Choppiri Toshiue Jilid 1 Bab 2

Esoknya ialah hari Senin, tetapi aku lupa membeli buku Jump dan tidak menyadarinya sampai sepulang sekolah. Sudah berapa tahun sejak aku lupa membeli Jump pada hari peluncurannya?

“Hahaha, sayang sekali, Momo.”

Terlepas dari kata-kata baik yang keluar dari mulutnya, Ura tak bisa menahan tawa kala dia dengan akrab menampar bahuku sedangkan aku dibungkus di atas meja seperti amuba. Kami berkumpul di ruang kelas kosong bersama Kana, mendiskusikan apa yang terjadi selama kencan itu.

“Sepertinya Momo mempunyai darah introver elite yang mengalir di nadinya, sama sepertiku. Meskipun kau terobsesi dengan romansa, kebanggaan darah introvermu tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja.”

Aku biasanya memainkan pria lurus dan menyela sesuatu seperti “Apa itu introver elite?” tapi hari ini aku tidak ingin mengatakan apa-apa. Aku sudah seperti ini sejak pulang sehari sebelumnya. Rasanya seperti ada lubang yang keluar dari dadaku.

“Meski begitu, cewek Orihara itu adalah wanita nakal. Dia dengan rela mengajakmu berkencan, tetapi ketika kau memberi tahunya bahwa kau mempunyai perasaan padanya, dia berkata ‘Maaf’? Betapa plin-plannya, bukan? Aku cuma bilang, kalau tak ada kesempatan, dia tidak seharusnya bersikap baik. Dia mungkin baru saja mulai merasa menarik karena dia punya pria di sakunya. Itu menyebalkan, Momo. Tertangkap oleh wanita berengsek yang haus perhatia—h-heeei?!”

Saat aku menyadarinya, aku sedang meraih kerah kemeja Ura.

“Yep!”

“Oh … maaf.”

Setelah melihat wajah ketakutannya yang tidak normal, aku mendesah dan melepaskannya. Ura berlinang air mata berlari bersembunyi di belakang punggung Kana secepat kilat.

“B-berengsek! K-kau ingin berkelahi?! Kalau kau ingin berkelahi, aku bakal marah! Dan saat aku marah, aku benar-benar gila! Saat aku marah, aku tidak ingat apa-apa, tapi aku menjadi mesin pembunuh berdarah dingin! Aku bahkan bisa menggunakan apa pun yang ada di dekatku, bahkan alat tulis, untuk secara akurat menusuk titik-titik vital tubuh manusia.”

“Kau sepertinya mengingat banyak hal.”

Kana dengan tenang menusuk pada komentar Ura sambil dengan lembut mengelus kepalanya.

“Itu salahmu, Ura. Apa yang kaukatakan benar-benar terlalu tidak sensitif.”

“B-bahkan kau, Kana ….”

Ura menyusut saat dia menjadi depresi.

“Aku cuma … marah karena wanita yang mempermainkan kepolosan Momo.”

“Aku tahu kau mencoba menghibur Momo dengan caramu sendiri. Tapi cinta tidak sesederhana itu.”

Kana mengalihkan pandangan dinginnya ke arahku.

“Kau bekerja keras, Momo. Bahkan terlihat seperti kau memaksakan diri.”

“… Ya.”

Pujiannya menusuk tulang. Sebenarnya, dia sangat keren sampai membuatku kesal. Sigh, aku ingin tahu apa sebaiknya aku berkencan dengan Kana. Aku muak dengan wanita. Kudengar dia sudah punya pacar, tapi aku tidak keberatan menjadi bagian lainnya— atau begitulah aku mulai berpikir, sebelum aku melompat dari pikiran bodoh itu dan mengangkat muka. Aku bersandar di kursiku, menatap langit-langit, dan bernapas dalam-dalam.

“Agh … sial. Aku serasa jadi sampah ….”

Itu semua baru saja terjadi, jadi tidak mungkin aku akan sembuh. Sejujurnya, aku ingin bolos sekolah, tapi demi kehadiran sempurnaku, aku menyeret diriku ke sekolah. Selain itu, daripada sendirian di rumah, aku ingin seseorang mendengarkan keluhanku. Aku ingin melampiaskan semua pikiran yang sulit diproses ini kepada teman-teman baikku.

“… Bukan berarti aku menghitung peluang suksesku. Ada sebagian dari diriku yang mungkin berpikir aku bisa melakukannya. Maksudku, dialah yang mengundangku, dan terlebih lagi, dia kelihatan sedang bersenang-senang saat kami bersama ….”

Kupikir aku punya kesempatan, tapi jangan-jangan akunya saja yang kelewat jemawa. Jangan-jangan cuma aku yang masih perjaka yang tidak terbiasa dengan perempuan dan salah menafsirkannya sebagai sopan karena bersenang-senang.

