Dungeon Busters Jilid 3 Cerita-Cerita Pendek Bonus

Cerita-Cerita Pendek Bonus

Perjalanan Ezoe Kazuhiko Melalui Kota Edogawa 3 —Restoran Unagi “Tomokazu” (Stasiun Koiwa)

Bagaimana kau menggambarkan restoran yang menyajikan porsi besar? Biasanya, orang akan membayangkan piring penuh tetapi makanan hanya dengan rasa yang agak rata-rata. Sebagian besar restoran semacam ini cenderung jatuh ke dalam ranah tempat-tempat murah dan lezat yang dinikmati kebanyakan orang tetapi tidak membuat siapa pun terkesan. Jika seseorang mencari tempat-tempat seperti itu secara online, mereka akan segera melihat bahwa sebagian besar disajikan spageti napolitan, kari katsu, omurice, set makanan karaage, atau hidangan lain yang murah untuk dibuat dan penuh karbohidrat dan lemak untuk membuat pelanggan merasa kenyang.

Harga umumnya tidak pernah melebihi seribu yen, dan agak umum untuk mengunjungi tempat-tempat ini untuk makan siang. Adapun restoran mewah yang menyajikan porsi besar …. Itu sangat keterlaluan. Maksudku, coba bayangkan sebentar—satu kilo penuh spageti krim truffle, yang juru masaknya harus menghabiskan truffle penuh, atau seluruh sup sirip hiu …. Walaupun hidangan ini disajikan, mereka akan berakhir dengan biaya lebih dari sepuluh ribu yen. Apakah hal-hal seperti itu akan laku? Hanya orang yang bersedia menerima tantangan “berapa banyak yang bisa Anda makan” yang mau membayar beberapa ribu yen untuk porsi besar.

Atau setidaknya, itulah yang kupikirkan sebelum menemukan tempat ini ….

Tukang boyongan saat ini memindahkan furnitur dan kotak ke markas besar baru kami. Aku telah memutuskan untuk menyerahkan segalanya kepada mereka, tetapi Akira, Mutsuo, Manajer Umum Mukai, dan aku masih ada. Dungeon Busters sudah cukup terkenal, jadi kami mengawasi hal-hal untuk memastikan tidak ada mata-mata asing yang mencoba menggunakan kesempatan ini untuk menyelinap masuk.

Mutsuo, yang telah menyiapkan peralatan untuk mendeteksi bug dan perangkat pengawasan yang digunakan oleh sebagian besar profesional di bidang pekerjaan itu, sedang memeriksa setiap sudut dan celah hingga ke colokan terakhir. Aku tidak berpikir dia berlebihan. Dari apa yang dia katakan padaku, banyak hacker dan cracker yang mencoba menyusup ke situs web kami. Tidak ada yang berlebihan dalam hal memastikan keamanan kami.

“Sudah hampir waktunya makan siang. Istriku mengemas bento untukku, jadi kalian bertiga bisa makan siang di luar dulu,” kata Manajer Umum Mukai, sambil mengeluarkan kotak bento dari tasnya.

Aku tidak terlalu cemburu. Lagian aku akan pergi makan sesuatu yang enak. Aku tidak sedikit iri dengan bento Manajer Umum Mukai yang dibuat khusus untuknya oleh istri tercintanya.

“Benar. Kurasa sudah waktunya bagi kita bertiga pria kesepian yang tidak memiliki istri yang baik membuatkan kita makanan untuk mencari tempat makan siang. Apa yang kau inginkan?” tanya Akira.

“Belut,” kataku setelah jeda, mengabaikan pukulan kecil Akira. “Banyak belut. Aku ingin mengenyangkan diriku dengan belut.”

Belut kukus yang baru disajikan di atas nasi adalah hidangan yang tidak akan pernah kau miliki di bento. Itu sebabnya aku memilihnya. Bukan karena aku iri, jelas.

“Tapi, Ezoe-shi, berapa porsi yang akan kita pesan agar perut kenyang? Jangan lupa bahwa Shishido-shi ada di sini. Istirahat makan siang akan lama setelah kita selesai makan.”

“Ha ha. Jangan khawatir. Ada tempat di Kota Edogawa yang berspesialisasi dalam belut dan menyajikan porsi besar.”

