Choppiri Toshiue Jilid 1 Bab 3

“Harumi Seikatsu Co. Ltd.

Divisi Pemasaran

Kepala Pemasaran Langsung

Orihara Hime”

Kartu nama yang kupegang tertulis dengan hebat.

Harumi Seikatsu, ya? Bahkan aku tahu soal mereka. Mereka adalah perusahaan yang iklannya kulihat daring dan di TV setiap saat menjual kosmetik dan suplemen. Kupikir kantor pusat utama mereka ada di Tokyo, tapi seharusnya ada kantor cabang di sekitar sini ….

Selain kartu nama, dia juga menunjukkan ID karyawan dan SIM-nya.

“… Dengan ini, apakah kau mengerti sekarang?” Orihara-san yang mengenakan setelan jas berkata dengan wajah agak malu. Yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk. Setelah diperlihatkan bukti mutlak seperti kartu bisnis dan SIM-nya, itu sudah tak bisa diragukan lagi. Orihara-san bukanlah seorang pelajar. Dia sudah dewasa, anggota masyarakat, karyawan di sebuah perusahaan, dan berusia dua puluh tujuh tahun.

“Karena berbohong kepadamu dan berkata aku seorang siswi SMA … aku sangat menyesal.”

“T-tak masalah.”

Meskipun dia meminta maaf dengan sopan, aku belum siap secara emosional untuk menerima permintaan maafnya. Pikiran dan hatiku kewalahan, dan aku tak tahu harus berbuat apa.

Orihara-san mengajukan pertanyaan padaku saat aku duduk di sana tanpa mengatakan apa-apa.

“A-apa kau benar-benar tidak menyadarinya …?”

“Apa?”

“Bahwa aku bukan siswi SMA.”

“… Tidak.”

“Tidak sama sekali? Tidak sedikit pun? Kau sama sekali tidak sadar? Tidak terlihat aku terpaksa?”

“… T-tidak, tidak sama sekali.”

“S-sungguh. Hmmm, begitu.”

Wajah Orihara-san sedikit tersenyum. Dia tampaknya melakukan yang terbaik untuk mempertahankan ekspresi tenang, tapi sepertinya dia tak bisa menahan kebahagiaannya.

“Tidak. Maksudku … tidak mungkin aku menyadarinya, 'kan? Siapa sangka di usia mereka, orang dewasa tanpa malu-malu berjalan di sekitar kota berpakaian seperti seorang gadis sekolahan—oh.”

Pada saat aku menyadari kesalahan ucapku, itu sudah terlambat. Orihara-san terpuruk di atas meja seperti dia baru saja terluka parah. Wajahnya tampak seperti menggeliat kesakitan di ambang kematian. Kata-kata “Bunuh aku” terlihat jelas tertulis di seluruh wajahnya.

“M-maaf.”

“… Tidak, bukan apa-apa. Aku tahu apa yang kulakukan cukup bikin jijik …. Sungguh, kenapa jadi seperti ini?”

Orihara-san secara perlahan mulai mengangkat kepalanya kembali saat dia bergumam dengan sedikit mencela diri sendiri. Sekali lagi aku menatapnya.

Sejujurnya, ini terasa sangat aneh. Bagiku, dia hanya terlihat seperti gadis SMA yang hanya mengenakan setelan jas. Tapi itu tidak benar. Itu salah. Apa aku hanya berpikir seperti itu karena dia mengenakan blazer sekolah pertama kali aku melihatnya?

Wanita dewasa di depanku yang mengenakan setelan ini adalah Orihara Hime yang asli. Ini dia yang sebenarnya.

“… Jadi itu bohong, semuanya.”

Kata-kata itu keluar dari bibirku seperti desahan. Aku tidak mencoba untuk mengkritiknya, tapi Orihara-san menggigit bibirnya seperti sakit.

“Kau pergi ke Tourin, kita seumuran ….”

“… Itu benar. Aku sungguh minta maaf.”

“Ulang tahunmu, dan lahir di Tahun Ular?”

“B-bagian itu benar.”

Orihara-san dengan cepat menyela bagian terakhir ini. Sepertinya dia mengatakan yang sebenarnya tentang hari ulang tahun dan tanda zodiaknya.

Dia lahir di Tahun Ular sepertiku—yang artinya ….

“… Oh, begitu. Kita selisih dua belas tahun.”

Dua puluh tujuh tahun dan lima belas tahun, perbedaan umur dua belas tahun.

“Kita bahkan tidak terpisah dua belas tahun penuh! Ini cuma sebelas tahun sepuluh bulan!” teriak Orihara-san dengan suara keras seolah-olah itu adalah satu hal yang tak bisa dia relakan. Namun, karena malu pada dirinya sendiri karena menjadi begitu serius, dia menambahkan dengan suara kecil, “… Yah, pada dasarnya ini adalah dua belas tahun ….”

Aku lima belas tahun, dan aku lahir pada akhir September, jadi kalau Orihara-san berusia dua puluh tujuh tahun dan lahir pada awal Desember … perbedaan usia kami memang terlihat sebelas tahun sepuluh bulan. Itu hanya sedikit kurang dari dua belas tahun. Tetap saja, itu nyaris dua belas tahun.

“Um … bolehkah aku mengajukan pertanyaan dasar?”

“S-silakan.”

“Kenapa kau berpakaian seperti seorang siswi SMA?”

“… Orang dewasa itu rumit.”

Mengenai pertanyaanku yang menyentuh inti permasalahan, Orihara-san mengalihkan pandangannya dan berbicara dengan tidak nyaman.

Ah, begitu. Kurasa itulah yang dia sukai, ya ….

“Y-yah, setiap orang punya hobi masing-masing.”

“Apa … enggak!”

Aku mencoba menerima apa yang dia katakan dan mengabaikannya, tetapi dia menggelengkan kepalanya dengan gusar.

“Bukannya aku ingin melakukannya, mengerti!”

“Huh? Berpakaian seperti anak sekolahan dan berjalan keliling kota bukanlah hobimu?”

“Bukan! Aww, ya ampun, aku akan memberimu keseluruhan ceritanya, jadi dengarkan!”

Setelah menatapku dengan tatapan putus asa, dia mulai berbicara sambil terlihat sangat malu.

“Um … aku harus mulai dari mana, ya. Pertama … aku menghadiri Tourin itu memang benar. Hanya saja itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu.”

Sepuluh tahun yang lalu. Orang ini bersekolah di SMA sepuluh tahun yang lalu—apa sebelum smartphone ada? Ketika purikura berada di masa jayanya?

“Aku punya teman SMA yang masih dekat denganku. Namanya Yuki-chan …. Sehari sebelum aku bertemu denganmu, aku mengunjungi rumah Yuki-chan dan kami minum.”

Dia “minum”, seperti alkohol, mungkin. Orihara-san berusia dua puluh tujuh tahun dan pada usia di mana dia boleh mengonsumsi alkohol.

“Sudah lama sekali sejak terakhir kali kami bertemu, jadi kami terus berbicara dan minum …. Saat kami menyadarinya, kami berdua sudah mabuk berat.”

Dalam keadaan mabuk itu, temannya Yuki rupanya berkata, “Hime, dengan muka tampak muda begitu. Kau mungkin bisa dianggap sebagai anak sekolahan, ya?”

“… Setelah itu, Yuki-chan mengeluarkan seragam SMA-nya. Karena aku betulan mabuk, aku seperti ‘Tentu, bagaimana kalau kucoba saja …’.”

Jadi seragam yang dikenakan Orihara-san bukanlah miliknya, tapi milik seorang teman. Itu akan menjelaskan alasan mengapa ukurannya tampak terlalu kecil buatnya. Aku mengerti. Orang yang dipanggil Yuki ini, bagaimana harus kukatakan … mungkin tidak sebesar Orihara-san.

“Secara mendadak, aku mengenakan seragam dan menata rambut dan riasanku seperti siswi SMA … aku tidak ingat banyak setelah itu. Ketika aku menyadari bahwa hari sudah pagi, waktunya sudah melewati waktu aku biasanya akan meninggalkan rumah. Aku bergegas keluar dari rumah Yuki-chan dengan panik, berpikir ‘Kalau aku pulang sekarang dan berganti ke setelan jasku, aku hampir tidak bisa mencapai tempat kerjaku’. Jadi aku lari ke stasiun terdekat dan masuk kereta—dan di sanalah aku akhirnya menyadari penampilanku ….”

Orihara-san menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan kesakitan karena malu. Terungkap dengan jelas bagaimana dia sangat menyesal sehingga dia ingin meninju masa lalunya.

“Sungguh … aku sangat malu. Kupikir aku akan mati saja. Di kepalaku, aku berteriak, ‘Permainan memalukan semacam ini levelnya terlalu tinggi buatku!’ pada diriku sendiri setiap saat ….”

Sepertinya dia merasa sangat malu sehingga dia menyerah karena merasa malu karenanya. Dia menatap ke angkasa dan tertawa kosong atas leluconnya sendiri.

Seorang wanita dua puluh tujuh tahun, terlihat seperti gadis SMA, di tengah keramaian kereta …. Yup, itu kombo penuh. Sebagai seorang cowok yang cuma bisa membayangkan, tapi itu sangat memalukan.

“Itu sudah seperti neraka, tapi sampai-sampai sesuatu yang lebih buruk akan datang menambah kesengsaraanku …” katanya dengan sedikit ejekan diri.

Aku bahkan tidak perlu bertanya—dia berbicara tentang pelecehan seksual di kereta.

“Pelecehan seksual di kereta itu sendiri menakutkan, tapi … tak tahu apa yang akan kulakukan kalau usiaku yang sebenarnya terungkap sama menakutkannya. Kalau aku meninggikan suaraku dan meminta bantuan, aku mungkin bisa mengakhiri si peleceh itu di mata masyarakat, tapi kalau aku melakukan itu akan menjadi KO ganda …. Haha, hahaha. Sepertinya sesuatu yang akan disiarkan di berita sore, bukan? Sesuatu seperti ‘Insiden Pelecehan Seksual di Kereta di Jalur *bleep*! Korbannya Berusia Dua Puluh Tujuh Tahun Pengusaha Wanita Ber-cosplay sebagai Siswi SMA?’”

“Oh ….”

Tidak kusangka ada begitu banyak latar belakang untuk semua itu. Orihara-san mengalami dilema ganda. Dia harus memilih antara menghentikan kejahatan yang dilakukan oleh si peleceh kereta atau membiarkan cosplay gadis SMA-nya diekspos kepada semua orang di sekitarnya. Biarpun dia bisa menghentikan si peleceh kereta, setelah itu dia mungkin akan diminta untuk menunjukkan ID-nya oleh staf stasiun atau polisi. Jika dia tidak beruntung, ceritanya bahkan bisa sampai tempat kerjanya. Itu … itu akan menjadi jenis rasa malu yang akan membuatmu ingin mati.

“Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, dan yang bisa kulakukan hanyalah membeku. Orang yang menyelamatkanku dari krisis itu adalah kau, Momota-kun.”

“….”

“Sekali lagi, aku ingin mengucapkan terima kasih … sungguh, terima kasih banyak. Karena kau, aku terhindar dari bunuh diri sosial ….”

Itu adalah ucapan terima kasih yang sangat tulus. Rasanya seperti dia benar-benar mengucapkan terima kasih dari lubuk hatinya.

“Aku sangat senang kaulah yang menyelamatkanku, Momota-kun. Kalau kau tidak pernah ke sana … aku mungkin sudah akan meninggalkan kota ini.”

“Kau melebih-lebihkan … aku kebetulan melihatnya. Biarpun aku tak ada di sana, beberapa orang lain mungkin akan menyelamatkanmu.”

“Tidak, kau salah,” jawab Orihara-san dengan ramah, tapi dengan tatapan penuh gairah.

