayo ke tempat lain,” dia mengumumkan.
Orihara-san memimpinku berjalan kaki beberapa menit dari stasiun sampai kami tiba di taman bermain melalui terowongan tanpa tanda-tanda kehidupan. Itu adalah taman bermain yang tampak sepi dengan hanya bangku dan kotak pasir. Aku mendengar bahwa klub tenis SMA-ku datang ke sini untuk menggunakan tembok untuk latihan, tetapi tak ada seorang pun selarut ini, ketika matahari sudah mulai terbenam. Orihara-san menyelipkan roknya dan duduk di atas bangku, diterangi oleh cahaya redup jalan. Usai berpikir keras tentang seberapa dekat aku harus duduk dengannya, aku memutuskan untuk memberikan ruang yang cukup bagi satu orang lagi muat di antara kami dan duduk.
“Sekali lagi, terima kasih banyak atas apa yang kaulakukan kemarin.”
Dia menyesuaikan postur tempat duduknya dan melanjutkan:
“Terima kasih ….”
Orihara-san mengeluarkan bekal makan siang yang dirancang dengan manis dari tas jinjing yang dibawanya.
“Aku … aku membuatkanmu bekal makan siang.”
“Bekal makan siang?”
“Apa mungkin kau tidak lapar? Kalau kau tidak bisa makan, aku bakal memakannya sendiri, jadi tolong jangan memaksakan diri ….”
“Tidak, aku sangat, sangat senang! Aku sebenarnya baru saja memikirkan betapa laparnya aku!”
Menerima bekal makan siang buatan sendiri dari seorang gadis, sekarang ini yang pertama. Tak ada orang yang hidupnya tak akan senang soal ini. tak kusangka aku bisa mengalami sesuatu yang sehebat ini dalam hidupku … waktu yang tepat untuk hidup ….
“Ahh … aku senang kau menyukainya.”
Orihara-san meletakkan tangan di dadanya dan tampak lega saat dia menghela napas.
“Aku banyak berpikir tentang bagaimana aku bisa menunjukkan rasa terima kasihku. Walaupun aku memberimu sesuatu, aku tak tahu apa yang disukai anak laki-laki. Selain itu, aku … aku hanya seorang gadis SMA, jadi aku tidak punya uang! Aku seorang gadis SMA, jadi tentu saja aku tidak punya uang!”
Dia mulai mengoceh dengan kecepatan tinggi. Dan dia sangat menekankan tidak punya uang dan menjadi gadis SMA.
“Aku benar-benar seorang gadis SMA, jadi aku sama sekali tidak punya uang. Aku dibesarkan dengan diberi tahu bahwa ‘Jika kau lahir di Tahun Ular, kau tidak harus khawatir soal uang’, tetapi itu sama sekali salah.”
“Tahun Ular?”
“Ya, benar … huh? Bukankah orang bilang ‘Kalau kau lahir di Tahun Ular, kau tidak perlu khawatir tentang uang’? Aku dulu sering diberi tahu soal itu oleh nenekku.”
“Tidak, aku tahu kalimat itu. Aku juga sudah diberi tahu hal itu.”
Aku diberi tahu tentang hal itu seperti, “Kalau kau lahir di Tahun Babi, kau harus terjun ke depan tanpa ragu-ragu.” Ketika kau benar-benar berhenti untuk memikirkannya, ada banyak pepatah yang bisa kaupilih, tetapi aku melantur.
“Kau juga telah diberi tahu hal itu. Jadi, apakah itu berarti ….”
“Ya, aku juga lahir di Tahun Ular.”
“O-oh, begitukah?”
“Ini suatu kebetulan. Kurasa itu artinya usia kita sama.”
“Huh ….”
“Kalau kita sama-sama lahir di Tahun Ular, itu berarti kau dan aku sama-sama di kelas satu SMA, 'kan?”
“I-itu benar … itu benar. Aku merasa itu benar. Aku seorang siswa kelas satu SMA. Seorang siswi SMA, di kelas satu SMA ….”
Cara tidak wajarnya untuk mengatakannya membuatnya terdengar seperti dia baru saja menghafal kenangan baru untuk dirinya sendiri. Yah, ketika kau memiliki dua Ular, jika salah satunya lahir cukup awal di tahun itu, ada kemungkinan yang satu akan memiliki nilai di atas yang lain, tetapi sepertinya aku benar tentang kami berada di tahun yang sama.
“Kita di tahun yang sama, ya. Aku agak berpikir bahwa kau adalah seniorku. Kau memiliki atmosfer yang sangat dewasa—”
“Enggak, enggak kok?!”
Dia mendadak meninggikan suaranya dan wajahnya mendekat … sangat dekat.
“Apa aku terlihat tua?! Aku tidak terlihat seperti gadis SMA?! Apa aku begitu?!”
“Apa …? Um, tidak …?”
Untuk suatu alasan, dia tampak sangat serius. Kurasa mengatakan ‘Kau terlihat dewasa’ untuk gadis SMA akhir-akhir ini tidak boleh dilakukan. Aku barusan berniat itu sebagai pujian ….
“Tidak, kau sama sekali tidak terlihat tua! Aku hanya bermaksud bahwa karena kau begitu tenang dan sopan, kupikir kau tampak dewasa.”
“Oh … baiklah, kalau begitu tidak apa-apa.”
Orihara-san tampak lega dari lubuk hatinya saat dia bernapas dengan tenang.
“Apa ada sesuatu di dalam pikiranmu?”
“B-bukan apa-apa. Hei, berhentilah memikirkan hal-hal kecil dan makanlah.”
Didorong oleh ketidaksabaran dalam suaranya, aku membuka bekal makan siang dan mataku melebar. Di dalam bekal persegi itu ada roti lapis, karage, omelet gulung, asparagus yang dibungkus bakon, dan tomat ceri. Kaya akan warna, itu adalah jenis barisan yang bikin ngiler.
“Terima kasih untuk makanannya.”
Setelah menyatukan kedua tangan sebentar, aku memutuskan untuk menggigit karage dulu. Aku meraih tusuk imut yang menghiasinya dan memasukkan gumpalan daging itu ke dalam mulutku. Lezat!
Meskipun sudah dingin sejak dia membuatnya, rasanya tetap enak. Itu dibumbui dengan benar, dan adonannya tidak basah. Setiap kali aku menggigitnya, jus dagingnya muncrat keluar. Lalu aku memilih roti lapis. Ya, ini enak juga. Bahan untuk roti lapisnya adalah ham, keju, dan selada, serta di atasnya ada margarin yang mengolesi roti. Omelet gulung jelas berada di sisi manis dari diskusi “haruskah omelet manis atau gurih”, tapi itulah yang kusuka. Ya, benar, omelet gulung paling enak dibuat manis. Kalau masih bisa dibilang lauk, mungkin rasanya kurang manis menurutku.