Begitulah cara kami bertiga berada di belakang balai kota, menuju Tomokazu, salah satu restoran belut paling terkenal di Kota Edogawa.

“Aniki … Kau yakin semua itu untuk satu orang?” tanya Akira.

“Ya. Yah, aku menambahkan seratus yen ekstra untuk memesan porsi ekstra besar. Totalnya 4.400 yen. “

“Tunggu, ini tidak normal!” Mutsuo menyatakan. “Setidaknya ada dua belut utuh di sini, 'kan? Ini terlihat seperti lima ratus gram beras juga! Tidak mungkin ini dimakan oleh satu orang!”

Baik Akira maupun Mutsuo melihat ke kotak-kotak berpernis penuh belut di atas nasi yang kami sajikan dengan tak percaya.

Unagi Tomokazu adalah salah satu restoran yang sangat langka yang menyajikan belut dalam porsi besar di atas nasi. Kotak paling mahal harganya 4.300 yen dan dilengkapi dengan belut utuh di atas nasi. Kau akan mendapatkan belut lagi dan banyak nasi dengan memasukkan seratus yen ekstra, lebih dari cukup untuk dimakan sampai perut siap untuk meledak.

“Enak sekali!”

Akira dan Mutsuo sedang makan sepuasnya. Kami dapat yakin, karena belut yang digunakan oleh restoran ini semuanya ditangkap di perairan Jepang. Saus manis dan menyegarkan yang mereka gunakan juga sangat cocok dengan belut dan nasi. Kau bahkan bisa mendapatkan saus tambahan secara gratis jika menginginkan lebih. Kotak itu juga dilengkapi dengan acar sayuran dan kaldu. Mendapatkan semua ini hanya dengan 4.300 yen (ditambah seratus yen) sungguh luar biasa.

Tentu saja, Tokyo penuh dengan restoran belut yang terkenal, dan dengan harga lima hingga enam ribu yen, kau bisa makan di salah satunya. Namun, para petualang menghabiskan banyak energi, jauh lebih banyak daripada rata-rata orang. Hanya tempat-tempat yang menyajikan porsi besar dengan harga yang wajar yang dapat memenuhi kebutuhan kita akan makanan enak dalam jumlah banyak.

Daripada mengambil sedikit dengan sumpitku dan makan dengan elegan, aku ingin menganyangkan diriku sendiri dengan sendok kayu. Kukira keinginan ini adalah representasi yang baik dari selera orang-orang yang melahap porsi sebesar ini.

“Hei, Aniki. Apa ada restoran lain seperti ini di Kota Edogawa?”

“Ya. Misalnya, ada tempat bento yang menyajikan hidangan dengan ikan tenggiri bakar utuh. Kalau kau memesan porsi ekstra besar, mereka bahkan akan membawakanmu dua mangkuk nasi yang terpisah.”

“Menarik!” Akira tertawa.

Sepertinya aku telah membangunkan pemakan besar dalam dirinya. Aku harus mengajaknya makan ramen lain kali. Ada tempat ini yang memiliki tiga kilo ramen di menunya. Itu seharusnya menjadi hal gampang untuk kami habiskan.

Aku berkendara kembali ke Shishibone sambil memikirkan restoran berikutnya dengan porsi besar yang akan kami makan.

 

Hari Libur Crusaders

Namaku Rolf Schnabel. Karena keadaan tertentu, saat ini aku berada di Tokyo, Jepang. Setelah menghabiskan dua minggu di dalam Yokohama Dungeon, aku pergi ke Hibiya, ingin menghilangkan rasa frustrasi yang terus-menerus kurasakan sejak menginjakkan kaki di Jepang.

“Köstritzer, Speckkartoffeln, dan Münchner Weißwurst.”

Pelayan kembali dengan bir hitam Reich.

Itu saja. Masalah terbesarku dengan Jepang adalah bir. Bir yang biasanya mereka jual di Tokyo tidak memiliki rasa. Itu hampir seperti minum air berkarbonasi. Orang Jepang pandai dalam banyak hal, tetapi dalam hal bir, mereka jauh di belakang kami orang Reich.