“Karena itu kau. Karena kau mencoba melindungiku, meski kaulah yang akan dipermalukan, aku diselamatkan. Dan aku bahkan mampu menyembunyikan fakta bahwa aku berusia dua puluh tujuh tahun cosplay sebagai siswi sekolahan.”

Kalau dipikir-pikir, tampaknya pilihanku pada saat itu, dari segi tertentu, adalah tindakan terbaik. Kalau kami menyerahkan si peleceh itu kepada staf stasiun setelah kekacauan itu, lebih banyak masalah akan menunggunya.

“Itu karena kau adalah anak laki-laki baik yang bersimpati dengan wanita ….”

“….”

Sejujurnya, penyelamatan dramatis hari itu bukanlah kenangan yang menyenangkan. Itu tidak direncanakan dan sembarangan, dan bahkan jika kau bersikap baik, kau tidak bisa benar-benar menyebutnya sebagai solusi yang cerdas. Aku adalah bahan tertawaan semua orang di sekitarku dan aku merasa malu. Aku agak menyesali betapa tidak kerennya aku—

“Kau sangat keren, Momota-kun.”

“Orihara-san ….”

Rasanya aku bakal tersedot oleh pipinya yang agak merah dan senyum sensual. Selama beberapa detik kami saling bertatapan. Namun, kami berangsur-angsur menjadi malu dan memalingkan muka kami pada saat yang bersamaan.

“P-pokoknya, berkatmulah aku diselamatkan,” katanya dengan suara bingung untuk membuat percakapan kembali ke jalurnya.

“Aku benar-benar ingin berterima kasih, jadi setelah aku turun dari kereta aku berlari mengejarmu dan memanggilmu … aku tak harus menjelaskan sisanya, bukan? Setelah itu, seperti yang kautahu, aku bertemu denganmu saat cosplay sebagai siswi SMA.”

“….”

“Itu sulit, tahu? Pada saat aku membuat bekal makan siang itu, aku harus buru-buru ke stasiun untuk bekerja, mengganti di toilet wanita dan meletakkan barang-barangku di loker koin,” katanya bercanda sambil tertawa.

Oh, jadi begitu. Orihara-san dengan setelan jas—kupikir aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi sekarang aku akhirnya tahu penyebab déjà vu ini. Ketika aku sedang menunggu Orihara-san di depan toilet wanita untuk mengembalikan bekal makan siangnya, aku melihat seorang wanita mengenakan setelan jas yang tampak seperti pekerja kantoran keluar. Aku tidak menyadarinya saat itu, tapi pekerja kantoran itu adalah Orihara-san. Dari seorang gadis SMA menjadi wanita kantoran … Orihara Hime berubah dari bentuk sementaranya ke bentuk aslinya.

“Memalukan berjalan keliling kota ber-cosplay sebagai anak sekolahan, tapi … itu sedikit menyenangkan.”

“… Oh. Ternyata hobi, ya.”

“Enggak, enggak! Maksudku menyenangkan bisa bersamamu, Momota-kun ….”

Dia tiba-tiba meneriakkan penyangkalannya tetapi suaranya perlahan meruncing. Juga, wajahnya dengan cepat menjadi merah.

“… Sungguh menyenangkan bersamaku?”

“I-itu benar! Apa ada sesuatu yang salah dengan itu?!” dia berteriak, menyerang sedikit.

Rasanya aku bakal tertawa tanpa sengaja. Orang ini benar-benar Orihara-san. Pakaian dan gaya rambutnya telah berubah, tetapi ekspresi dan tingkah lakunya tidak berubah. Dia orang yang paling kucintai. Namun ….

Sebaliknya betapa tenangnya aku, ekspresi Orihara-san menjadi gelap.

“… Itu menyenangkan. Rasanya seperti aku menjadi muda lagi dan kembali ke masa SMA-ku. Itu seperti mimpi—tapi aku harus mengakhirinya.

“Keajaiban telah usai.”

Wajahnya tidak lagi tertawa, Orihara-san mengumumkan ini dengan tekad dalam suaranya. Karena kekurangan kehangatan, dia tanpa ekspresi seperti boneka.

“Yah … kira-kira begitu.”

Saat kata-katanya yang kasar dengan paksa mengakhiri percakapan, dia mengeluarkan dompet dari tasnya. Lalu dia mengeluarkan uang sepuluh ribu yen dan meletakkannya di atas meja.

“Aku akan membayar untuk ini. Aku sudah dewasa.”

“Apa ….”

“Silakan pesan apa pun yang kausuka. Adapun kembaliannya … tolong anggap itu sebagai permintaan maaf karena menipumu.”

Secara blak-blakan menyatakan ini, Orihara-san berdiri dari kursinya dan dengan cepat pergi.

“… Hah? T-tunggu dulu! —Oh. M-maaf.”

Aku hampir menabrak seorang pramusaji yang membawa makanan saat aku terburu-buru mengejarnya. Kalau aku mengejarnya, itu akan menjadi bersantap dan lari, jadi aku menggunakan sepuluh ribu yen yang dia berikan untuk membayar tagihan. Selagi aku berurusan dengan semua itu, dia sudah pergi. Mengepalkan kembaliannya di tinjuku, aku keluar dari restoran.

“Tunggu … tunggu dulu, Orihara-san! Orihara-san!”

Aku berlari melintasi aspal yang diterangi lampu jalan, mengejarnya. Setelah memanggilnya beberapa kali, dia pun berhenti untukku dan berbalik.

“… Apa?”

Wajah dan suaranya dingin tidak nyaman.

“‘Apa’? … Kita masih berbicara, 'kan?”

“Apa lagi yang harus kita bicarakan?” tanya Orihara-san, tatapannya menembus diriku.

“Mungkinkah—jangan bilang kau masih menyukaiku, 'kan?”

Itu adalah suara yang diwarnai dengan kesedihan, dan dia tersenyum sinis dengan ejekan diri.

“Itu ….”

Melihatku tergagap atas perkataanku, penghinaan diri dan penyiksaan diri yang merusak kecantikannya menjadi lebih buruk.

“Aku mengerti … aku mengerti, oke? Orang yang kaukatakan kaucintai adalah versi SMA diriku—siswi SMA yang bersekolah di sekolah khusus putri, Orihara Hime, 'kan? Dia berbeda … dia benar-benar berbeda dariku yang sebenarnya. Yang kaucintai bukanlah aku yang berusia dua puluh tujuh tahun.”

“….”

“Gadis yang kaucintai tidak ada.”

Aku teringat gadis yang kucintai. Gadis SMA yang aku percayai seumuran denganku bahkan tanpa mempertanyakannya, gadis bernama Orihara Hime.

“Kalau kau tahu bahwa aku berusia dua puluh tujuh tahun, kau tidak akan mendekati aku dari awal, 'kan? Kau tidak akan tertarik, 'kan? Itu benar … itu wajar saja. Untuk anak SMA sepertimu, aku sudah jadi wanita tua. Kau benar-benar menyadari aku lebih dekat dengan usia ayahmu ketimbang usiamu, 'kan?”

“Orihara-san ….”

“Maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk menyerangmu seperti itu. Lagi pula, akulah yang salah.”

Kata-kata keluar dariku. Kepalaku masih belum bisa memproses semuanya. Kebingunganku tidak mereda. Pikiranku berantakan. Meski begitu, aku tidak bisa diam saja.

“Apa kita … berakhir?”

Aku tak ingin mengakhirinya. Aku tak ingin kehilangannya. Mengesampingkan semua alasan, perasaan itu berkecamuk di dalam diriku.

“Ini sudah berakhir. Satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah mengakhirinya …. Maksudku, dunia kita dengan kau yang berusia lima belas tahun dan aku yang berusia dua puluh tujuh tahun itu benar-benar berbeda.”

“Itu … itu cuma dua belas tahun.”

“‘Cuma?’”

Orihara-san sepertinya dia hendak menangis, tapi dia berbicara dengan suara tegas.

“Kau tidak paham. Kau tidak paham sama sekali, Momota-kun. Kau sama sekali tidak memahami jenis usia dua puluh tujuh tahun itu ….”

Matanya dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam, dan dia menyatakan kepadaku keputusasaan karena berusia dua puluh tujuh tahun:

“Dua puluh tujuh tahun—seumuran dengan Anago-san!”

Mataku melebar. Seolah-olah serangan datang dari sudut yang tidak kuprediksi dan pikiranku membeku.

“Anago-san … maksudmu Anago-san itu? Yang dari Sazae-san?”

“Iya. Rekan kerja Masao-san, Anago-san. Menurut info resmi, dia berusia dua puluh tujuh tahun.”

Beneran? Dengan kehadiran dan suara itu, Anago-san berusia dua puluh tujuh tahun? Tak peduli seberapa besar perbedaannya, dia sepertinya berusia sekitar empat puluh tahun.

“… Kau tahu, ketika kau jadi dewasa, kau terus jadi lebih tua dari tokoh yang kauidolakan sebagai seorang anak. Aku melewati tokoh utama Jump remaja seperti Naruto, Ichigo, dan Luffy, dan sebelum aku menyadarinya, aku jadi lebih dewasa daripada Nube. Entah bagaimana aku bisa mengatasi keputusasaan yang datang dengan jadi lebih tua dari tokoh utama Jump, tapi … ketika aku mengetahui bahwa Anago-san berusia dua puluh tujuh tahun, sudah kauduga itu adalah syok besar.”

“….”

“Momota-kun, bisakah kau berkencan dengan Anago-san?”

Tidak, aku tak bisa berkencan dengan Anago-san. Bagaimana kau bisa menanyakan itu dengan muka serius?

“Kau lihat, itu mustahil, 'kan?”

“Kau lihat,” apanya! Astaga, harus apa aku? Haruskah aku membuat lelucon? Apa ini adegan serius atau adegan komedi?

Mengabaikan keraguanku, Orihara-san tetap terus bicara sendirian.

“Tidak mungkin kau, yang mulai bermain gim video di Wii, dan aku, yang dengan rajin meniup ke dalam kartrid Super Nintendo-ku, bisa saling memahami …. Pokoknya, aku yakin kau adalah salah satu dari anak-anak itu, bukan? Game Boy pertama yang kaumainkan bukanlah Advance yang lama, itu adalah SP lipat, 'kan?”

“… Aku tidak pernah memainkan Advance. Gim portabel pertama yang kumainkan ada di DS.”

“Kau mulai di DS?!”

Mata Orihara-san melebar dan dia mulai terhuyung. Dia baru saja hendak pingsan.

“… K-kau mengerti sekarang? Ada kau, dari generasi DS, dan aku, yang mengabdikan masa remajaku untuk Mega Man Battle Network; dunia kita terlalu berbeda. Jadi tolong. Lupakan saja aku.”

Dia mengatakan itu dan berpaling padaku. Namun, aku tak bisa melihatnya pergi.

“T-tunggu—”

“Yang benar sajaaaa! Kau masih belum mengerti?!”

Aku tidak ingin menyerah. Aku mencoba menghentikannya, tapi tiba-tiba dia berteriak kesal. Ketika dia berbalik, wajahnya terlihat seperti dia benar-benar muak. Itu adalah ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Bisakah kau memberi tahuku mencoba bersikap baik? Sungguh, bisakah kau membaca suasana hati dan pulang?” geramnya dengan nada menggigit.

“Aku tidak memikirkan apa pun tentangmu. Reaksimu menarik, jadi aku hanya berpura-pura jadi anak sekolahan dan mempermalukanmu. Aku seorang wanita dewasa. Sejak awal, aku tidak pernah tertarik pada siswa SMA yang tidak pernah menghasilkan uang sendiri. Jangan salah paham cuma karena aku sedikit baik padamu.”