“B-bagaimana rasanya?” tanya Orihara-san, khawatir dengan bagaimana aku begitu fokus pada makanku. Gawat. Rasanya sangat enak sampai aku terus makan tanpa berkata apa-apa.
“Ini sangat lezat.”
“Betulkah? Aku senang.”
Orihara-san tersenyum.
“Ini pertama kalinya aku menyantap bekal makan siang selezat ini. Orihara-san, kau sangat pandai memasak.”
“Tidak, tidak sama sekali, kau terlalu menyanjungku. Ini benar-benar tidak ada yang istimewa. Itu karena aku sudah lama tinggal sendiri, jadi aku bikin makan siang sendiri setiap pagi untuk menghemat uang. Meskipun aku tidak mau, aku tentunya bakal ahli dalam—”
“Kau sudah lama tinggal sendirian …? Orihara-san, kau kelas satu SMA, 'kan?”
Aku merasa hidup sendiri kala masuk SMA itu relatif umum, tapi mungkinkah dia hidup sendiri sejak SMP?
“Um, kau tahu, um … s-situasi keluargaku rumit!”
Begitu. Situasi keluarganya rumit. Dalam hal ini, tidak banyak lagi yang bisa dikatakan soal itu. sebaiknya aku tidak memaksanya lebih jauh.
Dengan percakapan terhenti sejenak, aku menghabiskan sisa bekal makan siang.
“Terima kasih untuk makanannya. Rasanya sangat enak.”
“Sama-sama. Hehe. Sangat menyenangkan memiliki anak laki-laki yang memakan masakanku dengan sepenuh hati.”
Setelah Orihara-san tertawa terbahak-bahak, dia dengan gugup mengangkat jarinya.
“Sebenarnya, aku sedikit gugup, tahu? Ini adalah pertama kalinya seorang pria yang bukan anggota keluargaku memakan masakanku ….”
“Begitukah? Itu suatu kehormatan. Rasanya enak. Sangat enak sehingga membuatku ingin memakannya setiap hari—”
Aku menahan diri dan menutup mulutku, tapi aku terlambat. Pipi Orihara-san memerah. Oalah, kenapa aku mengatakan sesuatu yang begitu klise?!
“Maksudku, aku tidak bermaksud terlalu dalam dengan itu. Hanya saja itu enak!”
“Aku paham! Aku paham, jadi kau tak usah bilang apa-apa lagi!”
Kami berdua melambaikan tangan dengan tergesa-gesa. Setelah mengatur napas, Orihara-san berkata, “Terima kasih. Aku akan senang kalau seseorang sepertimu memakan makananku setiap hari, Momota-kun,” dan tersenyum ceria. Sepertinya sesuatu yang orang dewasa akan katakan demi kesopanan, tapi itu membuat jantungku berdebar kencang.
Tiba-tiba, ekspresinya menjadi gelap.
“Rasanya kesepian bikin makanan cuma buat sendiri.”
Senyumannya cepat berlalu. Mentari telah terbenam, dan cahaya rembulan yang mengikutinya menerangi Orihara-san dan senyum kesepiannya. Pada saat itu, dia tampak begitu rapuh sehingga dia mungkin akan hancur dengan sedikit sentuhan. Namun, meski mungkin kontradiktif, itu membuatku semakin ingin memeluknya erat-erat.
Dalam perjalanan kembali ke stasiun, kami berbagi lelucon ringan.
“Jadi, Momota-kun, bulan lahirmu September. Karena setengah dari nama belakangmu berarti ‘persik’, kau akan mengira kaulahir di musim semi.”
“Sangat menyedihkan bagiku, cuma keberuntungan kalau nama belakang cocok dengan ulang tahun. Kau bakal berpikir setidaknya nama depanku cocok ….”
“Haha. Kurasa ‘wangi manis’ membuatmu kembali ke musim semi, ya?”
“Sedangkan, kau lahir di bulan Desember 'kan, Orihara-san? Kukira aku sedikit lebih tua darimu.”
“Y-ya … kurasa seperti itu ….”
Sambil bercanda, kami berjalan berdampingan. Sampai kira-kira menunjukkan kejantanan, aku memegang tas jinjing yang berisi bekal makan siangnya.
Segalanya tampak berjalan cukup baik, tapi aku mengalami sedikit masalah. Aku benar-benar melewatkan kesempatan untuk berhenti menggunakan ucapan kehormatan dengannya. Ketika kami pertama kali bertemu, aku benar-benar mengira dia adalah seniorku, dan meskipun sekarang aku tahu bahwa kami seumuran, sulit untuk berhenti. Akan bagus kalau dia berkata “Kau bisa berbicara dengan santai denganku,” tetapi entah kenapa … rasanya memanggil dia begini sudah tepat.
Dalam waktu singkat, kami sampai di stasiun.
“Jadi, kurasa kita berpisah di sini?”
“Um … haruskah aku mengantarmu pulang? Sudah sangat gelap.”
Saran yang dibuat itu dari kebaikan hatiku—bukanlah seperti itu. Memang benar aku khawatir soal dia, tapi alasan nomor satuku mengatakannya adalah karena aku ingin lebih bersamanya. Walaupun itu hanya satu menit lebih lama—
“Makasih. Tapi aku baik-baik saja. Rumahku dekat sini.”
“Begitu, ya …?”
“Ya. Jadi, aku akan pulang saja.”
“Oke … hei.”
“Iya?”
“Sampai ketemu lain kali.”
Pasti ada banyak kalimat yang lebih baik untuk digunakan. Namun, untuk seseorang sepertiku yang tanpa pengalaman dalam percintaan, bahkan setelah menggunakan semua keberanianku satu kalimat itu adalah yang terbaik yang bisa kucapkan. Orihara-san sejenak terlihat bingung, tapi dia tersenyum ramah dan berkata:
“Ya, sampai jumpa nanti.”
Dari dalam dadaku muncul kegembiraan yang tak terlukiskan. Kendati itu hanya sesuatu yang dikatakan sopan, meskipun itu adalah “Sampai jumpa lagi” yang berarti “Kalau aku punya waktu aku akan bertemu lagi”, aku senang diberi tahu sesuatu yang membuatnya terdengar seperti kami akan bertemu lagi.
Orihara-san dengan ringan melambai selamat tinggal dan menghilang ke kerumunan orang. Aku melihatnya pergi, wajahku agak merah.