Aku meneguk bir hitamku, minuman yang paling dihargai—Goethe, misalnya. Rasa yang kaya memenuhi mulutku saat aku akhirnya merasa puas. Orang Jepang menganggap bir sebagai minuman beralkohol. Bagi kami orang Reich, bir adalah hidangannya sendiri. Kau bisa menghitungnya sebagai makanan daripada minuman.

Namun, aku memesan hal-hal lain juga. Salah satunya adalah hidangan yang oleh orang-orang di sini disebut kentang Reich dan yang lainnya adalah hidangan lain yang secara kasar dijuluki “sosis putih” oleh orang Jepang. Restoran Hibiya tempat aku berada terkenal dengan masakan Reich-nya, dan meskipun rasanya enak, nama yang mereka gunakan sangat buruk. Nah, jika nama sebenarnya digunakan, sebagian besar pelanggan tidak akan tahu hidangan apa yang mereka maksud. Tidak banyak yang harus dilakukan tentang itu. Toh, aku menikmati rasa masakan Reich pertamaku dalam beberapa saat.

* * *

Aku memakai dogi-ku dan mengikat ikat pinggangku. Aku selalu menyukai momen ini.

“Alberta-san, kau akhirnya mendapat hari libur, tapi kau memilih untuk datang dan menghabiskannya di sini ….”

Saat ini aku berada di Sekolah Seni Bela Diri Kuno gaya Kusakabe. Mereka telah merawatku dengan baik saat aku menjadi siswa pertukaran dan telah mengajariku Seni Bela Diri Kuno Jepang. Apa yang kupelajari di sini bukanlah kendo tetapi kenjutsu, gaya seni militer yang menggabungkan jujutsu dan atemi untuk mengalahkan musuh.

Aku membungkuk sekali ke arah instrukturku, Herr Kusakabe, sebelum menyiapkan pedang kayu empukku. Bahkan jika dilapisi dengan kulit seperti itu, pedang kayu masih akan meninggalkan memar. Di masa lalu, bantalan tidak ditambahkan, dan seniman bela diri dilatih dengan pedang kayu utuh. Bukan hal yang aneh bagi mereka untuk kehilangan nyawa mereka selama latihan karena pukulan mendarat di tempat yang buruk. Namun, berjuang dengan hidup mereka dalam bahaya adalah apa yang membantu mereka mengasah indra mereka. Aku mendengar bahwa instrukturku masih mengikuti kebiasaan ini dan berlatih dengan pedang kayu utuh dengan pendahulunya dan adik perempuannya.

Sebuah getaran menjalari tubuhku. Tepat saat aku mengangkat pedang kayuku, leherku hampir terkena. Aku mundur setengah langkah dan nyaris lolos dari pukulan itu. Instrukturku tersenyum manis.

“Aku senang melihatmu telah berlatih dengan rajin. Bagus. Mari kita lanjutkan, oke?”

Pedangnya hampir terhubung, tapi aku berhasil menenangkan diriku lagi. Sebagai anggota Crusaders, aku harus melawan monster yang tak terhitung jumlahnya sambil mempertaruhkan nyawaku. Jika aku tidak bisa menghadapi satu orang, bagaimana aku bisa menghadapi monster?

Aku mengambil posisi bertarungku lagi.

* * *

“Hai hai! Panggil aku Chloe-tan, oke? ☆”

Aku berada di Akihabara, tanah suci para penggemar anime di seluruh dunia! Sudah menjadi impianku untuk datang ke sini. Aaaah … aku tidak bisa lebih bahagia!!!

Aku pergi ke semua toko cosplayer paling keren yang sering dikunjungi dan mencoba banyak hal.

Untuk beberapa alasan, sekelompok pria dengan kamera sekarang berkeliaran di sekitarku. Ah! Mungkinkah mereka makhluk terkenal yang sering kudengar …? “Otaku NEET gemuk yang menjijikkan” yang legendaris?! Ransel, kacamata, rambut menempel di dahi mereka …. WAH! Mereka pasti ingin menjilat dan menggosok seluruh kaki Chloe-tan'kan?

“Kami meminta pelanggan untuk tidak mengambil gambar di dalam toko ….”

Apa?! Jangan katakan itu padaKU. Kau harus mengatakan itu kepada orang-orang aneh ini!

* * *

Saat ini aku berada di Seminari Katolik Tokyo di Kota Nerima. Kardinal telah memintaku untuk memberikan ceramah di sini.