Kata-kata menghinanya datang satu demi satu. Dia memberikan senyum jahat dan mulai menodai kenangan kami.

“Maksudku, menyatakan cinta di Round One itu sulit dipercaya. Itu sangat payah. Aku seorang wanita dewasa, jadi kau perlu lebih memikirkan suasana hati. Misalnya, menyewakan seluruh taman hiburan dan membawakan aku buket bunga di depan istana, begitulah caramu menyatakan cinta. Wanita dewasa hanya memilih pria yang mempertimbangkan—”

“… Kenapa kau mengatakan hal-hal itu?”

Hatiku tidak terluka oleh kata-katanya.

“Kenapa kau berbohong?”

Yang benar-benar menyakitkan adalah dia terpaksa mengatakan hal seperti itu.

“Ini … bukan—”

“Kalau bukan kebohongan, lalu kenapa kau menangis?”

Orihara-san menahan napasnya.

“Saat aku menyatakan cinta padamu, kenapa kau menangis seperti itu?”

Dia tampak sangat menyesal, seperti dia menyesali dosa-dosanya dari lubuk hatinya.

Sekarang aku mengerti arti dari air mata itu. Pada saat itu, Orihara-san sangat membenci dirinya sendiri. Dia merasa sangat bersalah karena membuatku jatuh cinta.

“Tolong jangan memaksakan diri untuk bertingkah seperti kau orang jahat. Aku tahu kau bukan orang seperti itu.”

“… Kau tidak tahu apa-apa tentangku.”

“Aku tahu … karena kau adalah orang yang kucintai.”

Hanya seminggu telah berlalu sejak kami pertama kali bertemu, jadi aku tidak tahu banyak tentang dia—tapi aku tahu bahwa Orihara-san bukanlah wanita jahat yang suka menipu orang. Aku sangat yakin hal itu.

Aku memahami dengan sangat jelas betapa menyakitkan hatinya karena dia menipuku. Mudah untuk mengatakan bahwa dia hanya memaksakan dirinya untuk bertindak seperti orang jahat—jelas dia berusaha membuatku membencinya, dan aku tak bisa diam saja. Aku mengerti bahwa itu adalah kebaikannya. Tapi, aku tidak cukup kecil sehingga aku bisa dibodohi oleh kebohongan itu—dan aku tak cukup dewasa untuk membiarkan diriku dibodohi oleh kebohongan itu. Aku bukan orang dewasa atau anak-anak: aku berada di antara keduanya, seorang siswa SMA berusia lima belas tahun.

“Orihara-sa—”

Kata-kataku berhenti. Dia mulai menangis. Dunia menjadi gelap dengan datangnya malam; dibanjiri cahaya lampu jalan, Orihara-san meneteskan air matanya dengan tenang. Ini menandai kedua kalinya aku melihat wajahnya berlinang air mata.

“Berhenti … hentikan, Momota-kun … aku mohon, tolong jangan masuk ke kepalaku lebih dari ini.”

Aku melakukannya lagi. Aku membuatnya menangis. Orang yang kucintai, orang yang ingin kulindungi, menangis karena aku. Kenapa jadi begini?

Orihara-san menangis dan terisak, tetapi meski begitu, dia menatap lurus ke arahku.

“… Tolong, Momota-kun. Lupakan wanita tua aneh ini. Temukan seseorang seusiamu dan jatuh cinta seperti biasa. Tak jadi masalah. Seseorang seperti kau akan bisa mendapatkan pacar yang manis dalam waktu singkat. Jadi … selamat tinggal.”

Dia tersenyum saat mengatakan itu. Meskipun wajahnya dipenuhi air mata, dia tersenyum lebar padaku. Menahan semua kesedihan dan rasa sakitnya, seperti dia adalah orang suci. Dengan ramah dan bangga, dia berdoa untuk masa depanku yang bahagia dengan senyum yang indah. Dia berbalik dia kembali padaku dan menghilang dari pandanganku.

Tapi aku tak bisa bergerak. Rasanya seperti seseorang menjahit kakiku ke tanah, dan aku tidak bisa bergerak. Tak peduli betapa dinginnya aku diperlakukan, tak peduli betapa dilecehkannya aku, kupikir aku akan tetap mengejarnya. Tetapi setelah diperlihatkan senyuman itu, tak ada yang bisa kulakukan lagi.

Aku menatap ke langit dan dengan mati-matian menahan air mata. Bulan di langit malam itu begitu indah sampai membuatku kesal.

“Dua puluh tujuh tahun … itu, seperti … wanita tua.”

Seperti yang bisa kauduga, orang di ruang kelas kosong yang memusuhi wanita berusia di atas dua puluh lima tahun di seluruh dunia tidak lain adalah Ura. Mata ikan matinya membelalak karena terkejut. Kana, yang berdiri tepat di sampingnya, memiliki ekspresi yang sama di wajahnya.

“Itu cukup mengejutkan. Aku benar-benar mengira dia siswi dari sekolah lain yang berjalan-jalan dengan seragam Tourin, tapi sampai-sampai bahwa dia adalah pekerja kantoran dari Harumi Seikatsu …” kata Kana sambil menatap purikura yang ada di tangannya.

Itu adalah purikura yang telah Orihara-san dan aku ambil. Sejak aku mengambil salinan yang Orihara-san jatuhkan, aku dengan sedih menjadi kepemilikan dari kedua salinan itu.

“Ketika kau melihat ini, dia benar-benar tidak terlihat seperti dia berusia dua puluh tujuh tahun. Dia hanya terlihat seperti orang normal … bukan, seorang gadis SMA yang sangat imut. Meskipun kau menghilangkan fakta bahwa ini adalah purikura, dia pasti punya wajah muda.”

“Bah. Wanita bisa berubah jadi apa pun yang mereka suka dengan riasan. Seram.”

Setelah memberikan sinisme menggigitnya, Ura menatapku dan tertawa. “Tetap saja, kau terhindar dari masalah, Momo.”

“Eh …?”

“Kau terancam berkencan dengan wanita tua dengan seluruh siklus zodiak padamu. Aku senang dia adalah orang dewasa yang bijaksana. Kalau itu adalah wanita sampah yang suka bermain-main dengan pria muda polos, siapa tahu apa yang akan terjadi padamu?”

“Terhindar dari masalah …” itulah salah satu cara untuk melihatnya. Itu mungkin cara normal untuk memikirkannya.

Jika peran kami terbalik—jika itu adalah seorang gadis berusia lima belas tahun dan seorang pria berusia dua puluh tujuh tahun dalam sebuah hubungan romantis—suka atau tidak suka, itu akan tampak seperti kejahatan. Entah itu cinta murni, kecil kemungkinan masyarakat akan mengerti. Bahkan dengan peran yang berganti, pada dasarnya itu akan menjadi hal yang sama. Seorang wanita dewasa dan seorang anak laki-laki di bawah umur berada dalam hubungan dewasa akan, secara hukum, pelanggaran seksual.

Mungkin jika aku berada di posisi Ura, aku akan mengatakan hal yang sama. Jika aku mengetahui bahwa temanku jatuh cinta dengan seorang gadis yang mereka temui di kota, mengetahui bahwa mereka adalah seorang dewasa berusia dua puluh tujuh tahun, dan terlepas dari itu menyatakan cinta dan menderita kekalahan yang terhormat—aku juga mungkin mengatakan “Kau terhindar dari masalah”. Lagi pula, seandainya mereka mulai berkencan, mustahil untuk memahami betapa sulitnya itu.

Jika itu aku yang dulu, aku mungkin akan mengatakan itu. Jika itu adalah aku yang belum bertemu dengannya, itu adalah ….

“Sepertinya kau masih sangat menyesal, Momo,” kata Kana dengan mata yang melihat ke arahku. “Sepertinya kau masih belum menyerah pada Hime-cha—Oh, kita tidak bisa sebut dia lagi Hime-chan. Biar aku ulangi lagi. Sepertinya kau masih belum menyerah sama sekali pada Orihara-san.”

“Apa? Tunggu, apa kau serius, Momo? Dia dua puluh tujuh tahun. Nyaris tiga puluh. Tiga besar-oh. Kalau ini romcom SMA, dia bakalan jadi guru yang selalu membicarakan hal seperti ‘Aku masih muda! Seseorang menikahlah denganku~’”

Astaga, ada apa dengan Ura dan memusuhi demografi besar? Ada dunia yang penuh dengan tokoh utama wanita guru yang cantik, lho.

“… Bukannya aku tidak bisa melupakannya. Hanya saja, pikiranku masih belum mampu memproses semuanya.”

Semuanya terasa sangat nyata. Ini seperti aku telah mengambang, dan bahkan setelah semua itu aku tidak bisa menahan kakiku tetap di tanah. Semuanya seharusnya sudah berakhir kemarin … hubungan kami seharusnya sudah benar-benar berakhir, tapi sepertinya aku masih belum bisa menerimanya.

“Momo. Kau tidak akan sering menemukanku mengatakan sesuatu dengan 100% niat baik, tapi dalam keseriusan: itu akan menjadi yang terbaik kalau kau menyerah padanya.”

Kana menghilangkan senyum manisnya, dan wajahnya menjadi sangat serius. “Kau harus melupakannya secepat mungkin. Anggap saja seperti kau mengalami mimpi buruk—atau bahkan yang bagus, cepatlah kembali ke dunia nyata.”

“….”

“Aku tidak hanya mengatakan ini demi kau, Momo. Demi Orihara-san juga, kupikir kau harus cepat-cepat melupakannya dan mencari orang lain.”

Kana terus berusaha membujukku dengan suaranya yang lugas. “Dua puluh tujuh tahun adalah usia di mana kau berada di tahun keenam di sebuah perusahaan kalau kau memulai bekerja setelah kuliah … orang dewasa yang hebat. Kurt Cobain dan Jimi Hendrix telah menjalani seluruh hidup mereka dan menggemparkan dunia pada usia itu, tahu?”

“… Aku tidak memahami gunanya membandingkan dia dengan musisi legendaris.”

“Maksudku adalah, dunia tempat dia tinggal pada dasarnya berbeda dari anak-anak seperti kita yang tinggal di dalamnya. Kalau kau sampai kencan, aku tidak berpikir itu akan berhasil buat kalian berdua. Maksudku, di usia itulah kau mulai berpikir untuk menikah dan punya anak. Ini bukan sesuatu yang harus kaudekati dengan setengah hati.”

“Menikah.” “Memiliki anak.” Rasanya aku sudah mendengar beberapa bahasa dari negeri nan jauh. Aku sudah sedikit memahami tentang apa arti dari hal-hal itu, tetapi itu masih hal-hal yang jauh yang tidak kumiliki.

“Omong-omong, usianya dua belas tahun lebih tua darimu membuatnya tak terbayangkan. Ini tidak seperti penampilannya akan tetap sama. Energi wanita tua itu suatu saat akan merembes keluar,” kata Ura sambil mulai berbicara sekali lagi. “Saat ini, Orihara pasti terlihat muda dan cantik, tapi dia akan menjadi tua sebelum dirimu. Aku tak tahu berapa lama kau berencana untuk kencan dengannya, tetapi ketika kau berusia dua puluh, dia akan menjadi tiga puluh dua, dan ketika kau berusia tiga puluh, dia akan menjadi empat puluh dua … kau tidak akan pernah menutupi kesenjangan usia. Momo, saat ini kau sedang memikirkan cinta, jadi kau mungkin berpikir ‘Selama kita memiliki cinta, perbedaan usia tidak masalah!’ tetapi suatu hari ketika gairahmu hilang, apa yang akan kaupikirkan tentang seorang wanita yang dua belas tahun lebih tua darimu?”