“… Yah, kurasa aku harus pulang,” kataku pada diri sendiri saat aku menuju peron kereta untuk membawaku pulang. Rasanya seperti aku terbangun dari mimpi. Seseorang secantik Orihara-san membuatkan bekal makan siang hanya untukku? Itu tampak seperti mimpi, tapi itu pasti kenyataan. Maksudku, aku punya tas jinjing dan bekal makan siang untuk membuktikannya.
“Tunggu ….”
Gawat, aku lupa mengembalikannya. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku cepat-cepat lari mengejarnya? Tunggu, tidak, dalam situasi seperti ini bukankah lebih sopan untuk mencucinya sebelum mengembalikannya? Tapi dia bilang dia membuat makan siangnya setiap pagi, jadi dia mungkin berencana untuk menggunakannya besok …. Pokoknya, lebih baik mengejarnya dan memastikan.
Aku berputar dengan tumitku dan kembali ke arah kedatanganku, mencari Orihara-san. Aku cukup yakin aku melihatnya berjalan ke arah loker koin …. Oh, itu dia. Dari dalam kerumunan aku bisa melihat Orihara-san dari belakang.
“Atau—”
Aku mulai memanggil namanya, tetapi aku panik dan berhenti karena dia akan pergi ke toilet wanita. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk memanggil seseorang. Untuk saat ini, kupikir akan kutunggu saja. Aku sudah cukup dekat, jadi aku memutuskan untuk mengambil jarak antara aku dan kamar kecil dan menunggu.
Namun, setelah sepuluh menit pun Orihara-san masih belum keluar dari kamar mandi. Seorang wanita yang tampak mengenakan jas seperti seorang pekerja kantoran, seorang wanita dan anak perempuannya yang masih kecil, seorang gadis dari sekolahku; banyak gadis keluar-masuk, tapi di antara mereka tak ada satu orang pun yang mengenakan seragam dari Sekolah Putri Tourin.
Sepuluh menit lagi berlalu dan dia masih belum keluar. Apa aku melewatkannya? Bisa dibilang, ada batasan berapa lama aku bisa mengamati pintu masuk ke toilet wanita dan aku hanya menanti itu, jadi aku mengirim pesan ke Orihara-san. Aku berterima kasih padanya untuk hari ini dan memberi tahu dia soal bagaimana dia melupakan bekal makan siangnya. Sebuah balasan segera menyusul, dan dari pesan itu sepertinya dia sudah meninggalkan stasiun.
Yang artinya … kurasa aku melewatkannya melihat dia keluar dari kamar kecil wanita? Maksudku, bukannya aku fokus sepanjang waktu untuk melihat, dan bukannya tidak biasa kalau aku tidak menyadarinya ….
Tetap saja, ada sesuatu yang tidak nyaman denganku dan terasa salah … tapi semua itu lenyap oleh pesan berikutnya.
“Maaf telah merepotkanmu. Maukah kalau aku memintamu mengembalikannya saat kita bertemu lagi?”
Sepertinya—tanpa punya waktu untuk itu—aku punya janji untuk bertemu lagi. Hampir menakutkan betapa cepatnya itu berjalan.
❤
“Sepertinya kau telah melakukan beberapa hal yang cukup menarik sewaktu aku tak ada. Tetap saja, aku senang; Sepertinya musim semi telah tiba buatmu, Momo.”
Tanggapan temanku Kanao Haruka sangat fasih seperti biasa. Kami berada di ruang kelas kosong yang biasa makan siang. Belakangan ini, Kana makan siang bersama pacar barunya, tapi hari ini sepertinya dia memutuskan untuk ikut makan denganku dan Ura.
“Jangan jadi orang asing. Kenapa kau tidak memberi tahuku begitu kau menaksir dia? Kita teman dekat, 'kan, Momo?” ujarnya, mendukung dengan senyum lembutnya itu.
Walaupun dia benar-benar ingin membantu, sepertinya cowok ini bisa menarik para cewek di jalan dan aku yang tanpa pengalaman romantis pada dasarnya punya sesuatu untuk dibicarakan. Perbedaan dalam pengalaman kami begitu luas, itu membuatnya tampak seperti nasihatnya tidak akan benar-benar menjadi nasihat.
“Sebagai temanmu, aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu. Lagian, kalau Momo punya pacar, maka aku juga bahagia. Jika berjalan lancar, ayo pergi kencan ganda.”
“Hei Kana, jangan seret Momo ke jalan neraka yang dipenuhi para pecandu cinta. Momo dan aku tidak akan mencintai siapa pun, tidak dicintai oleh siapa pun, dan dengan bangga menapaki jalan introver.”
“Sepertinya jalanmu yang ke neraka,” sela Kana sambil terkikik padaku dan Ura.
Kanao Haruka, seorang cowok tampan dengan fitur wajah yang rata dan tubuh yang ramping. Rambutnya berwarna pirang, dan sangat halus hingga bikin iritasi. Matanya jernih, dan penampilannya dipenuhi perasaan kesejukan. Dia suka bergaul dan bisa bergaul dengan cowok dan cewek dari segala usia. Konon katanya meskipun baru sekitar satu bulan berlalu sejak sekolah dimulai, dia sudah bertukar info kontak dengan tujuh puluh persen siswa kelas satu sekolah. Dia merupakan cowok cakep yang telah melampaui seorang casanova dan berada di level seorang penipu ulung. Sama seperti Urano Izumi, dia adalah salah satu teman masa kecilku.
Ketika Kanao Haruka alias Kana masih kecil, dia relatif suram dan pendiam serta selalu membaca buku sendirian di kelas. Namun, setelah karier SMP yang merupakan surga yang menyerupai neraka, dia menjadi salah satu ekstrover yang paling ekstrover.
“Kalau Momo jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis Hime ini, dia pasti cantik, bukan? Apa kau punya gambarnya?”
“Tidak, aku tidak punya. Dan kau terlalu akrab memanggilnya dengan nama depannya.”
Bahkan aku belum menggunakan nama depan Orihara-san. Itu seperti yang dilakukan seorang ekstrover. Sungguh berani, tiba-tiba memanggil seorang gadis dengan nama depannya!
“Oke, bagaimana dengan Instagram-nya?”
“Dia bilang dia tidak menggunakan media sosial karena dia tidak mengerti hal-hal seperti itu.”
“Itu sangat langka untuk gadis sekolahan dewasa ini.”
Akan kubenarkan itu. Dewasa ini bahkan seorang introver ambang sepertiku memiliki akun Instagram. Meskipun aku hanya melihat foto orang lain secara acak tanpa mengupload apa pun milikku ….