“Saya senang berkenalan dengan Anda. Nama saya Leonard Chartres. Lima ratus tahun yang lalu, Santo Fransiskus Xaverius mengunjungi Jepang, dan sejak itu, ikatan telah dipertahankan antara negeri yang jauh ini dan Gereja Katolik. Kami belum pernah bertemu secara langsung pada waktu-waktu tertentu sepanjang sejarah, tetapi saya berterima kasih karena telah menyambut Vatikan, Crusaders, dan Gereja Katolik kami sekali lagi.”

Ceramahku berfokus pada sejarah Perang Salib dan tugas Dungeon Crusaders. Aku selesai dengan permintaan.

“Seperti yang Anda ketahui, umat manusia sekarang menghadapi bahaya yang belum pernah terjadi dengan penampakan dungeon. Saya yakin banyak di antara Anda yang kaget dan khawatir karena situasi tersebut. Tapi ingat, Tuhan tidak mengulurkan tangan untuk membantu mereka yang tidak mencoba untuk maju sendiri terlebih dahulu. Jika Anda merasa cemas, silakan mencari bantuan dari orang lain. Berdoa bersama dan membuka hati pasti akan membantu Anda menemukan keselamatan.”

* * *

Aku memutuskan untuk pergi ke distrik perbelanjaan Tokyo, Shibuya.

Saat ini aku menjalani kehidupan terbaikku di sini. Wanita Jepang semuanya sangat halus …. Dan ada begitu banyak wanita cantik! Jangan salah paham. Ada banyak gadis cantik di Roma juga, tapi mereka cenderung terlalu memaksakan diri. Ketika aku mencoba untuk mengajak gadis-gadis di Roma, kebanyakan biasanya menepisku dengan santai, tetapi di sini, aku sudah berhasil dua kali!

Sungguh, Jepang adalah tempat terbaik di dunia!

“Waspada cowok cakep! Lihat! Bukankah dia sangat tampan?”

“Yaaah, tapi … dia orang asing. Dia mungkin tidak bisa berbahasa Jepang.”

Sejujurnya, aku mendengar cukup banyak kata yang tidak biasa kudengar di sini. Ketika aku belajar bahasa Jepang di dalam Yokohama Dungeon, aku mengetahui bahwa “waspada” berarti ada sesuatu yang berbahaya di depan. Apakah gadis-gadis ini mengira aku berbahaya? Dan apa artinya “tidak bisa berbicara bahasa Jepang”? Kenapa kau menggunakan dua negasi berturut-turut?! Yeah, tidak. Bahasa Jepang terlalu rumit buatku.

* * *

Saat ini aku sedang berbicara di telepon dengan ibuku. Aku telah meneleponnya menggunakan panggilan suara internet, jadi tak ada biaya apa pun, tetapi perbedaan waktu antara Roma dan Jepang cukup besar. Panggilanku mungkin mengganggunya ….

“Bu. Mungkin untuk memperbaiki kakiku. Kalau aku menggunakan salah satu potion yang dapat ditemukan di dalam dungeon, aku mungkin bisa berlari lagi. Jika itu terjadi, maka ….”

“Franca, itu mustahil. Kau adalah anggota Crusaders sekarang. Tubuhmu bukan hanya milikmu lagi. Kau memiliki kewajiban untuk berjuang bagi Tuhan. Kau mengerti itu, 'kan?”

“Tidak, aku tidak! Aku tidak percaya pada Tuhan sebanyakmu, Bu!”

Aku benar-benar mengerti apa yang dia maksud. Aku bergabung dengan Crusaders sudah memiliki pengaruh positif pada pekerjaan ayahku, dan keuangan rumah tangga kami membaik. Tapi aku ingin lari! Aku ingin kembali ke lapangan lintasan. Apakah itu benar-benar salah …?

Setelah memutuskan panggilan, aku tidur dengan kain penyeka di tempat tidur sampai aku mendengar ketukan di pintu. Aku pergi untuk membukakan pintu dan bertatap muka dengan anggota Crusaders lainnya. Di tangan mereka ada beberapa suvenir yang mereka dapatkan serta botol berisi cairan biru.

Post a Comment

0 Comments