Nada Ura dan Kana sangat keras … dan aku bersyukur karenanya. Mendukung percintaan seseorang itu mudah. Mengatakan hal-hal yang tidak bertanggung jawab seperti “Ini pasti berhasil!” dan “Gadis itu pasti juga menyukaimu!” benar-benar sederhana. Tapi orang-orang ini memikirkanku dengan serius. Mereka mengkhawatirkan kesehatanku dan bersiap untuk dibenci olehku karena melakukannya.

“… Makasih, kalian berdua. Sama seperti kata kalian. Kalian benar-benar membuka mataku untuk ini.”

Sewaktu aku mengatakan ini, wajah mereka menjadi rileks menjadi ekspresi lega.

“Oke Momo, hari ini kita akan keluar dan berpesta. Kita akan menghabiskan seluruh waktu kita untuk bermain gim. Kita akan memainkan gim seluler, gim konsol, permainan kartu, permainan papan, kita akan melakukan semuanya!”

“Mungkin ketimbang berusaha sekuat tenaga kau harus mencoba keluar … Momo, dalam situasi ini kau harus fokus untuk bertemu seseorang yang baru. Ayo kita mengadakan pesta perkenalan. Aku bahkan akan mengundang beberapa gadis yang benar-benar pergi ke Tourin.”

“Persetan. Momo akan bermain gim denganku.”

“Apa maksudmu? Momo dan aku akan mengadakan pesta perkenalan.”

“Gim.”

“Pesta perkenalan.”

“… Tenang, teman-teman.” Aku menghela napas saat aku menghentikan pertengkaran mereka.

“Aku akan … melewatkan pesta perkenalan itu. Aku sedang tidak berminat. Untuk saat ini, mari kita bermain gim.”

“Orihara-san, Orihara-san … Ketua Orihara!”

“Huh? Um, ada yang bisa kubantu?”

Aku menyadari bahwa aku sedang dipanggil, jadi aku segera mengangkat kepala. Juniorku Komatsu-san sedang melihat wajahku dengan cemas.

“Apa Anda baik-baik saja? Anda seperti sedang melamun ….”

“M-maaf. Tidak apa, aku baik-baik saja.”

“Ini adalah dokumen yang Anda minta. Aku sudah mengaturnya, silakan lihat. Juga, kalau Anda sedang tidak enak badan, tolong katakan demikian, oke? Akhir-akhir ini Anda tampak kurang sehat, Orihara-san.”

“T-tentu. Terima kasih sudah mencemaskanku.”

Komatsu-san kembali ke mejanya. Rambut cokelatnya dikeriting tipis, dan dia mengenakan pakaian kasual bisnis yang trendi, kebanyakan berwarna putih. Kalau aku tidak salah, dia berusia dua puluh tiga tahun ini. Dibandingkan denganku, yang memakai setelan jas karena aku tidak ingin berurusan dengan mengoordinasikan pakaianku setiap hari … dia tampaknya penuh dengan masa muda. Kalau aku laki-laki, aku akan jatuh cinta pada gadis seperti itu, kurasa. Masa mudanya berseri. Masa muda gadis berusia dua puluh tiga tahun ini begitu cerah sampai-sampai aku merasa pusing hanya dengan melihatnya. Ketimbang hal itu, lima belas tahun merupakan matahari itu sendiri. Kalau cukup dekat untuk menyentuhnya, pikiran dan tubuh akan terbakar dan mencair—

“….”

Aku mengangkat muka dan sekali lagi melihat ke luar kantor. Kami berada di gedung tiga lantai yang menghadap ke jalan raya. Bisa menikmati sedikit pemandangan kalau melihat keluar jendela kaca, tapi ketika sudah bekerja di sini selama lima tahun, kau mulai muak. Meja dengan komputer di atasnya berbaris dengan kursi berwarna hijau apel karena suatu alasan. Banyak rekan kerjaku dengan tergesa-gesa mengurus tugas mereka. Mungkin karena itu adalah tempat kerja dengan begitu banyak wanita, ada banyak aksesori trendi, dan seluruh ruangan diselimuti suasana ceria. Ini tempat kerjaku. Inilah realitasku.

Aku telah ditugaskan ke divisi pemasaran dua tahun lalu, dan sejak itu aku menjadi kepala salah satu tim kami. Saat dibilang “ketua”, itu terdengar seperti masalah besar, tapi pada akhirnya itu hanya manajemen menengah. Terlebih lagi, itu adalah manajemen menengah tingkat rendah.

Tak ada orang yang mau melakukannya, jadi aku menjadi ketua. Itu adalah jenis posisi jelek di mana gaji tidak benar-benar meningkat, tapi tanggung jawab dan beban kerjanya meningkat.

Kantor yang kulihat melalui kacamataku sama seperti dulu. Namun, saat ini entah bagaimana tampak kurang cerah.

“….”

Sudah seminggu sejak terakhir kali aku bertemu Momota-kun. Sejak itu, sama seperti biasanya, aku pergi bekerja. Aku tidak bisa keluar hanya karena aku depresi karena masalah asmara. Setidaknya, begitulah apa yang kepalaku katakan.

Kebenaran dari masalah ini yaitu aku sama sekali belum bisa mengatasinya. Bahkan selama bekerja aku sering melamun, dan seperti sebelumnya aku membuat orang-orang mencemaskan kesehatanku beberapa kali.

“… Aku harus menenangkan diri,” kataku dengan suara kecil sehingga tak ada yang bisa mendengar. Aku meneguk kopi hangatku dan fokus pada layar komputer. Aku akan terjun ke dalam pekerjaanku.

Aku tidak punya hak untuk disakiti atau depresi. Akulah yang salah. Tindakan sembronoku menyakiti seorang anak lelaki. Itu tidak bisa dimaafkan, dan sesuatu yang akan kusesali selama sisa hidupku. Mimpi sudah berakhir. Keajaiban telah usai. Mulai sekarang, itu hanya akan menjadi kenyataan.
 

Aku pergi makan untuk istirahat makan siang. Orang-orang di perusahaan menghabiskan waktu makan siang mereka di banyak tempat berbeda. Kau akan memiliki beberapa orang yang makan siang dalam bekal yang mereka siapkan, sedangkan yang lain akan mencari makan. Seperti yang kauharapkan dari kawasan bisnis, ada banyak restoran di sekitar, dan akhir-akhir ini layanan pengiriman seperti Uber Eats menjadi populer di kalangan wanita di kantor.

Demi dompet dan kesehatan, biasanya aku membuat makan siang sendiri, tetapi hari ini aku berjanji akan bertemu seseorang. Aku memasuki kafe dekat dengan perusahaanku yang nilai jualnya adalah suasana apik dan pasta sayuran. Saat aku melihat kerumunan jam makan siang di restoran—

“Hime! Sebelah sini!”

Seorang wanita cantik dengan rambut hitam memanggil namaku dari belakang restoran. Aku merasakan pipiku menjadi merah dan setengah berlari ke meja tempat dudukku di seberangnya.

“Yuki-chan, jangan meneriakkan nama depanku seperti itu!”

“Oh maafkan aku. Aku sama sekali tidak berpikir.”

Dia dengan tulus meminta maaf, meskipun ekspresinya tidak benar-benar berubah. Rambut cerahnya halus dan panjang, dan kulitnya seputih salju segar. Sosoknya indah bak boneka yang dibuat dengan indah, dan penampilannya yang berwibawa mengingatkanku pada bunga mawar. Dia tampak secantik sewaktu SMA, dan kau takkan menyangka dia adalah ibu dari satu anak hanya dengan melihatnya.

Iguchi Yuki, atau lebih tepatnya, Shirai Yuki setelah menikah. Setelah lulus kuliah, dia bekerja sebagai pegawai bank, tetapi dia berhenti setelah menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Dia adalah salah satu temanku yang sangat dekat denganku semenjak SMA. Berkat kecantikannya yang tak tertandingi, dia menjadi populer di kalangan cowok dan cewek sejak dia masih seorang pelajar. Dia adalah kebalikan dari seseorang dengan keberadaan yang sederhana seperti diriku, tetapi karena banyak keadaan aneh kami masih bertemu secara teratur.

“Namamu masih rumit, ya?”

“Tentu saja … maksudku, ini semakin buruk seiring berlalunya waktu.”

Kau hanya bisa menyerah dengan nama seperti Hime ketika remaja. Seseorang menyebut itu ketika mereka berusia sekitar 30 tahun hanya … kau tahu?

“Kukira itu akan terjadi. Maksudku, saat ini kau bukan tuan putri otaku, kau adalah tuan putri nyaris tiga puluh tahun. Tak cukup memiliki cincin yang sama, ya?”

“… Maaf, Yuki-chan. Itu enggak lucu.”

“Ah, sayang sekali.”

Kecantikannya memberinya atmosfer yang tak bisa didekati, tapi cukup mengejutkan dia melakukan hal-hal seperti lelucon payah. Mudah untuk salah paham karena penampilannya, tetapi di dalam dirinya dia ternyata suka berhumor.

“Kalau begini terus, aku bakalan jadi seorang ‘putri’ bahkan ketika aku menjadi wanita tua. Kau menyadari bahwa di rumah orangtuaku akan diberi tahu ‘Tuan Putri, makanan Anda sudah siap’? Ini menyedihkan.”

“Aku bersimpati denganmu. Orangtuamu seharusnya lebih memikirkannya ketika mereka memberi namamu.”

Yuki-chan mendesah lelah.

“Akhir-akhir ini aku berpartisipasi dalam kelompok pendukung ibu-ibu lokal, dan aku tidak bisa melupakan berapa banyak anak yang memiliki nama yang aneh. Aku ingin tahu apa orangtua itu salah mengira anak-anak mereka sebagai hewan peliharaan atau semacamnya. Mereka memiliki imajinasi yang kurang mendasar. Mereka tidak bisa membayangkan anak-anak mereka menjadi dewasa dan kemudian menjadi warga senior.”

Kata-katanya dipenuhi duri, tetapi aku setuju sebagai seseorang yang memiliki kerumitan tentang namanya. Namun … ada satu hal yang ingin kukatakan.

“Yuki-chan, setelah kau menyebutkannya, di mana anakmu hari ini?”

“Aku meninggalkan Macaron dengan ibuku. Terkadang kau harus membiarkan mereka bertemu dengan cucu mereka, lho?”

“… Begitu, ya?”

Macaron adalah nama dari anak Yuki-chan. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali, dan dia baru saja menginjak usia satu tahun. Dia sangat manis. Cara dia mengucapkan “Ma ma” saat dia tertatih-tatih sangat berharga, dan aku telah mengambil banyak video dan foto. Anak itu sangat imut sehingga aku bisa melihatnya sepanjang hari … tapi namanya Macaron. Ini mungkin tidak sopan, tetapi bukankah itu hanya nama hewan peliharaan beneran?

“Kalau dipikir-pikir … Macaron-kun adalah nama yang cukup eksentrik.”

“Iya. Aku memaksanya sampai batas. Sampai-sampai aku ingin mengucapkan selamat kepada diri sendiri karena telah mendapatkan nama yang unik dan penuh gaya.”

Aku rasa itu bukan “memaksanya sampai batas” seperti “melempar bola keras-keras sampai melewati home plate dan melemparkannya tepat ke tribun”, tapi sebaiknya tidak mengatakan apa-apa. Yuki-chan selalu seperti ini.

Dia cukup pintar untuk masuk ke universitas dengan peringkat tertinggi di Tohoku, tapi ada sesuatu yang fatal. Selama masa SMA, nilainya selalu menjadi yang teratas di kelasnya, dan dia dengan mudah masuk ke perguruan tinggi nomor satu di Tohoku. Setelah lulus, dia menempati posisi reguler di salah satu bank besar Jepang. Namun, hanya setelah satu tahun dia mengundurkan diri karena menikah, dan sejak itu dia jadi ibu rumah tangga.