“Jadi, apa kau berjanji buat kencan lagi, Momo?”
“Belum. Untuk saat ini … kupikir aku akan menunggu sekitar seminggu untuk membiarkan dia menghubungiku duluan.”
“Dengar, Momo.”
Kana mendesah dan berkata, “Satu-satunya yang bisa lolos dengan hal-hal pasif itu adalah cowok-cowok tampan sepertiku, tahu?”
… Jangan menyebut dirimu tampan.
“‘Kalau kau cuma menunggu, wanita akan mendekatimu sendiri …’ hal semacam itu mustahil kecuali kau betulan cowok tampan—tidak, biarpun kau tampan, itu mustahil. Dari sudut pandang cewek, cowok yang cuma pasif tidak punya daya tarik. Oke, Momo? Semua wanita adalah tuan putri. Mereka adalah tipe makhluk yang, berapa pun usia mereka, masih ingin dituntun oleh seorang pangeran.”
“A-aku mengerti ….”
“Tuan putri? Bah. Inilah kenapa makhluk yang disebut wanita ini sangat menyebalkan.”
Aku sangat terkesan dengan analisis Kana, sedangkan Ura menjadi muak dan mulai berbicara buruk soal wanita. Kana melanjutkan:
“Dahulu kala, Momo berkata ‘Aku tidak mengerti mengapa tuan putri jatuh cinta pada pangeran dalam cerita-cerita ini’. Alasannya, bagaimanapun, adalah bahwa setiap pangeran itu mengambil tindakan. Walaupun mereka cuma jatuh cinta dengan penampilan para putri, mereka masih menunjukkan cinta mereka dengan baik.”
Itu … mungkin benar. Menyampaikan cinta dan mengungkapkan perasaan ke dalam kata-kata … mungkin itu hal yang paling penting. Aku hanya mati-matian mencoba membuat alasan untuk bersikap pasif dan tidak punya hak untuk meremehkan pangeran itu.
“Apa? Tapi, pada akhirnya, alasan mereka bersama adalah si pangeran itu tampan dan kaya, bukan? Sudah kubilang, kalau cowok jelek yang bokek melakukan yang terbaik untuk ‘mengambil tindakan’, dia cuma diperlakukan seperti seorang penguntit.”
Setelah melontarkan argumen sarkastik namun terdengar merusak suasana hati, Ura meraih smartphone yang telah kutempatkan di atas meja.
“Momo, berikan aku ponselmu. Kalau kau berencana untuk mendekati gadis ini, Akan kupikirkan sesuatu untuk ditulis kepadanya.”
“H-hei, hentikan.”
“Dalam situasi ini, aku heran apakah bersikap langsung adalah pendekatan terbaik? Mungkin mengatakan sesuatu seperti ‘Halo. Aku suka kau’ akan bekerja?”
“Itu terlalu langsung!”
“‘Aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Ya, pandangan. Artinya aku cuma jatuh cinta sama apa yang ada di luar, dan tidak menghargai apa pun yang ada di dalam.’”
“Itu cuma penghinaan!”
“‘Dengan syarat kita bisa berhubungan seks, tolong pacaranlah denganku.’”
“Kau bikin jadi terdengar seperti usulan buat jadi teman seks!”
“Terus kenapa? Semua jenis pria dan wanita mulai berkencan dengan harapan mereka bakal berhubungan seks, bukan? Apa aku salah?”
“Di dunia ini ada yang disebut etiket!”
“Bah. Bagaimanapun juga, kau cuma mau bercinta dengannya, 'kan? Kau cuma bingung jatuh cinta dengan nafsu, bukan? Aku tidak akan membiarkanmu mengatakan itu setelah hanya tiga hari kau telah jatuh cinta dengan apa yang ada di dalam juga.”
“Itu … sial, kembalikan saja ponselku.”
Saat kami berdebat dan memperebutkan ponsel, tiba-tiba ponsel itu bergetar. Aku segera mengambil smartphone-ku dari Ura dan melihat ke layar. Itu adalah pesan LINE dari Orihara-san. Apa yang dikatakannya adalah … aku tak bisa memercayainya.
“A-ada apa, Momo? … Wajahmu terlihat menyeramkan.”
“Apa dari Hime-chan?”
Aku menyampaikan pesan itu kepada Ura dan Kana. Seperti biasa, pesan itu dimulai dengan sapaan resmi, dan menyentuh bagaimana aku memegang bekal makan siangnya. Dia bilang dia ingin meluangkan waktu untuk bertemu denganku sehingga aku bisa mengembalikan bekal makan siangnya. Semuanya baik-baik saja sampai saat ini. Aku berharap sebanyak ini. Namun, kalimat terakhir itu membuatku kehilangan akal.
“Karena bagaimanapun juga kita akan kesulitan untuk bertemu, dan hanya jika kau tidak keberatan, maukah kau berkencan denganku hari Minggu nanti?”
Apa—tunggu, apa? Aku sangat senang sampai pikiranku jadi kosong. Dengan tetap pasif, aku sepertinya punya peluang yang muncul satu demi satu. Dan hal-hal itu terus membaik.
Bingung dengan berkat ini meski aku tidak berdoa, dua temanku yang tak tergantikan memberiku kata-kata yang paling ramah.
“Mati sana.”
“Jangan tertipu untuk membeli vas atau apa pun, oke?”
❤
Pada hari Minggu, kupikir aku harus melakukan sesuatu soal pakaianku. Ketika aku masuk SMA aku bertekad untuk mencoba menjadi lebih modis, tapi aku tetap tidak melakukan apa pun selama sebulan sejak sekolah dimulai. Siapa sangka hari pengujian selera fesyenku bakal datang sangat cepat?
Kupikir aku akan meminta Kana atau kakakku untuk mengoordinasikan seluruh pakaianku untuk kencanku, tetapi—entah karena keberuntungan atau kemalangan—itu tidak diperlukan.
“Selamat pagi, Momota-kun!”
Hari ini, Orihara-san adalah orang yang datang lebih awal ke tempat pertemuan kami. Membalas sapaannya, aku berjalan ke tempatnya. Atau sungguh, apa yang dimulai dengan berjalan secara alami berubah menjadi setengah joging.
Hari ini adalah hari Minggu yang dijanjikan. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi dan tempat pertemuannya sama dengan yang terakhir kali, plaza di depan stasiun. Aku bahkan memakai hal yang sama seperti sebelumnya: aku dan Orihara-san sama-sama memakai seragam sekolah kami.
“Um … aku tidak keberatan, tapi kenapa kau ingin kita memakai seragam sekolah hari ini?”