“Sungguh … apa-apaan itu?”

Apa-apaan itu? Minggu apa ini? Apa Momota Kaoru bagi Orihara Hime?

“Hei, Momo. Nama gadis itu adalah Orihara Hime, 'kan?” Kana tiba-tiba bertanya dengan ekspresi serius di wajahnya.

“Y-ya. Memangnya kenapa?”

“Aku merasa tidak enak melakukannya, tapi … secara pribadi aku memeriksanya sedikit. Aku penasaran soal gadis seperti apa yang membuatmu jatuh cinta, jadi aku bertanya kepada beberapa temanku di Tourin soal orang seperti apa dia.”

“Kau melakukan itu selama ini?”

“Mereka bilang dia tak ada di sana ….

“Dia tak ada di sana, Momo. Sepertinya tak ada siswa kelas satu Tourin yang bernama Orihara Hime.”

“Apa…? Tak ada di sana? A-apa maksudmu?”

“Maksudku cuma itu. Aku bertanya pada lima orang atau lebih yang berbeda tapi tak ada yang tahu soal dia. Bahkan setelah mereka mencarinya, mereka tak bisa menemukannya. Orihara Hime bukan salah satu siswi di Tourin.”

“….”

Aku tak mengerti. Tak ada? Apa maksudnya itu?

“… Apa itu berarti namanya palsu?”

“Kurasa itu bisa saja. Tapi aku curiga ada kemungkinan lain. Mungkinkah gadis itu sama sekali bukan seorang siswi di Tourin?”

“Apa? Apa katamu? Orihara-san mengenakan seragam Tourin—”

“Kau hanya melihat seragamnya, 'kan? Bukan berarti kau pernah melihat ID sekolahnya atau melihatnya pergi ke Tourin. Kau juga belum pernah melihatnya bersama teman-teman dari Tourin. Momo, apa alasanmu berpikir bahwa dia adalah siswi dari Tourin, selain seragamnya?”

“….”

Tak ada kata yang keluar. Ketika aku memikirkannya, yang kupikirkan hanyalah seragamnya. Tak ada apa pun selain seragam untuk membuktikan bahwa dia adalah siswi dari Tourin.

Orihara-san yang kukenal selalu memakai seragam sekolah. Bahkan selama kencan di hari Minggu. Hampir seperti dia sedang pamer. Hampir seolah-olah—hampir seolah-olah dia sedang menunjukkan dirinya sebagai gadis SMA yang pergi ke Tourin.

“Hmm. Kupikir dia sudah agak mencurigakan,” Ura menimpali dengan ekspresi patuh di wajahnya.

“Seminggu yang lalu ketika kau hampir terlambat ke sekolah, katamu kau menyelamatkan gadis itu ketika dia bertemu peleceh itu, tapi … tidak mungkin seorang gadis yang pergi ke Tourin akan naik kereta pagi yang sama denganmu.”

Itu … juga sesuatu yang membuatku ragu. Aku hanya dengan seenaknya memutuskan bahwa dia mungkin lupa sesuatu dan tidak memikirkannya lebih jauh.

“Momo, mungkinkah … kau begitu putus asa sampai melihat ilusi seorang gadis yang tidak ada?”

“T-tidak mungkin begitu.”

Ura terlalu kasar, tapi aku tak bisa membalas dengan kuat. Aku bisa merasakan diriku menjadi pucat saat perasaan tidak nyaman yang tak terlukiskan muncul dari kakiku dan secara bertahap menyelimuti tubuhku.

“Kalau dia bukan ilusi … lalu dengan siapa kau jatuh cinta?”

Aku tak bisa menjawab. Orihara-san—Orihara Hime-san. Siapa gadis yang kucintai? Apa dia benar-benar semacam hantu atau roh? Mendadak aku serasa tidak yakin dengan semua yang terjadi minggu lalu. Kalau ada yang bilang “Itu semua hanya mimpi”, aku mungkin akan percaya tanpa pikir panjang.

Saat perasaan menakutkan mulai mencengkeram semakin erat, sakuku yang bergetar membawaku kembali ke kenyataan.

Aku melihat ke layar—aku merasa terkejut dan lega pada saat bersamaan. Itu adalah pesan dari Orihara-san. Kejutan datang dari kenyataan bahwa dia menghubungiku; kelegaan datang dari kepastian bahwa keberadaannya bukanlah mimpi.

Tak ada salam resmi yang biasa. Pesan itu terasa sangat dingin dan langsung mengarah ke pembicaraan.

“Maaf karena kemarin aku tiba-tiba pulang. Kalau kau punya waktu, aku ingin kau bertemu denganku. Aku ingin menjelaskan semuanya.”