Ketika melihatnya dari luar, pernikahan dan pengunduran dirinya adalah keputusan yang sangat cepat, dan pada saat itu aku benar-benar khawatir. Namun, melihat bagaimana dia menjadi ibu rumah tangga yang hebat, aku menyadari bahwa kekhawatiranku tidak berdasar.

“Haah ….”

“Kau mendesah buat apa?”

“Hanya saja … aku baru saja memikirkan tentang bagaimana kau melakukannya dengan baik. Kau sudah menikah, punya anak, itu seperti … kau pantas.”

Setelah kau berusia dua puluh tujuh tahun, teman-temanmu menikah satu demi satu. Banyak dari mereka punya anak. Aku bahkan mengenal beberapa orang yang pernah bercerai dan hidup sebagai ibu tunggal.

“Dibandingkan dengan itu, apa yang kulakukan dengan hidupku ….”

“Ya, itulah yang kukatakan.”

Tanpa menghiburku di saat duka, Yuki-chan langsung setuju denganku.

“Kau berpura-pura menjadi gadis SMA dan menipu cowok berusia lima belas tahun. Sungguh, apa yang kaulakukan? Pada usiamu, tidakkah menurutmu itu memalukan? Apa kau tidak ingin meminta maaf kepada orangtuamu?”

“S-separuh itu salahmu, Yuki-chan!”

Hari itu—setelah berhenti menyusui dan minum alkohol tidak lagi dilarang—Yuki-chan meminum dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tampaknya suaminya mengatakan kepadanya “Beristirahatlah dari jadi seorang ibu dan ibu rumah tangga sesekali dan rileks” dan membawa putra mereka ke rumah orangtuanya. Aku menemani Yuki-chan kala dia menikmati minuman keras dan hari liburnya sepenuhnya, jadi meskipun aku tidak begitu baik dengan alkohol, aku pun minum banyak … dan setelah itu adalah awal dari semua kegilaan ini.

“Kau sudah memberi tahu Momota Kaoru-kun atau apa pun bahwa kau putus, 'kan?”

“… Iya.”

Pesanan kami pun disajikan kepada kami. Hari ini adalah pasta yang tertera di papan nama restoran. Sewaktu aku makan pasta dengan campuran baby sarden dan kubis yang melimpah, aku menjelaskan seluruh situasi kami kepada Yuki-chan.

“Jadi pada akhirnya kau menceritakan semuanya padanya.”

Setelah aku selesai, Yuki-chan menatap lurus ke arahku dengan ekspresi tanpa emosi yang tidak bisa kubaca.

“Kerja bagus, Hime. Pasti sulit buatmu.”

“Yuki-chan ….”

“—Bukan itu yang akan kukatakan padamu.”

Penampilannya berubah tajam seperti pisau yang terbuat dari es. Rasanya seperti suhu ruangan turun sekaligus, dan aku menjadi kaku seperti katak yang ditatap ular.

“Aku sudah bilang padamu berkali-kali untuk berhenti terlibat dengannya segera karena itu akan menjadi sesuatu yang tidak bisa kauurungkan, 'kan?”

“….”

Aku berkonsultasi dengan Yuki-chan sejak hari pertama aku bertemu Momota-kun. Aku harus apa Yuki-chan?! Di kereta ada seorang peleceh yang melecehkan gadis SMA dan seorang anak laki-laki keren membantu tapi aku adalah seorang gadis SMA! adalah betapa canggungnya panggilan telepon itu karena betapa lusuhnya aku.

“Kau salah dengan segala hal soal ini, Hime. Kupikir membalasnya tak apa-apa, tapi kau seharusnya tidak berkencan dengannya. Belum lagi kaulah yang mengundangnya … ada batasan seberapa bodohnya dirimu.”

Aku tidak bisa menjawab. Alasan kencan kami, bekal makan siang yang masih dipegang Momota-kun—sebenarnya aku telah menyadarinya sedari awal. Aku tahu dia masih memegangnya, tapi aku berpura-pura lupa. Saat aku berjalan di sampingnya, dalam hatiku aku berharap dia tidak menyadarinya. Aku mengharapkannya seperti aku sedang berdoa. Sama seperti Cinderella dan sepatu kacanya, kupikir kalau aku lupa maka akan ada alasan untuk bertemu lagi.

“Sudah jelas akan jadi seperti ini. Siapa pun yang kencan denganmu dengan cosplay gadis SMA pasti akan jatuh cinta padamu.”

“… I-itu bohong.”

“Kau tidak pernah punya pengalaman menjadi populer atau dengan cowok pada umumnya, jadi tidak mengherankan kalau kau tidak menyadari betapa menariknya dirimu. Lagi pula, saat kau masih seorang pelajar kau adalah seorang otaku yang berpenampilan polos dengan rambut dikepang, dan kau juga gemuk.”

“Aku enggak gemuk! Aku cuma punya pusat gravitasi yang sangat stabil!”

Memprotes dengan mati-matian itu sia-sia. Seperti yang Yuki-chan katakan, diriku di SMA itu polos, otaku, selalu memakai kepang rambut, dan … sedikit gemuk. Dulu kau mungkin menyebutku introver? Aku selalu di sudut kelas tengah membaca buku (yang sebenarnya adalah panduan strategi gim video). Aku punya teman perempuan, tapi aku mengakhiri karier SMA tiga tahunku tanpa sekali berbicara dengan seorang laki-laki.

Itu adalah masa muda yang menyedihkan menghabiskan waktu mengabdikan diri untuk bermain gim video di rumah. Kupikir cinta adalah sesuatu yang benar-benar di luar kemampuanku, jadi aku menyerah padanya—tetapi itu bukan berarti aku apatis terhadapnya. Jujur saja, aku tertarik. Aku mengagumi pasangan siswa yang kulihat berjalan-jalan di sekitar kota. Aku selalu berharap bisa jatuh cinta.

“Ketika kau memulai diet itu untuk upacara kedewasaanmu, kupikir itu tidak akan berhasil, tapi kau berhasil menindaklanjutinya.”

“Berkat kau.”

Yuki-chan banyak membantu dietku sebelum upacara kedewasaanku. Bahkan sekarang, aku masih mempertahankan bentuk tubuhku.

“Kau telah meratakan perutmu dan mendapatkan lekuk tubuh yang cukup bagus, tapi payudaramu tidak mengecil. Sejujurnya, aku cemburu. Apa-apaan dengan payudara tingkat kriminal itu?”

“He-hentikan itu.”

Dia memelototi payudaraku, jadi aku panik dan menyembunyikannya. Meskipun dia benar, satu-satunya hal yang tidak jadi lebih kecil adalah payudaraku. Itu benar-benar sebuah misteri.

“Momota-kun diperlihatkan buah dada itu dari jarak dekat, 'kan? Tentu saja dia akan jatuh cinta! Kalau kau mengenakan seragam SMA dan mengguncang payudara itu di depan remaja laki-laki mana pun, mereka tidak akan bisa menahannya,” ungkap Yuki-chan.

Aku penasaran apa dia benar. Kalau aku jujur … aku merasa Momota-kun sering melihat payudaraku. Yah … sangat sering.

“Akui saja, Hime. Kau menipu anak lelaki lima belas tahun. Kau bermain dengan hatinya dengan pesona kewanitaanmu.”

Kata-katanya yang kasar menembus dadaku.

“Kau menggunakan Momota-kun untuk menghapus penyesalanmu sejak kau masih seorang pelajar. Untuk mengulangi masa mudamu yang polos dan membosankan, kau menggunakan kepolosannya.”

“I-itu enggak—”

Aku ingin mengatakan ‘Itu enggak benar!’ tapi aku tak bisa. Yuki-chan mungkin benar. Kencan pada hari Minggu itu adalah semua yang ingin kulakukan di SMA tetapi tidak bisa. Kami berdua berpakaian seragam sekolah kami sambil berkencan, berkeliling kota, makan hamburger di restoran murah, berjalan-jalan di Round One, mengambil purikura ….

Sangat menyenangkan. Rasanya seperti aku menghidupkan kembali masa mudaku, dan itu benar-benar saat yang tepat. Jadi ya—itu semua untuk kepuasan diriku sendiri. Aku hanya memikirkan diriku sendiri.

“Tapi … tapi, aku tidak bisa menahannya—aku jatuh cinta padanya.” Aku mengatakannya seperti aku membuat alasan untuk diriku sendiri. Cinta pertamaku … adalah yang terlarang. Terlarang, seperti Romeo dan Juliet. “Jadi … meski hanya sebentar, aku ingin bersama. Aku ingin mencoba menjadi seperti pasangan … kupikir aku hanya akan berkencan satu kali, benar-benar putus, dan kemudian tidak pernah bertemu dengannya lagi.”

Aku menginginkan hari yang bisa kukenang selama sisa hidupku. Jika itu adalah cinta pertama, itu bukan cinta pertama yang semestinya, aku setidaknya menginginkan sebuah kenangan. Meski hanya sekali, aku ingin jalan-jalan keliling kota bersama. Aku ingin mencoba kencan seperti seorang siswa sekolahan. Kupikir kalau aku bisa melakukan itu, aku tidak akan menyesal. Aku memutuskan untuk mengambil perasaanku dan menyegelnya jauh di dalam hatiku, dan dengan mati-matian menyembunyikannya sampai memudar. Itulah yang kuputuskan, tapi—

“Itulah yang kauputuskan, dan kencan itu semestinya jadi yang pertama dan terakhir, tetapi akhirnya dia menyatakan cinta padamu dengan penuh semangat. Buat cowok masa kini, Momota-kun sangat tegas dan jantan. Dapat dimengerti kalau kau jatuh cinta pada orang seperti itu!”

Aku tidak menanggapi sarkasme tajamnya.

“Aku mencintaimu, Orihara-san.”

Aku benar-benar bahagia. Aku merasa seperti berada di surga. Orang yang kucintai sedang jatuh cinta kepadaku. Dia bahkan mengungkapkan perasaan itu dengan kata-kata. Kupikir tak ada kebahagiaan yang lebih besar di dunia ini. Namun, yang akhirnya kurasakan bahkan lebih dalam dari itu adalah kesedihan, rasa sakit, dan rasa bersalah dari semua itu yang sepertinya akan menghancurkan hatiku.

“… Seperti katamu, Yuki-chan. Aku bermain dengan Momota-kun dan menyakitinya. Aku sangat peduli dengan diriku sendiri sampai aku tidak memikirkannya. Seharusnya aku melakukan apa yang kaubilang dan segera menghilang dari pandangannya ….”

Kalau aku melakukan itu, maka Momota-kun tidak akan bermasalah. Aku meninggalkan luka yang dalam di hati seorang anak laki-laki yang sangat baik dan dewasa—

Saat aku berusaha keras untuk menahan air mata yang hendak keluar, Yuki-chan berdiri tanpa berkata apa pun, duduk di sampingku, dan memelukku erat.

“Eh, a-apa yang kaulakukan Yuki-chan?”

“Cup, cup. Tidak masalah.”

Segera setelah dia mulai memelukku, dia mulai berbicara padaku seperti seorang bayi. Kala dia berbisik kepadaku dengan suara yang lebih manis dari yang pernah kubayangkan, dia memelukku dan mengelus kepalaku.

“Cup, cup. Apa bayinya mengalami masa-masa sulit?”

“… Apa katamu? Aku bukan Macaron, tahu?”

“Saat ini kau seperti bayi. Cup, cup. Ini akan baik-baik saja. Semua lukamu akan hilang.”

Berbalut kebaikan hangatnya, air mataku mulai mengalir.

“… W-waaah.”

Tanpa mengkhawatirkan orang-orang di sekitar kami, Yuki berbicara padaku dalam obrolan bayi, dan aku menangis dalam pelukannya. Meskipun aku berusia dua puluh tujuh tahun, aku menangis seperti bayi.