Itu merupakan permintaan Orihara-san agar kami berdua datang dengan seragam kami hari ini. Aku tidak keberatan, terutama karena aku tidak perlu memikirkan soal apa yang bakal dikenakan. Walau begitu, sangat disayangkan aku tak bisa melihat Orihara-san dengan pakaian sehari-harinya.
Orihara-san tersenyum dan mencengkeram ujung roknya dengan kedua tangan.
“Tak ada alasan khusus … aku cuma mau kencan sambil mengenakan seragam sekolah.”
Kencan. Tidak mungkin aku tidak merasa malu setelah memahami kata itu. Jadi ini benar-benar kencan.
“Baiklah, haruskah kita pergi, Momota-kun?”
“Tentu … kita pergi ke mana?”
“Aku belum benar-benar memutuskan … mari kita berkeliling saja.”
“Berkeliling?”
“Iya, berkeliling.”
Dengan senyum berseri-seri, Orihara-san berkata, “Mari kita berkencan seperti yang dilakukan para pelajar”.
Pertama adalah makan siang. Kami berdua memasuki restoran hamburger di dalam stasiun.
“Wow, sudah lama sekali aku tidak datang ke tempat seperti ini,” kata Orihara-san dengan mata berbinar.
Aku sering datang ke sini bareng teman-temanku, tapi untuk seseorang seperti dia yang bersekolah di SMA putri terkenal, sepertinya datang ke restoran seperti ini merupakan kesempatan langka.
Di dalam restoran ada banyak siswa seusia kami. Bahkan ada beberapa orang di sana yang melihat Orihara-san dan berbisik “Gadis dari Tourin itu imut,” membuatku merasa sedikit bangga.
Bersama-sama kami memesan dari set menu, dan atas permintaan Orihara-san kami membagi biaya di antara kami. Kami duduk di bilik di belakang dan mengobrol ringan sambil makan hamburger dengan harga terjangkau.
“Jadi, kau benar-benar bermain gim video, Orihara-san?”
“Aku bermain. Sebenarnya banyak! Pada hari libur, aku mungkin tidak akan melangkah keluar dan menghabiskan sepanjang hari bermain dengan gim video.”
“Apa yang kaumainkan sekarang?”
“Aku memainkan banyak gim yang berbeda, tapi menurutku yang paling sering kumainkan adalah Smash Bros.”
“Oh, aku juga memainkannya.”
“Betulkah?! Smash Bros sangat menyenangkan, bukan? Berapa pun usiamu, itu masih bagus! Aku telah memainkannya sejak 64. Aku sering memainkannya sehingga stik analog di tengah pengontrol jadi usang—”
“… Enam puluh empat? Apa maksudnya ‘enam puluh empat’?”
“Apa … oh! Itu benar, siswa SMA akhir-akhir ini tidak tahu soal 64. Kau tahu, aku … um … punya kakak perempuan, jadi ada 64 di rumah kami …. Jadi, Momota-kun, gim Smash Bros pertamamu di Cube?”
“C-Cube …? Tidak, yang pertama kumainkan adalah di Wii.”
“K-kau mulai dari Wii …?!”
Entah kenapa, Orihara-san terlihat seperti baru saja ditinju di usus kala wajahnya dipenuhi dengan keputusasaan.
Usai makan, kami mulai membicarakan tentang pergi ke karaoke … namun ….
“… Jangan pergi.”
“Y-ya.”
Kami datang jauh-jauh ke etalase tempat karaoke, tetapi kami berdua tidak mampu mengambil langkah lain sebelum menyerah. Sudah diduga, karaoke terlalu sulit bagi kami. Harus bernyanyi di depan yang lain sudah cukup memalukan, dan aku merasa kebersamaan di bilik karaoke kecil itu akan sangat canggung. Meski kami akhirnya tidak pergi ke karaoke, itu membuat kami berbicara tentang musik.
“Orihara-san, jenis musik apa yang kausuka?”
“Um, aku tak punya genre tertentu yang kusuka. Aku mendengarkan apa pun. Aku mendengarkan apa yang kurasakan saat itu, jadi apa aku tertarik pada perubahan.”
“Ah, aku juga seperti itu. Seringkali aku akan mendengarkan tema untuk drama dan anime dan terpikat pada genre lagu-lagu itu. Dari sana, aku akan membuat daftar putar ‘Terbaik’.”
“Oh. Aku melakukan itu juga.”
“Masa?”
“Ya, aku akan membuat daftar putar ‘Terbaik’ untuk setiap situasi. Aku sudah cukup lama melakukannya, kalau dipikir-pikir … sewaktu di tengah sekolah aku mendapatkan banyak sekali MD dengan daftar putar untuk hal-hal seperti, ‘Sewaktu Aku Sedih’ atau ‘Waktu Belajar’ dan seterusnya ….”
“… MD? Apa itu?”
“Apa …? Kau tidak tahu MiniDiscs?! Lalu, kau mendengarkan musik dengan apa …? Momota-kun, apa pemutar musik pertamamu …?”
“Hanya sebuah iPod.”
“… K-kau mulai di generasi iPod?!”
Entah kenapa, Orihara-san terlihat seperti dia baru saja memotong isi perutnya saat wajahnya dipenuhi dengan kesedihan.
Selanjutnya kami melangkah ke toko buku. Aku merasa bahwa kami tidak punya banyak kesamaan ketika membicarakan gim dan musik, tetapi ketika datang ke manga, kami benar-benar selaras.
“Momota-kun, kau banyak membaca manga lama, ya?”
“Nah, kebetulan ada banyak sekali peluang buat memperhatikannya. Selain itu, aku bakalan lihat di aplikasi manga bahwa mereka sedang diserialisasi ulang, mengembangkan minat dan membeli versi digitalnya, lalu membacanya di kafe manga, hal semacam itu.”
“Aku mengerti.”
“Bukan cuma itu, tapi juga masih banyak manga yang masih terbit yang penerbitannya dimulai sebelum kita lahir … dan, akhir-akhir ini ada manga yang diubah jadi anime.”
“Itu benar. Akhir-akhir ini di industri anime, banyak karya masa lalu dibuat ulang.”
“Sepertinya One Piece sudah ada sejak sebelum kita lahir; sebenarnya, ayahku membeli manga dan kami telah membacanya bersama sejak aku masih di SD.”
“… Oh, ayahmu. O-omong-omong, berapa usia ayahmu?”
“Um, dia 23 tahun lebih tua dariku, jadi … kupikir dia 38 tahun ini?”
“38 tahun?!”
“Ya … a-apa kau baik-baik saja?”