Tempat yang ditunjuk adalah restoran santai yang dekat dengan stasiun. Aku datang lebih awal, duduk di kursi bebas rokok di belakang dan hanya memesan minuman isi ulang. Melihat ke luar jendela, aku bisa melihat bahwa matahari sudah mulai terbenam. Siswa yang pulang dari kegiatan klub mengendarai sepeda mereka di aspal yang berjemur di bawah sinar matahari sore. Setelah sekitar lima menit, Orihara-san muncul.

“S-selamat sore.”

“… Ya.”

Sambutan yang entah bagaimana berhasil kuucapkan adalah jawaban yang biasa saja. Muka Orihara-san muram saat dia menundukkan kepalanya. Riasannya tampak lebih tebal dari biasanya. Pakaiannya … adalah seragam Tourin yang sudah kulihat berkali-kali. Meskipun orang ini seharusnya bukan siswi SMA Putri Tourin—

Dia menekan tombol di atas meja dan juga hanya memesan minuman isi ulang. Ketika staf restoran pergi, kecanggungan yang mengerikan mengikuti …. Aduh, ini sulit diterima.

Sungguh, bagaimana situasi ini? Kenapa aku harus sendirian dan bertatap muka dengan orang yang mencampakkanku sehari setelah membuatku patah hati untuk pertama kalinya sepanjang hidupku?

Sejujurnya, sangat ingin kutolak undangannya. Tapi, tidak mungkin aku tidak datang. Tidak mungkin aku tidak mendengarkannya. Aku ingin tahu.

Siapa sih wanita yang kusukai ini—

“… Pertama, aku akan mengatakan ini.”

Orang yang memecah keheningan adalah Orihara-san. Dia berbicara dengan biasa saja, dengan suara rendah seolah dia menekan perasaannya.

“Karena aku tak ingin kau punya harapan aneh apa pun, akan kukatakan ini dengan jelas. Aku … tak bisa pacaran denganmu. Kalau aku memberimu gagasan yang salah dengan memanggilmu ke sini hari ini, aku minta maaf.”

“… Tentu.”

Ini menyebalkan. Dia hanya membuang-buang waktu. Bukannya aku tidak punya sedikit harapan, tapi dijelaskan begitu lebih berat dari yang kubayangkan.

“Hari ini, alasan aku membuatmu bertemu denganku adalah … Momota-kun, aku ingin mengatakan yang sebenarnya.”

“Sebenarnya?”

“Selama ini, ada sesuatu yang aku sembunyikan … tidak, itu salah. Bukan sembunyikan, aku telah berbohong padamu selama ini.”

Orihara-san memiliki wajah seperti dia kesakitan kala dia melanjutkan.

“Kalau kita berpisah seperti ini, aku merasa itu akan tidak jujur, jadi … sekarang aku akan mengakhiri ini, izinkan aku menjelaskan semuanya.”

Orihara-san berkata “tolong tunggu di sini sebentar”, berdiri dari tempat duduknya, dan keluar dari restoran keluarga.

Sembunyikan? Berbohong? Apa maksudnya itu? Maksudku, dia baru saja sampai, jadi kenapa dia meninggalkan restoran?

Pikiranku serasa akan terkubur di bawah pertanyaan yang tiada habisnya ini, tapi aku menuruti ucapannya dan meminum kopiku saat menunggunya.

Ketika aku menghabiskan secangkir kopi keduaku, seorang wanita yang mengenakan setelan jas berjalan ke arahku. Dia tampak seperti pekerja kantoran. Rambut hitamnya diikat dari belakang, dan dia memakai kacamata berbingkai tebal. Sepatunya berdetak di lantai saat dia berjalan di antara meja-meja restoran. Kupikir dia sedang menuju ke kamar kecil, tetapi dia berhenti di tempat dudukku. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia duduk di hadapanku, di kursi tempat Orihara-san sebelumnya.

“… Apa? U-um, maaf, aku punya teman yang akan segera datang.”

“S-senang bertemu denganmu, Momota Kaoru-kun.”

Mengabaikan kebingunganku, wanita itu berbicara dengan suara yang membuatku merasa dia gugup dan canggung. Dan begitu aku mendengarnya … pikiranku kacau balau.

Itu—itu suaranya.

Sekali lagi, aku menatap langsung ke wanita itu. Rambutnya, pakaiannya, semua tentangnya tampak seperti orang yang berbeda. Tapi, kalau diperhatikan dengan cermat, wajahnya persis sama. Itu dia.

“Namaku Orihara Hime …. Usiaku d-dua puluh-tujuh tahun.”

Apa yang bisa kukatakan? Gadis SMA yang kucintai itu … sebenarnya berusia 27 tahun.

Post a Comment

0 Comments