Saat air mataku akhirnya berhenti, aku mulai mengkhawatirkan tatapan mata orang-orang di sekitar kami, jadi kami bergegas keluar dari kafe. Yuki sepertinya sama sekali tidak terpengaruh, tapi aku tak bisa mengatasinya. Ah, untuk sementara aku mungkin tak bisa kembali ke kafe ini.

Aku berpisah dengan Yuki dan kembali ke kantor. Oke, mulai sore nanti aku akan termotivasi dan melakukan yang terbaik! Membuat dokumen untuk rapat perencanaan akhir bulan, riset pasar tentang produk baru kami, menyesuaikan jadwal dengan pelanggan kami, membagi pekerjaan dengan benar di antara anggota timku … oh, dan minggu depan Ota-san akan kembali dari cuti mengasuh anak, jadi aku harus membuat manual untuknya. Aku sudah punya banyak pekerjaan. Kalau aku bisa terkubur dalam pekerjaan seperti ini, aku ingin tahu apakah aku bisa melupakan Momota-kun suatu hari nanti.

“….”

Berkat Yuki, aku merasa sedikit baikan, tetapi aku masih tertekan. Terikat oleh penyesalan dan rasa bersalah, gaya berjalanku berat. Sebuah ungkapan yang sering kudengar baru-baru ini terlintas di benakku.

“Apa menurutmu seorang pangeran dengan seekor kuda putih akan muncul suatu hari nanti?”

Sebagai seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun dan lajang tanpa berusaha untuk mendapatkan pacar, aku sering diberi tahu tentang hal ini oleh orangtua dan teman-temanku. “Kenyataannya, tak ada pangeran. Kecuali jika kau berusaha sendiri, kau pasti tidak akan pernah menemukan pacar atau seseorang untuk dinikahi.” Mereka cuma bersikap sarkastik.

Kalian tahu apa, semuanya? Seorang pangeran memang muncul. Tanpa aku berusaha, dia muncul, dengan gagah menyelamatkanku, dan terlebih lagi, dia bilang padaku bahwa dia mencintaiku. Baik hati, keren, dan jantan, dia pangeran terbaik. Tapi sayangnya, dia dua belas tahun lebih muda dariku.

Oh, Momota-kun … kenapa sih kau harus berusia lima belas tahun? Kenapa aku harus berusia dua puluh tujuh tahun? Kalau saja aku seorang pelajar berusia lima belas tahun, atau kau seorang dewasa berusia dua puluh tujuh tahun, dapatkah kami menjadi pasangan? Bisakah kami menjalani jenis dongeng yang diakhiri dengan, “Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya”?

Gawat, aku hampir menangis lagi. Belakangan ini aku terlalu banyak menangis. Setiap malam minggu terakhir ini aku minum dan menangis sendiri sampai pagi, tapi meskipun gaya hidup memanjakan diri seperti itu, air mataku masih belum kering.

Aku membuka tas untuk mengeluarkan sapu tangan—dan kemudian aku menyadarinya. Ponselku tidak bersuara selama ini dan memiliki sebuah pesan. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, itu adalah pesan dari Momota-kun.

Fakta bahwa ada sedikit waktu lembur di perusahaanku merupakan nilai tambah. Selama tak ada rapat besar, tak ada urusan khusus yang mesti dihadiri, dan tak ada yang menyebabkan kegagalan, biasanya aku bisa pulang pada waktu yang ditentukan. Teman-temanku sering bilang padaku “Aku cemburu” atau “Itu perusahaan yang baik”, tetapi jika bisa pulang tepat waktu sudah cukup untuk disebut “perusahaan yang baik”, aku bertanya-tanya apakah negara ini sangat baik.

Aku meninggalkan kantor dan pergi ke lokasi yang ditentukan. Perasaanku yang saling bertentangan tentang keinginan untuk terburu-buru tanpa membiarkan waktu terbuang percuma dan keinginan untuk tidak bertemu sama sekali kalau aku bisa membantunya terlibat. Akibatnya, aku terus berubah dengan canggung antara berjalan cepat dan kecepatan siput.

Tempat aku tiba hanya beberapa menit dari stasiun kereta, sebuah taman di bawahnya jembatan penyeberangan. Itu adalah taman bermain yang tampak sepi dengan hanya bangku dan kotak pasir. Di sanalah dia makan siang yang kubuat untuknya sehari setelah kami bertemu.

Matahari telah terbenam sebelum aku menyadarinya, dan lambat laun lampu jalan yang diselingi menjadi satu-satunya sumber cahaya taman itu. Di sisi lain taman, di senja hari, aku bisa melihat Momota-kun. Begitu aku melihatnya duduk di atas bangku, aku merasakan sakit yang tajam di dadaku. Meskipun aku mengerti aku tidak punya hak untuk merasa seperti ini, rasanya sangat menyakitkan sehingga dadaku seperti hendak terkoyak.

Aku menggigit bibir dan berkata pada diriku sendiri untuk tenang. Aku harus tegas. Aku tak bisa menunjukkan tanda-tanda penyesalan. Aku harus bertindak seperti wanita dewasa yang sudah melangkah maju dan bergerak maju. Setelah menenangkan diri, aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berdiri tegak, dan melangkah maju. Aku segera tiba di bangku, dan aku duduk di sisi yang berlawanan tanpa diminta.

“Selamat sore,” kataku acuh tak acuh dengan suara terdinginku.

“Orihara-san … selamat sore. Lama tidak bertemu.”

Saat Momota-kun menatapku, dia memiliki ekspresi campuran antara kebahagiaan dan kecanggungan.

“Aku tidak mengira kau datang. Terima kasih banyak sudah datang.”

“Bukan masalah. Kaubilang kalau aku tidak datang, kau akan selalu menunggu, jadi aku terpaksa datang.”

Aku melakukan yang terbaik untuk menahan emosi dan berbicara dengan tenang.

“Jadi, ‘urusan’ apa yang kaubicarakan ini?”

“Ini tentang uang.”

Aku tercengang dengan jawaban yang tidak pernah kuduga.

“Di restoran, kau tahu kau meninggalkanku 10.000 yen?”

“Oh, itu maksudmu.”

Mungkinkah alasan dia memanggilku ke sini hari ini adalah untuk mengembalikan uangnya? Mengetahui betapa tulusnya Momota-kun, itu mungkin saja, tapi itu sedikit mengecewakan.

Aku sedikit kecewa—dan aku terkejut lantaran aku merasa kecewa. Meskipun memalukan dan menyedihkan, sepertinya aku masih mengharapkan sesuatu dari anak ini. Padahal seharusnya tidak mungkin. Meskipun seharusnya tak ada apa pun di antara kami berdua.

“Sudah kubilang itu kompensasi atas kerugian, bukan? Kau tidak perlu mengembalikannya, jadi gunakan saja untuk membeli sesuatu yang kausuka.”

“Ya, aku memang membeli sesuatu yang kusuka. Jadi kupikir harus kubilang padamu.”

“… Begitu, ya?”

Sungguh tak terduga. Tepat saat aku benar-benar mengira akan mengembalikan uang tersebut, ternyata uang tersebut sudah digunakannya.

“Dengan uang itu, aku membeli sebuah gim.”

“Sebuah gim …?”

“Aku telah memainkannya sepanjang minggu ini.”

“B-begitukah?”

Aku tidak keberatan. Terserah dia bagaimana dia menggunakan uang yang kuberikan padanya. Sama sekali tak masalah sedikit pun sampai aku sangat tertekan sehingga aku tidak bisa memainkan gim yang kusukai, tetapi Momota-kun bersenang-senang bermain sendirian—

“Ini adalah gim yang telah kumainkan selama ini.”

Aku menghentikan pikiran egoisku yang marah untuk melihat apa yang Momota-kun keluarkan dari blazernya—dan aku harus mengatur napas. T-tidak mungkiiiiiin! Aku terkejut, dan sekuntum bunga nostalgia bermekaran di dadaku. Menawarkan portabilitas superior yang memungkinkan ukurannya yang kecil untuk dengan mudah masuk bahkan kantong seragam sekolah, itu ….

“Sebuah Game Boy Advance SP!”

Apa yang Momota-kun tunjukkan padaku adalah konsol gim usang yang produksinya sudah lama berhenti. Itu adalah perangkat keras yang dijual sebagai perlengkapan high-end ‘canggih’. Pada saat itu, lampu depan pada layar LCD-nya sangat revolusioner, karena memungkinkanmu untuk bermain gim dengan nyaman bahkan dalam kegelapan. Juga, itu sepenuhnya dapat diisi ulang. Aku memiliki kenangan indah saat berpikir “Apa?! Aku tidak perlu membeli baterai AA lagi?!”

Itu adalah sebuah perangkat keras dengan spesifikasi tinggi, desain tinggi, tetapi DS yang keluar setahun setelah itu membuatnya terasa seperti menghilang dengan cepat dari pasar.

“A-ada apa ini? Kenapa kau punya sesuatu yang begitu nostalgia …?”

“Aku membelinya karena aku ingin coba Mega Man Battle Network.”

Dia membuka SP, menyalakan daya, dan aku mendengar melodi yang sangat nostalgia. Gawat. Sangat nostalgia, rasanya aku hendak menangis. Wow! Ini layar awal Game Boy Advance! Berkat lampu depan SP, bahkan di luar dalam kegelapan seperti ini layar benar-benar terlihat ….

“Sepanjang minggu ini aku sering memainkannya sehingga aku hampir tidak tidur sama sekali, dan aku benar-benar menyelesaikan gimnya. Benar-benar sangat menyenangkan! Awalnya aku tidak berharap banyak karena ini adalah gim lama, tapi aku benar-benar kecanduan. 9 grid vs 9 grid field yang unik dan sistem battle chip sangat menyenangkan. Juga, ceritanya sangat mengagumkan. Meskipun awalnya hanya tentang seorang siswa SD yang memecahkan beberapa kejahatan kecil, secara bertahap berubah menjadi cerita yang menelan seluruh dunia …. Siapa sangka bahwa identitas asli Mega Man adalah (BOCORAN)?”

Dia benar-benar tampak bahagia dan bersenang-senang saat berbicara. Aku benar-benar mengerti. Ya, Battle Network sangat menyenangkan. Ini masa kecilku!

“Aku hanya tahu tentang Mega Man dari Smash Bros, tapi dia juga muncul di jenis gim ini, ya.”

“Oh, Mega Man di Smash Bros sebenarnya yang orisinal, jadi itu sedikit berbeda. Kau tahu, Battle Network sebenarnya lebih dari jenis cerita alam semesta alternatif—tunggu.”

Aku begitu terjebak dalam nostalgia sehingga aku menjadi bersemangat dan mulai membicarakannya sendiri, tetapi entah bagaimana aku berhasil mendapatkan kembali kendali dan membawa pembicaraan kembali ke jalurnya.

“Kenapa Momota-kun? Kenapa kau punya gim lama ini ….”

“Aku ingin mencoba gim yang bikin kau kecanduan. Aku mencari di banyak toko barang bekas dan entah bagaimana berhasil mengumpulkan 1 sampai 6, jadi aku berencana untuk memutarnya secara berurutan.”

“… Ke-kenapa? Kenapa kau ingin melakukan itu?”

“Karena aku ingin lebih dekat denganmu, Orihara-san,” kata Momota-kun sambil menutup SP-nya … tapi SP-nya tidak seperti DS, jadi bahkan ketika dia menutupnya itu tidak masuk ke mode tidur, jadi musiknya terus diputar. Bingung, Momota-kun mematikan tombol daya. Itulah generasi DS.