“Y-ya, ini bukan apa-apa ….”
Entah kenapa, mata Orihara-san melebar dan dia sepertinya hendak pingsan.
Sekitar jam 3 sore kami menuju Round One yang dekat dengan stasiun. Jika kita berbicara tentang tempat kencan standar untuk siswa di sekitar sini, maka itu pasti Round One.
Hari ini menjadi hari Minggu berarti itu benar-benar penuh sesak di bagian dalam gedung. Ada orang-orang dengan keluarganya, kelompok yang tampaknya pelajar, dan pasangan muda. Interiornya riuh dengan percakapan orang-orang dan musik yang diputar sebagai latar belakang.
“Wow, ini menakjubkan.”
Mata Orihara-san berbinar sewaktu dia melihat keluar dari meja resepsionis di lantai dua ke area bermain.
“Mungkinkah ini pertama kalinya kau datang ke Round One?”
“Sebenarnya, y-ya.”
Tak bisa menyembunyikan kegembiraannya, dia mengangguk kecil.
“Sepertinya … aku di SMA bukanlah yang seperti itu. Aku selalu tertarik, tapi aku tak punya teman untuk ikut denganku,” gumamnya dengan ekspresi murung. Dia lalu menatapku seakan-akan dia mengharapkan sesuatu.
“Momota-kun, apa kau sering datang ke sini?”
“Ya, sesekali.”
“Kalau begitu ….”
Dia lalu meraih lengan seragam sekolahnya dengan erat dan berkata, “Ajari aku bagaimana bersenang-senang di sini hari ini, Momota-kun.”
Gerakan dan kata-kata itu lebih dari cukup untuk menembakku menembus jantung seperti panah Cupid.
Walau kubilang bahwa aku akan mengajarinya, ternyata tidak benar-benar ada cara yang tepat untuk bersenang-senang di taman hiburan. Kau hanya harus melakukan apa pun yang kausuka.
Boling, tempat latihan memukul, bola basket mini, damak, pingpong, bulu tangkis, segway, gim video arkade, dan sebagainya—kami menikmati atraksi sebanyak waktu yang diizinkan. Seperti yang dilakukan para siswa, kami menikmati kencan dengan anggaran rendah yang sehat.
“Ahh … barusan itu menyenangkan. Sudah lama sejak aku melepaskan diri dan sering berpindah-pindah.”
Orihara-san meregangkan tubuh saat kami menunggu lift di lantai lima.
“Tapi kalau kupikir-pikir … Momota-kun, kau tidak terlalu atletis, 'kan?”
“Agh ….”
“Di tempat latihan memukul kau tidak bisa menyentuh satu bola pun. Terlebih lagi, kau terus meleset saat kita bermain bulu tangkis dan pingpong. Dan dribelmu saat bermain bola basket membuatmu terlihat seperti pria tua pikun—Oh. M-maaf! Aku enggak coba mengejekmu.”
Mungkin Orihara-san mengetahui bagaimana aku mulai depresi, karena dia menjadi bingung dan menambahkan, “Maksudku, um, kau terlihat i-imut!”
“… Itu tidak membuatku senang.”
“Aku tidak berniat menjelek-jelekkanmu. Aku hanya terkejut … Momota-kun, kau sangat tinggi dan berotot yang kupikirkan kau pasti berolahraga.”
“… Aku sudah cukup buruk dalam olahraga selama ini.”
Sedari dulu, karena aku sangat tinggi, aku mempunyai banyak pengalaman dengan orang-orang yang mengharapkanku pandai olahraga dan kemudian kecewa padaku. Serius, banyak pengalaman. Ketika aku masuk SMA, aku mendapat undangan untuk bergabung dengan klub bola basket dan klub bola voli. Ketika mereka tidak akan menyerah, aku dengan enggan berpartisipasi dalam praktik percobaan …. Setelah itu, tak ada yang mengundangku lagi.
“Aku punya otot karena terkadang aku membantu pekerjaan ayahku … tapi bagaimanapun juga, kau juga tidak terlalu atletis, Orihara-san.”
“Ah ….”
“Setelah giliranku di latihan memukul, kau melangkah dengan sombong dan berkata, ‘Biarkan seorang wanita menunjukkan kepadamu bagaimana itu dilakukan,’ dan kemudian, sepertiku, kau tidak memukul satu bola pun.”
“S-salah! Aku bisa menyentuh satu bola! Aku mendengarnya berbunyi ‘centang’!”
“Itu hal yang sama!”
“Tidak, itu artinya aku sedikit lebih baik!”
“… Pfft.”
“Hahaha.”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak karena semua itu terdengar konyol. Lift tiba, dan kami turun ke lantai satu. Ini sangat menyenangkan. Aku penasaran apakah kau mau menyebut momen seperti ini “kebahagiaan”?
Sepertinya suasana hati kami sedang bagus. Kalau aku bertanya sekarang, sepertinya aku benar-benar bisa mengatur kencan lain. Aku sudah membiarkan dia sepenuhnya memimpin sampai sekarang. Hari ini adalah hari aku secara pribadi akan membawa banyak hal ke tahap berikutnya. Hari ini aku akan lulus dari sikap pasif.
Kami turun dari lift, dan saat kami menuju ke Pusat Arkade ke pintu keluar, di kepalaku, aku dengan mati-matian membahas undangan untuk kencan berikutnya yang kupikirkan kemarin. Dan saat aku hendak mengatakannya—
“—?! S-sembunyi!”
Saat itulah aku menyadari tubuh Orihara-san gemetar, dia meraih tanganku.
“Tunggu apa?”
“Kursi … orang yang aku kenal dari sekolah ada di sini! Kumohon! Bersembunyi denganku!”
Orihara-san meraih tanganku dengan panik dan menarikkuke dalam bayang-bayang di antara mesin purikura. Jarak antara kedua mesin cukup sempit, jadi tubuh kami saling menempel kuat.
“!!!”
“Maaf, Momota-kun. Kau baik-baik saja?”
“Y-ya.”
Sebenarnya, aku jauh dari baik-baik saja. Ini buruk … karena berbagai alasan. Kami berdua saling berhadapan, jadi dada Orihara-san yang berlimpah benar-benar menyentuhku. Kedua gundukannya terjepit. Mereka lembut, namun kaya akan kekenyalan. Bahkan melalui blazernya, kekuatan penghancurnya luar biasa.
“… Apa yang akan kulakukan kalau mereka melihat kita?!”
Mungkin karena dia sangat bingung, Orihara-san sangat fokus pada pergerakan kenalannya dan tidak memperhatikan seberapa dekat kami. Ceroboh dan tanpa ragu, payudara besarnya didorong ke atas ke arahku, dan aku bisa merasakan napas hangatnya di leherku. Buruk, ini tidak bagus ….
“Ugh … Momota-kun, masuk lebih dalam … ahn … kau sangat b-besar ….”
Cabul! Orihara-san, itu terlalu cabul!
Otakku tahu maksudnya karena aku begitu tinggi, dia ingin aku masuk lebih dalam ke dalam bayang-bayang, tapi kedengarannya bukan itu!
“Fiuh … bagus. Sepertinya mereka menuju ke bilik karaoke.”
Orihara-san mendesah lega saat dia melihat ke lorong.
“Sungguh melegakan … itu hampir—gawat!”
Setelah bahaya berlalu, Orihara-san menjadi tenang dan akhirnya menyadari situasi yang kami hadapi. Dia melompat keluar dari antara mesin purikura dengan panik.
“Maaf, Momota-kun … maksudku, aku tidak bermaksud untuk mendorongnya padamu.”
Sama sekali bukan masalah. Bahkan, aku berharap kau lebih mendorongnya padaku—adalah sesuatu yang pasti tak bisa kukatakan. Aku hanya perlu mengalihkan pandangan dan mengatakan padanya “… B-bukan masalah.”
Aku bersiap untuknya berteriak “Kya~! Mesum!” dan menampar wajahku, tapi yang mengejutkan, dia meminta maaf kepadaku. Aku ingin tahu, mungkinkah dia seorang bidadari? Atau mungkin bahkan seorang dewi?
“Meski ketika kau berhenti dan memikirkannya, sebenarnya tak ada alasan bagi kita berdua untuk bersembunyi. Kau bisa saja bersembunyi di dalam bilik purikura sendirian, Orihara-san.”
“Oh ya … aku sangat bingung sampai-sampai aku tidak memikirkannya ….”
Orihara-san menyeringai malu dan kemudian menatap mesin purikura dengan tatapan nostalgia. di matanya.
“Hei, Momota-kun. Kalau mau, maukah kau memasuki purikura denganku?”
“Purikura?”
“Aku … tidak pernah benar-benar masuk. Kau sudah, Momota-kun?”
“Hanya, seperti, dulu sekali, saat aku dipaksa untuk minum dengan kakak perempuanku.”
Itu ketika aku masih di sekolah dasar. Aku pernah mendengar bahwa purikura sangat populer sekitar sepuluh tahun sebelumnya, khususnya di antara gadis SMA dan atas pada saat itu. Namun, berkat smartphone yang menjadi hal biasa, sekarang tidak begitu.
“Mari kita ambil satu, sebagai kenangan hari ini.”
Didorong Orihara-san, kami melewati tirai putih purikura.
“Wow …. B-bagaimana kita melakukan ini?”
“Aku yakin kalau kau menaruh uang di sini.”
“A-a-apa?! Apa semua desain bingkai yang berbeda ini? Yang mana yang kita pilih?!”
“Mungkin tak apa-apa kalau kita memilih apa saja, 'kan?”
“Oh tidak, Momota-kun! Pewaktunya hampir habis!”
“Tidak apa-apa kalau pewaktunya habis. Ini cuma akan berpindah ke layar berikutnya … kurasa.”
Meskipun tidak benar-benar tahu harus apa, kami coba-coba saat melalui sesi foto. Suara mesin purikura itu terlalu bersemangat karena memberi kami instruksi satu demi satu, seperti “Selanjutnya, mari saling berpelukan erat!”, “Tekan wajah Anda bersama-sama dan mendekatlah!”, dan seterusnya, yang semuanya sama sekali tidak sesuai dengan suasana hati. Mencoba yang terbaik, kami saling memberi ruang dan berdiri bersebelahan sambil dengan canggung membuat tanda peace.
“Apa sudah diambil fotonya?”
“Ya, dan di sini kita bisa menambahkan orat-oret.”
“Orat-oret …? A-aku tidak terlalu paham, jadi kau saja yang lakukan. Momota-kun!”
“T-tidak mungkin, aku tak tahu apa-apa tentang hal semacam ini!”
Sekali lagi, meskipun tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan, kami coba-coba saat menambahkan orat-oret. Karena kami hanya menambahkan nama dan tanggal hari itu, pekerjaan akhir kami cukup ortodoks.
Setelah sekitar satu menit, gambar selesai kami keluar dari sisi mesin purikura. Kami menggunakan gunting di meja terdekat untuk membagi gambar di antara kami.
“Oh wow, ini benar-benar purikura! Purikura pertamaku!”
Cara mata Orihara-san berbinar seperti melihat seorang anak yang baru saja mendapat hadiah dari Santa.
“Terima kasih telah mendengarkan permintaanku, Momota-kun.”
Saat dia mengatakan itu, dia memeluk purikura ke dadanya. Penampilannya saat ini memancarkan suasana ketenangan yang samar.
“Aku akan mengingat hari ini selama sisa hidupku.”
“….”
Entah kenapa, aku merasakan sakit yang luar biasa di dadaku. Dia tersenyum. Dia terlihat sangat bahagia, dan dia tersenyum. Aku, di sisi lain, terlihat seperti berusaha keras untuk menahan air mata. Melakukan yang terbaik untuk memaksakan senyum, aku menahan diri. Aku merasa kesepian, cepat berlalu, dan lemah. Terlepas dari semua itu, aku mengambil keputusan dan dengan senyum pahit—
“… Eh, Momota-kun?”
Sebelum aku menyadarinya, aku menggenggam tangannya yang memegang purikura. Rasanya kalau tidak kugenggam, dia akan pergi ke suatu tempat. Meskipun dia sangat dekat, dia mendadak seperti keberadaan samar yang akan hilang kapan saja. Purikura kami secara tak terduga jatuh dari tangannya.
“Aku mencintaimu, Orihara-san.”
Aku tidak mempersiapkan diri. Tanpa pikiran atau alasan, aku memercayakan diriku pada dorongan hati dan naluri, dan mengungkapkan perasaanku dengan kata-kata. Aku segera diserang oleh penyesalan yang intens dan perasaan malu. Jantungku berdebar sangat kencang sehingga aku tak bisa memercayainya, dan seluruh tubuhku mulai bergetar; rasanya darahku mengalir ke belakang.
Bahkan aku tidak memahaminya. Namun—aku tak bisa menahan perasaan tak sabar ini. Kalau aku melewatkan momen ini, sepertinya aku takkan pernah bisa melihatnya lagi. Orang di depanku ini, Orihara Hime, akan hilang selamanya. Perasaan kehilangan itu membuat pikiranku gila.