“Um … Orihara-san, katamu bahwa dunia kita berbeda karena kau mendedikasikan masa remajamu untuk Mega Man Battle Network. Dalam hal ini, kupikir kalau aku memainkan gim yang sama, maka mungkin aku akan dapat memahami perasaanmu—meskipun hanya sedikit, kupikir aku akan dapat lebih memahami perasaan duniamu.”

“Apa …?”

Dia mencoba memahamiku? Dia mencoba lebih dekat denganku? Semuanya untuk wanita mengerikan sepertiku yang menipu dan menyakitinya—

“Orihara-san.”

Bibirnya sedikit bergetar karena gugup …. Namun, dia terlihat bertekad.

“Bagaimanapun juga, aku mencintaimu, Orihara-san.”

Dia mencuri napasku. Perasaan yang kutahan di lubuk hatiku terangkat, dan tutup yang telah kututup dengan kuat semakin rusak.

“Apa maksudmu …? Aku benar-benar menolakmu, 'kan? Percakapan ini sudah berakhir, bukan?”

“Ya, tapi aku tak bisa melepaskanmu.”

“Apa kau b-bodoh atau apa? Tidak mungkin kita bisa berkencan … usia kita terpaut 12 tahun, tahu?”

Berhenti. Hentikan Momota-kun. Kalau kau melihatku lagi, Aku akan—

“… Momota-kun. Tenang dan dengarkan, oke?”

Menekan perasaan dan naluriku, aku hanya berfokus pada berbicara secara rasional.

“Sekarang kau terlalu bersemangat. Kalau kau mulai berkencan denganku dengan emosi sesaat semacam itu, kau pasti akan menyesalinya. Kau hanya jatuh cinta denganku karena kau mengira aku adalah seorang gadis SMA seusiamu. Aku yang sebenarnya adalah orang dewasa berusia 27 tahun. Sebentar lagi aku akan menginjak usia 30 tahun dan menjadi wanita tua.”

Aku terus melanjutkan sambil menahan rasa sakit di dadaku.

“B-bahkan jika kita berkencan … tidak mungkin orang dewasa dan siswa bisa berhasil. Pemikiran dan nilai kita benar-benar berbeda, jadi kita hanya akan saling tidak setuju.”

Itu menyakitkan. Dadaku sangat sakit sehingga aku tidak bisa menahannya. Cantumkan semua alasan untuk menolak cinta orang yang kucintai itu seperti memutilasi hatiku sendiri. Tapi aku harus mengatakannya. Demi masa depannya, aku harus mengatakannya.

“Kumohon, Momota-kun. Jangan korbankan masa mudamu untuk orang seperti aku. Ini adalah karier SMA sekali seumur hidupmu, jadi kau tidak seharusnya menghabiskannya dengan tergila-gila padaku. Sebaiknya kau jatuh cinta seperti seorang siswi sekolahan saat kau masih menjadi seorang siswa sekolahan ….”

“… Iya, itu benar. Mungkin.”

Momota-kun tertawa lemah.

“Teman-temanku menyuruhku berhenti mengejarmu, dan aku harus melupakanmu sama sekali.”

“Iya, 'kan? Jadi—”

“Namun, itu menyadarkanku. Aku menyadari … aku tidak memiliki cukup tekad.”

“Tekad?”

“Kita berdua pacaran … mungkin tidak terlalu normal. Jadi wajar saja, akan ada orang yang tidak setuju dari kita. Bahkan teman baikku keberatan, jadi siapa tahu prasangka dan fitnah seperti apa yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal … aku tidak punya cukup tekad untuk melindungimu dari dunia yang akan memaksa hal ‘normal’ semacam itu terhadap kita.”

Setelah mengatakan itu, Momota-kun berdiri. Di matanya aku melihat panas bak matahari, dan hatiku semakin panas. “Orihara-san—izinkan aku mengulangi pernyataan cintaku.”

“Mengulangi…?”

“Pernyataan cinta yang kubuat sebelumnya bukanlah kebohongan, tapi … bagaimanapun juga, itu adalah kata-kata yang kuucapkan kepada gadis SMA Orihara-san. Jadi kali ini, izinkan aku mengatakan bahwa aku mencintaimu kepadamu yang berusia 27 tahun—dirimu yang sebenarnya.”

Pada saat itu sesuatu menyala di luar penglihatanku. Sekumpulan lampu berwarna oranye muncul dari kegelapan.

“Ah … idiot. Mereka melakukannya terlalu cepat ….”

Momota-kun menggumamkan sesuatu dengan suara bingung, tapi aku tak bisa mengalihkan pandangan dari lampunya. Cahaya pucat itu berasal dari kotak pasir.

Cahaya berkilau yang tak terhitung jumlahnya tidak datar, tetapi disatukan dalam bentuk tiga dimensi. Karena matahari telah terbenam dan hari sudah gelap aku tidak menyadarinya pada awalnya, tetapi ada sesuatu di kotak pasir. Siluet runcing itu menyala dengan cahaya hangat itu—

“Sebuah istana …?”

Berdiri di kotak pasir adalah sebuah istana setinggi sekitar satu meter. Istana kecil mungil yang terbuat dari pasir.

“Ini seharusnya menjadi istana. Aku meminta bantuan teman-temanku dan membuatnya sebelum kau tiba. Um … tolong jangan terlalu dekat dengannya. Sejujurnya, kualitasnya baik, dan ini mungkin jarak terbaik untuk melihatnya.”

“Cantik ….”

Aku terkesiap kagum. Sepertinya itu adalah lampu Natal yang memancarkan cahaya oranye di sepanjang dinding luar istana. Cahaya yang bocor dari jendela istana menerangi malam. Terbungkus dalam cahaya hangat itu, istana pasir itu menonjol dengan latar belakang malam yang gelap. Itu adalah pemandangan magis dan misterius. Ini seperti mimpi; serasa aku melangkah menuju dongeng—

“Aku senang kau menyukainya.”

“… Iya. Cantik sekali. Tapi kenapa—”

Aku mengalihkan pandangan dari istana pasir untuk melihat Momota-kun, dan aku sangat terkejut sampai tidak bisa berkata-kata. Itu terjadi ketika perhatianku dicuri oleh pemandangan ajaib itu. Tanpa kusadari, Momota-kun mengeluarkan buket bunga. Dia terlihat sedikit malu saat dia memegang buket mawar merah cerah.

 “Apa— … eh? A-apa ini? Apa ini …? Apa yang sedang terjadi?”

Aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Satu kejutan demi kejutan datang dan aku mulai mau pingsan. Aku mabuk. Aku merasa seperti terbuang percuma dalam situasi yang seperti mimpi ini—

“Kau sendiri yang mengatakannya, Orihara-san. Aku harus lebih memikirkan suasana hati kalau aku menyatakan cintaku.”

Aku melakukannya. Aku memang mengatakan itu. Tapi.

“Kau bercanda … 'kan?”

“Misalnya, menyewakan seluruh taman hiburan dan membawakan aku buket bunga di depan istana.” Tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Apa dia menganggapnya serius? Itu hanya sesuatu yang kubuat dalam upaya putus asa untuk membuatnya menyerah padaku.

“… Maaf. Aku tidak punya uang untuk memesan seluruh taman hiburan …. Sekarang hal terbaik yang bisa kulakukan adalah istana murahan ini,” katanya dengan nada meminta maaf.

“Kalau kau bilang bahwa kau tidak tertarik pada anak berusia lima belas tahun yang belum menjadi anggota masyarakat, maka aku akan menyerah. Kalau kau bilang bahwa kau tidak ingin membuang waktumu pacaran dengan seseorang sepertiku yang tidak punya uang atau status … itu bakal bikin frustrasi, tapi aku akan menyingkir.”

Namun, dia mengambil satu langkah ke depan.

“Masa mudaku, masa depanku, jika kau khawatir soal itu—yah, itu bukan urusanmu.”

“B-bukan urusanku … aku hanya minta maaf untuk ….”

Aku berbohong dan merayunya, dan karena itu aku membuat hidupnya menjadi gila. Namun dengan wajah mudanya, Momota-kun memberiku senyuman lebar.

“Hatiku sudah gila. Kalau kau merasa bersalah, tolong lakukan sesuatu soal itu.”

Dia membungkuk, berlutut di depanku dalam satu gerakan saat aku masih duduk di bangku. Aroma bunga menggelitik bagian dalam hidungku. Dengan istana pasir berkilauan ajaib di belakangnya, anak laki-laki dengan buket bunganya itu menatapku. Matanya benar-benar tidak tertutup dan mengandung panas yang menyengat seperti matahari.

“Aku mencintaimu, Orihara-san. Aku mencintai dirimu yang sebenarnya, dirimu yang berusia dua puluh tujuh tahun.”

“Momota-kun ….”

Gawat …. Aku bakal tenggelam. Dari jari kaki sampai ujung kepalaku, aku tenggelam ke dalam dunia mimpi ini.  baju zirahku hangus oleh panas yang mendidih seperti matahari, dan itu mulai meleleh dan jatuh. Perasaanku menjadi gila dan membuka tutup yang seharusnya menekannya …. Hatiku sepenuhnya terbuka.

“Aku … tidak punya uang dan kekuasaan seperti seorang pangeran. Wajahku tidak terlalu tampan. Tapi, setidaknya, aku akan bekerja untuk membuat hatiku seperti seorang pangeran.”

Sambil masih berlutut, Momota-kun mempersembahkan buketnya.

“Tolong jadilah putriku.”

‘Putri’. Aku selalu benci arti namaku seperti itu. Aku hanya menikmatinya sampai aku berusia sekitar lima tahun. Aku banyak diledek ketika aku masuk SD. Ketika aku polos, gemuk, dan di masa puncakku sebagai seorang introver di SMP dan SMA, aku akan mengejek diriku sendiri setiap kali aku melihat ke cermin dengan berkata, “Bagaimana denganku adalah seorang ‘putri’?”

Setelah menjadi seorang dewasa, meskipun aku hanya akan bekerja dan bermain gim video, waktu berlalu begitu cepat sehingga menakutkan, dan seiring bertambahnya usia, kompleks namaku semakin buruk.

Aku sudah melewati usia di mana aku bermimpi menjadi seorang putri, tetapi namaku adalah sesuatu yang harus kubawa selama sisa hidupku. Aku benci namaku. Tapi. Tapi. Tapi—

“… Itu enggak adil.”

Kata-kata itu tumpah keluar dari bibirku.

“Itu enggak adil, itu enggak adil, Momota-kun … kenapa kau berusaha keras untuk orang sepertiku? Kalau kau terus melakukan itu, aku akan ….”

Aku kehilangan kendali atas emosiku, dan air mataku tumpah bersama mereka. Belakangan ini, aku benar-benar terlalu banyak menangis. Dalam dua minggu sejak aku bertemu dengannya, sudah berapa banyak aku menangis? Namun, air mata yang kutumpahkan kini berbeda dari semua air mata sebelumnya.

“… Apa kau benar-benar mengerti?” kataku di tengah isak tangis.

“Aku … dua puluh tujuh tahun, tahu?”

“Aku tahu.”

“Aku sudah jadi wanita tua.”

“Dua puluh tujuh tahun bukanlah wanita tua.”

“Aku … sungguh bukan wanita yang baik, kau tahu? Aku sama sekali tidak feminin. Aku tidak terlalu modis, dan terlebih lagi, bahkan sekarang aku benci harus mengoordinasikan pakaianku, jadi aku memakai jasku untuk bekerja setiap hari. Di hari libur … aku adalah tipe wanita yang tinggal di dalam dan bermain gim video sepanjang hari.”

“Tak jadi masalah. Mari bermain sama-sama.”

“Kalau untuk memasak, yang kuberikan padamu sebelumnya hanya karena aku benar-benar termotivasi, oke? Bukannya aku berusaha sekeras itu setiap hari, dan sering kali aku hanya makan cup ramen ….”