“Wh … ah.”
Mata Orihara-san melebar dan dia tercengang. Aku bisa merasakan dia gemetar dari pergelangan tangannya yang kurus saat aku menggenggamnya. Dia tampak ketakutan, dan aku mulai merasa bersalah. Tetap saja, aku tak bisa kembali. Aku menekan ketakutan dan kegugupanku, dan mengumpulkan kata-kata dari lubuk hatiku. Ini akan jadi pengakuan cinta pertamaku.
“Aku … aku mencintaimu, Orihara-san. Mungkin sejak pertama kali aku melihatmu.”
Sepertinya jangan berkata “mungkin”. Tapi ini adalah perasaanku yang sebenarnya dan pikiran jujurku. Aku tak tahu apakah itu cinta pada pandangan pertama, tapi saat ini ada bagian dari diriku yang mengatakan “Aku ingin menjadikannya cinta pada pandangan pertama”. Aku ingin dengan jujur percaya, mungkin karena suatu kesalahan, bahwa semuanya adalah takdir, dan bahwa kami berdua memang ditakdirkan untuk bertemu dan benar-benar bertemu. Dan aku ingin menerima keyakinan itu dan mengubahnya menjadi keberanian.
“Meski kurang dari seminggu sejak kita pertama kali bertemu … kau mungkin berpikir ‘Apa yang orang ini katakan?’ … Tapi, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, aku tak bisa menahannya. Sejak aku bertemu denganmu … kaulah satu-satunya hal yang kupikirkan.”
Aku teringat perkataan temanku Ura.
“Kau cuma mau bercinta dengannya, 'kan?”
“Aku tidak akan membiarkanmu mengatakan itu setelah hanya tiga hari kau jatuh cinta dengan apa yang ada di dalamnya juga.”
Tentu saja, penampilan adalah hal yang besar. Aku sangat menyukai penampilan Orihara-san. Baik itu muka atau tubuhnya, keduanya benar-benar tipeku. Dan kalau aku bilang aku tidak ingin berhubungan seks dengannya, aku akan berbohong. Kalau seseorang mengkritikku dengan bilang aku hanya seorang perjaka yang bernafsu akan cinta, aku tidak perlu membalasnya. Tapi bukan begitu. Ini bukan hanya soal nafsu.
Kami baru bertemu beberapa kali, tapi saat-saat aku bersamanya sangat menyenangkan sehingga aku tak bisa menahan diri. Aku tak ingin kehilangan ini atau merelakannya. Aku ingin menjadikan momen kebahagiaan ini menjadi sesuatu yang abadi. Sekali pun semuanya berawal dari nafsu, saat ini juga aku ingin bisa menyebut perasaan yang mengamuk ini sebagai “cinta”.
“Menurutku kita belum saling mengenal. Tapi, dari sini, aku ingin tahu lebih banyak, sedikit demi sedikit. Aku ingin mengenalmu, dan aku ingin kau mengenalku. Orihara-san … aku ingin lebih sering bersamamu.”
Aku ingin lebih banyak bersama.
Aku ingin lebih mengenalnya.
Aku ingin dia lebih mengenalku.
Dengan mengetahui lebih banyak, dan lebih dikenal, aku ingin jatuh cinta lebih dalam lagi.
Ini pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini.
Kana bilang bahwa tak ada yang menarik dari seorang pria yang hanya pasif, dan bahwa semua pangeran mengambil tindakan. Kalau begitu, aku harus mengambil inisiatif.
Walaupun seorang pangeran yang baik dan tampan harus secara aktif bergerak ketika dia ingin mendapatkan sang putri, maka tidak mungkin apa pun akan berubah untuk perjaka sepertiku kalau aku tetap pasif. Kalau aku tidak mengumpulkan keberanianku dan mengungkapkan perasaan ini dengan kata-kata, dunia tidak akan berubah.
“Aku mencintaimu, Orihara-san. Tolong pacaranlah denganku.”
Aku mengatakannya. Aku sangat gugup dan bersemangat hingga kepalaku rasanya hendak mencapai titik didihnya, tetapi entah bagaimana aku mengungkapkan perasaanku dengan kata-kata. Sepertinya detak jantungku tidak akan tenang.
Waktu yang dibutuhkannya untuk merespons terasa sangat lama. Tidak tahan keheningan yang sepertinya berlangsung sangat lama, aku mengangkat wajahku dengan penuh ketakutan, dan hal pertama yang menarik perhatianku adalah—
“….”
Air mata. Orihara-san menangis. Dengan ekspresi seperti jiwanya telah meninggalkan tubuhnya, dia diam-diam meneteskan air matanya. Aku secara refleks melepaskan tangannya yang selama ini aku pegang.
“O-Orihara-san …?”
Dia menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya sambil dia mulai menangis. Namun, tangannya tidak cukup untuk menghentikan luapan air matanya, dan mulai membasahi pipinya.
“… M … aaf.”
Di antara isak tangis dia berbicara kepadaku, dan aku mendengarkan dengan bingung.
“Maafkan aku.”
Aku merasa semuanya berhenti. Waktu, napasku, hatiku, dunia, segalanya.
Tetap, terlepas dari semua, otak dan pikiranku tenang.
“Maaf”, mungkin itulah cara standar untuk menolak pengakuan cinta seseorang. Biarpun memikirkan kau tidak berbuat salah, dan biarpun kau tidak mempunyai keterikatan emosional dengan orang yang mengungkapkan kasih sayang kepadamu, mengatakan “maaf” demi kesopanan adalah salah satu etiket di negara ini.
Namun—
“Maaf … maafkan aku … m-maaf.”
Sepertinya Orihara-san mengulangi “Maaf” berulang kali seperti semacam puji-pujian. Berulang kali meminta maaf sambil dia menangis yang sepertinya bukan demi kesopanan. Dia meminta maaf dari lubuk hatinya.
Setelah berkata “Maaf” berulang kali, dan tanpa menghapus air matanya, dia pergi seperti sedang melarikan diri. Dan yang bisa kulakukan hanyalah berdiri di sana. Purikura yang dia jatuhkan masih ada di sana. Dalam gambar itu kami terlihat begitu polos dan bahagia, dan meskipun itu baru saja terjadi beberapa menit yang lalu, rasanya seperti terjadi di dunia yang berbeda.
Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti sama sekali. Satu-satunya hal yang bisa kukatakan adalah, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menyatakan cintaku. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, hatiku hancur.
Post a Comment
Ayo komentar untuk memberi semangat kepada sang penerjemah.