“Aku tidak keberatan sesuatu seperti itu.”

“… Momota-kun, kau … sering melihat payudaraku.”

“Um … yah, kau tahu, um, itu—”

“… Maksudku, payudara ini mungkin akan segera kendur, tahu?”

“K-kalau begitu aku akan menikmatinya sampai kendur! Dan saat mulai kendur, aku juga akan menikmatinya!”

“… Psht. Hahaha. Bicara apa kau ini?”

Aku tertawa dan menyeka mataku. Tetapi berapa kali pun aku menyekanya, air mata tidak berhenti. Ketika kau mencapai usiaku, kau memiliki pemahaman tentang apa artinya menangis. Ketika atasanmu benar-benar marah padamu karena membuat kesalahan. Saat kakek tercinta meninggal dunia. Juga … ketika kau harus putus dengan anak berusia lima belas tahun. Kau sangat sedih sampai air matamu tidak berhenti mengalir, tetapi meskipun demikian kau telah memperoleh pemahaman tentang cara mengontrol air mata dan perasaanmu.

Namun, pada saat itu aku tak tahu bagaimana caranya. Aku tak tahu harus berbuat apa pada saat seperti ini. Apa yang seharusnya kaulakukan saat kau begitu bahagia sehingga tidak bisa berhenti menangis? Aku sangat bingung, aku merasa seperti akan kehilangannya ….

“… Apa kau yakin? Apa kau benar-benar yakin ingin bersamaku? Meskipun aku hampir tiga puluh, maukah kau menjadikan aku pacarmu?”

“Iya!”

Tanggapannya tanpa ragu-ragu menembakku ke dalam hati. Buruk—aku sudah selesai. Aku tak lagi bisa menyembunyikan apa pun. Tak ada yang tersisa untuk menghentikanku. Belenggu, baju zirah, penutup, semuanya telah dilebur. Satu-satunya hal yang menggerakkanku adalah perasaanku yang baru saja diungkapkan.

Aku perlahan berdiri. Aku mengumpulkan keberanianku, dan untuk menjawab langkahnya ke depan, aku mengambil satu langkah ke depan juga. Aku membungkuk sedikit dan mengambil buket yang terulur.

Namaku Orihara Hime. Aku seorang karyawan perusahaan. Hobiku adalah bermain gim video. Usiaku … dua puluh tujuh tahun. Hari ini, aku mendapatkan pacar pertamaku. Dia dua belas tahun lebih muda dariku, tapi dia yang paling keren, dan dia pangeranku.

“Apa? Kau pacaran dengan Orihara? Bah. Itu payah.”

“Jangan merajuk, ini kesempatan yang membahagiakan. Bersikaplah baik dan berikan dia restumu.”

Di ruang kelas yang kosong saat makan siang, Kana menegur Ura yang tampak marah dan menatapku.

“Selamat, Momo. Aku bangga padamu.”

“Iya.”

“Astaga. Sepertinya kami yang mengawasimu hanya berakhir dengan menyalakan api di bawahmu. Yah, kupikir bakal begini atau sebaliknya.”

Dia mengangkat bahunya dengan senyum masam.

“Kana, Ura, terima kasih. Semuanya berkat kalian.”

Aku bersyukur dari lubuk hatiku; Kana memberiku senyum berseri-seri sedangkan Ura mendengus.

“Oalah. Benar-benar seorang tukang perintah, membuatku bermain-main di pasir pada usiaku.”

“Ya, benar. Ura, kaulah yang paling senang membangun istana pasir itu. Kau bekerja begitu keras untuk Momo.”

“Ap—i-itu bohong, idiot! Hanya saja aku suka kerja teliti, dan aku tidak tahan betapa kurang mahirnya kalian! I-itu yang sebenarnya!”

Aku mendapat banyak bantuan dari Kana dan Ura ketika aku membangun istana pasir itu. Aku membawa lampu pohon Natal dari rumah. Pada siang hari kelihatannya sangat jelek, tapi pada malam hari kelihatannya tidak terlalu buruk, jadi aku senang.

“Kalau kalian berdua tak ada di sana, pasti takkan berjalan dengan baik … meskipun pengaturan waktu kalian dengan lampu terlalu cepat.”

“Apa boleh buat. Itu sangat gelap sehingga kami tak bisa melihat sinyalmu.”

“… Menurutku pengaturan waktu untuk menyalakan lampu itu sebenarnya yang terbaik, Momo. Kalau kita mengikuti rencana awalmu menunggu sampai kau mengatakan ‘Aku akan memberi mantra padamu’, membacakan puisimu, dan lalu menjentikkan jemarimu … aku benar-benar berpikir itu akan meledak.”

Masa? Huh … kupikir itu akan terlihat keren. Aku juga bekerja sangat keras untuk puisi itu ….

“Nah, setelah kami menekan tombol lampu, aku dan Ura langsung pulang, jadi kami tidak tahu betapa puitisnya kau setelah itu.”

“Itukah yang terjadi?”

“Iya. Kami mengira bahwa hasil dari pernyataan cintamu … adalah sesuatu yang seharusnya hanya menjadi milikmu dan Orihara-san.”

“Hmph. Aku berpikir untuk merekamnya atau apa pun, tapi kupikir aku akan menghormati privasimu.”

“… Sungguh, terima kasih.”

Aku benar-benar diberkati memiliki teman sehebat keduanya.

“Meski begitu, aku serasa sedang menonton sesuatu yang super romantis dari jauh. Kau dan Orihara-san bahkan belum saling kenal selama dua minggu, 'kan?” Kana tersenyum dengan sedikit sarkasme.

“Ini seperti Romeo dan Juliet. Bahkan bagian tentang cinta terlarang.”

“… Diam.”

Aku tidak punya balasan yang tepat, karena dia benar. Sejak hari itu—sejak bertemu Orihara-san yang ber-cosplay sebagai gadis SMA di kereta—hanya dua minggu berlalu. Rasanya seperti cinta tak terbalas yang terus berlanjut sangat lama, tetapi kami bahkan belum saling kenal selama sebulan.

Dahulu kala, ketika aku mengetahui bahwa seluruh hubungan Romeo dan Juliet hanya berlangsung sedikit lebih dari dua minggu, aku seperti apa-apaan sih? Tapi, kurasa aku tidak bisa lagi mengejek Romeo dan Juliet, bukan? Aku menyadari bahwa tidak peduli berapa lama waktu telah berlalu dari segi cinta.

“… Hei, Momo,” Kana tiba-tiba berkata dengan wajah serius.

“Kau mungkin benar-benar bahagia sekarang karena akhirnya kau bisa pacaran dengan orang yang kauimpikan … tapi mulai saat ini akan menjadi sangat sulit, kau tahu?”

“….”

“Dari segi cinta di dunia nyata, epilog adalah bagian terpanjang.”

“Aku tahu.”

Itu tidak berakhir dengan pacaran. Itu tidak berakhir seperti romcom di mana dua orang akhirnya bersama-sama, waktu berlalu begitu cepat, mereka menikah, dan ini adalah episode terakhir. Juga tidak seperti dongeng yang dibungkus dengan “Dan mereka berdua hidup bahagia selamanya”. Di sinilah itu dimulai. Semuanya dimulai dari sekarang.

Orang berusia lima belas tahun dan orang berusia dua puluh tujuh tahun berpacaran jelas tidak normal. Mulai sekarang aku bahkan tidak bisa membayangkan jenis rintangan yang akan kami hadapi. Aku sudah berniat menyelesaikannya, tetapi tekad seorang anak sepertiku mungkin tidak berarti banyak. Meski begitu, untuk saat ini, aku ingin bahagia dan fokus menikmati ini.

Ketika aku melamun memikirkan tentang keajaiban cintaku yang dibalas, aku sudah menatap ke luar jendela. Di luar sana ada perusahaan tempat Orihara-san bekerja. Saat ini, dia mungkin sedang makan siang. Aku ingin tahu jenis makan siang yang dia buat hari ini. Atau mungkin dia menikmati makan siang bersama temannya Yuki-san. Saat memikirkan hal-hal ini, aku mengeluarkan smartphone dari saku dan melepas kovernya.

“Orihara-san … apa yang membuatmu tersenyum?”

Selagi aku sedang makan siang di tempat istirahat kantor, aku dipanggil Komatsu-san yang lewat yang memiliki pandangan sedikit jijik di wajahnya.

“Eh? A-apa aku sering tersenyum?”

“Ya, banget.”

“O-oh ….”

“Anda hanya menatap kover smartphone Anda … apa itu menarik?”

“T-tidak, bukan apa-apa! Hanya saja aku berpikir, ‘Ini benar-benar kover yang bagus’!”

Bahkan bagiku, itu adalah kebohongan yang cukup payah. Komatsu-san memasang ekspresi bingung di wajahnya, tapi dia tidak melanjutkannya lebih jauh. Dia lalu membeli minuman dari mesin penjual otomatis dan pergi.

Aku menghela napas panjang. Aku harus mengatasinya. Aku harus menyembunyikan hubunganku dengan Momota-kun dari orang-orang di sekitarku. Kalau menjadi pengetahuan umum bahwa aku berpacaran dengan siswa SMA berusia lima belas tahun, tak ada yang tahu betapa aku akan dipandang tercela oleh masyarakat—lebih dari apa pun, itu akan menimbulkan masalah bagi Momota-kun.

Kami berdua saling mencintai, tapi kami harus merahasiakan kami berpacaran. Aku tidak bisa terlalu gembira dan lengah terhadap orang-orang di sekitarku. Tetap saja ….

“… Heh heh.”

Sehari setelah kami mulai berpacaran, jadi tentu saja aku tak bisa menahan kegembiraan! Aku bahkan tak bisa menghitung berapa kali aku melepas kover ponselku dan menatapnya. Di bagian dalam koverku, di mana itu menyentuh telepon, aku menempelkan purikura yang aku dan Momota-kun ambil sewaktu aku berpakaian seperti gadis SMA.

Rupanya, Momota-kun memegang yang aku jatuhkan sepanjang waktu, dan kemarin kami meletakkannya di bagian dalam kover ponsel kami. Aku suka betapa mesranya itu. Aku sangat senang …. Ini memalukan karena sepertinya sesuatu yang akan dilakukan anak sekolahan, tapi aku bahkan tidak peduli. Untuk seseorang sepertiku yang jatuh cinta dan mendapatkan pacar untuk pertama kalinya sepanjang hidup, pengalaman cintaku setara dengan anak sekolahan.

Momota Kaoru-kun. Pacarku yang dua belas tahun lebih muda dariku.

Ketika aku menyarankan untuk meletakkan purikura di bagian dalam kover ponsel kami, aku berkata:

“Waktu aku masih siswi, banyak perempuan yang memasukkan purikura pacar mereka di kover dalam casing baterai ponsel mereka. Bagaimana denganmu, Momota-kun?”

“… Maaf. Aku tidak pernah menggunakan ponsel lipat.”

“… K-kau dari generasi smartphone?!”

Dunia yang kami tinggali begitu berbeda sehingga terkadang aku merasakan syok seperti itu—tetap saja, dia berhasil mengatasi hambatan itu dan mencengkeram hatiku. Mulai dari sekarang aku tak tahu apa yang akan terjadi, tetapi untuk saat ini aku ingin menikmati keajaiban ini.

Aku menatap ke luar jendela. Di luar sana ada sekolah tempat Momota-kun bersekolah. Aku ingin tahu makan siang macam apa yang dia makan hari ini? Apa dia bersama teman-temannya Ura dan Kana? Mungkin aku bisa membuatkan makan siang untuknya kapan-kapan?

Ketika aku memikirkan tentang hal-hal ini, aku bertanya-tanya tentang betapa hebatnya itu kalau dia memikirkanku juga.

Post a Comment

0 Comments